Mongabay.co.id

Video: Pendeta Ini Selidiki Pencaplokan Lahan Adat di Gunung Mas

 

Desa Tewah, persis di jantung Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Di sanalah berdiri sebuah gereja terbuat dari kayu. Masyarakat menyebutnya,  Gereja Immanuel. Ketika seorang misionaris Jerman, pertama kali tiba di Tewah, sekitar satu abad lalu, desa itu tampak jauh berbeda dari sekarang.

Dulu, pepohonan rimbun menyelimuti desa. Bahkan menuju ke sana, harus menembus hutan rapat dan menelusuri Kahayan atau Sungai Dayak Besar, yang salah satu berujung di Kabupaten Gunung Mas.

Baca juga: Tangan-tangan Setan Bekerja, Kesepakatan Lahan di Balik Jatuhnya Akil Mochtar

Kini, pemandangan berubah. Desa Tewah terhubung dengan jalan-jalan berdebu dan rusak karena begitu sering lalu-lalang kendaraan berat di hutan yang sudah terkaveling-kaveling. Toko-toko menjual emas bertebaran di ujung-ujung jalan. Sebagian emas itu diperoleh dari hasil penambangan kecil di sekitar sungai.

Orang yang menjaga dan merawat Gereja Immanuel itu bernama Mariyady. Dia seorang pendeta berkarisma. Kami mengenal dia berawal dari desa tetangga Tewah, Sare Rangan.

Warga di sana telah mengalami sendiri perubahan amat drastis di tempat tinggal mereka sejak izin untuk perusahaan perkebunan sawit keluar dalam skala besar. Itu satu dari lima izin yang terbit oleh Bupati Hambit Bintih tahun 2012. Perkara itulah yang menjadi pokok persoalan dari investigasi Mongabay dan The Gecko Project selama 16 bulan terakhir.

Tim kami menemukan bukti, Hambit telah menggadaikan lahan-lahan di Gunung Mas untuk membiayai dana kampanye kemenangan diri di pilkada.

Skemanya berlangsung seperti ini, Hambit menggunakan “anak didik”-nya, Cornelis Nalau Antun, untuk mendirikan sejumlah shell company (perusahaan cangkang).  Perusahaan cangkang adalah sebutan bagi perusahaan aktif, tetapi tak terlihat, tidak memiliki operasi bisnis maupun aset signifikan dan dicurigai sebagai tempat persembunyian atas usaha lain.

Hambit kemudian mengeluarkan izin-izin untuk perusahaan dengan luasan melingkupi puluhan desa, termasuk Desa Sare Rangan. Lantas, perusahaan-perusahaan itu dijual ke sebuah perusahaan Malaysia bernama CB Industrial Product. Awalnya, warga desa di Gunung Mas tak tahu menahu tentang jual-beli tanah-tanah mereka.

Ketika kami bertemu Dinur, Kepala Desa Sare Rangan, dia sedang berhadapan dengan perkara izin-izin lahan yang dikeluarkan Hambit.

Tentu saja, itu bukanlah persoalan mudah pada situasi di mana hak-hak masyarakat adat masih belum diakui penuh di Indonesia. Begitu pula ketiadaan perlindungan hukum terhadap wilayah adat dari komunitas adat Sare Rangan.

Dinur dan para kepala desa lain mau tak mau masuk ke proses rumit mempertahankan wilayah adat mereka. Perubahan besar mengancam ada di depan mata, sebagian warga desa telah menyerahkan tanah mereka kepada perusahaan dengan kompensasi sangat kecil.

Hujan sedang turun pada suatu sore ketika kami mewawancarai Dinur tahun lalu. Dia menjelaskan pada kami bagaimana awal para penduduk desa sebenarnya berusaha menentang perkebunan.

 

Sayangnya, sebagian dari mereka terlanjur menyerah pada desakan perusahaan. Tak lama, buldoser datang membabat ladang-ladang warga dan hutan di sekitar desa. Dinur tidak mengerti mengapa warga bisa sampai berurusan dengan perusahaan.

“Saya takutnya, kalau lahan terus dijual, nanti masyarakat yang di sini nggak punya tempat berladang lagi. Tanahnya nggak ada lagi!”

Dinur bilang, kalau kontrak-kontrak telah ditandatangani antara penduduk desa dan perusahaan anak perusahaan dari CB Industrial Product. Kasus itu diselidiki oleh Pendeta Mariyady.

Kami menjumpai Mariyady di rumah samping Gereja Immanuel yang terletak di tepian Sungai Kahayan. Mariyady bercerita tentang situasi di sana sekitar 10 tahun lalu. Saat itu, dia sempat ditempatkan di Sare Rangan sebagai pendeta muda.

“Jalan masih belum ada. Masih asli,” katanya.

Dia kembali mengingat situasi dulu ketika hutan masih begitu lebat dan ada banyak sumber mata air untuk diminum warga. “Ada (yang) disebut orang (dengan nama) Bukit Berderet,” katanya menceritakan sebuah kawasan yang disakralkan masyarakat. “Bukit keramat yang angker. Saya jelajahi. Saya ajak salah satu tokoh jemaat ke sana. Memang angker… karena hutannya besar. Pohonnya (juga) besar-besar!”

Setelah dua tahun di Sare Rangan, Mariyady dipindahkan ke komunitas lain. Dia pada 2016 memimpin gereja di seluruh kecamatan, berlokasi di Tewah.

Dia sedih kala kembali ke Sare Rangan, menemukan hutan telah hilang. Ketakutannya soal nasib masyarakat desa terus menghantui. Mariyady pernah melihat situasi teramat mengerikan di kawasan lain,  di mana perkebunan skala besar masuk ke hutan adat dan tempat tinggal masyarakat. Di sana, dia menyaksikan bagaimana warga sulit mendapatkan air bersih. Konflik antara perusahaan dan masyarakat pun kian memanas.

Mariyady mulai meneliti kontrak antara penduduk desa dan perusahaan di Sare Rangan. Dia mengatakan,  tanah-tanah warga desa direnggut dengan kompensasi tak seberapa. Dia menggambarkan situasi itu tak lain adalah suatu “pembunuhan.”

Masyarakat kehilangan hak atas tanah yang telah diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Bagi mereka tanah bukan sekadar aset, melainkan mata pencaharian tempat mereka menggantungkan kehidupan, setidaknya selama 35 tahun ini. Dengan kehadiran perusahaan perkebunan, tak ada kejelasan apa yang kelak mereka terima sebagai timbal balik.

“Bagi masyarakat di Sare Rangan, tidak ada kontribusi (dari perkebunan sawit). Hutan di situ habis, air itu tercemar dan rusak,” ucap Mariyady.

“Kemudian, area yang sudah dijual ke investor, ke perusahaan itu, sekali lagi saya katakan, tujuh turunan tak akan mereka dapatkan! Tidak ada tempat area (untuk) mengembangkan diri mereka. Habis!”

“Tidak ada lagi (lahan untuk berladang dan hutan) karena sudah dibeli, dikaveling. Pelan, namun pasti, semua itu akan diambil mereka.”

Mariyady menyalahkan pemerintah setempat yang gagal melindungi kampung-kampung dari caplokan perusahaan. “Masyarakat tidak bisa disalahkan karena mereka tak punya pemahaman dan pendidikan,” katanya. “Yang berdosa adalah orang-orang yang memangku jabatan.”

Investigasi kami  menunjukkan, apa yang diutarakan Mariyady beralasan. Kampanye politik dalam pilkada yang diikuti Hambit Bintih tahun 2013, berakhir dengan penyuapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Uang suap tampaknya dari transaksi jual-beli tanah di Gunung Mas. Sampai hari ini, izin-izin perusahaan perkebunan masih berlaku. Ketika skandal lenyap dari sorotan publik, para pemimpin dan pejuang masyarakat seperti Mariyady, justru dibiarkan berurusan dengan kerumitan perkara di lapangan di mana perusahaan telah mengambil alih tanah-tanah adat dan membuldoser hutan-hutan keramat mereka.

Padahal, hutan-hutan adat yang selama ini mereka lestarikan, merupakan kawasan berperan penting sebagai bagian dari paru-paru dunia.

Mariyady mulai memberikan pemahaman kepada warga soal mempertahankan lahan dan hutan, sebagai sumber hidup mereka.

Perjuangan Mariyady, mewakili sedikit dari suara-suara lantang yang sebetulnya meneriakkan perlawanan meredam kekuatan hebat antara kepentingan korporasi dan para politisi.

Meskipun Hambit sudah vonis hukuman penjara empat tahun (meninggal dunia saat menjalani hukuman), kondisi politik di Gunung Mas,  belum banyak berubah. Kini, Gunung Mas dipimpin wakil Hambit yang meneruskan jabatannya sebagai bupati.

Pada 27 Juni ini, sekitar lima tahun dari penangkapan Hambit, Gunung Mas akan memasuki tahun politik lagi, warga akan dihadapkan pada pilihan sulit dalam pilkada langsung. Salah satu tiga pasangan kandidat yang maju dalam pertarungan merebut kursi panas itu, adalah menantu Hambit. Pasangan lain, seorang pengusaha sekaligus pemilik perkebunan sawit skala raksasa.

 

Keterangan foto utama: Mariyady. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

Hutan yang sudah terbabat untuk kebun sawit di dekat Sare Rangan. Foto: Sandy Watt untuk The Gecko Project.

 

 

Exit mobile version