Mongabay.co.id

Vonis Maksimal Hakim, Akankah Diberikan untuk Pelaku Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar?

Upaya penegakan hukum yang dilakukan penyidik Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PamGakkum KLHK) Wilayah Sumatera dan penyidik kepolisian dalam memberantas kejahatan tumbuhan dan satwa liar ini, merupakan persoalan besar. Tidak adanya hukuman maksimal di tingkat pengadilan yang membuat pelaku kejahatan jera alias tidak mengulangi perbuatannya lagi merupakan hal utama yang dihadapi saat ini.

Haluanto Ginting, Kepala Seksi Wilayah I Balai PamGakkum KLHK Wilayah Sumatera mengatakan, kejahatan tumbuhan dan satwa liar sama levelnya dengan narkoba, harus terus disuarakan pencegahannya. Selama ini, vonis hukuman penjara yang diberikan terhadap pelaku relative rendah. Pihaknya tidak bisa melakukan intervensi karena kewenangan hanya sampai pada berkas lengkap atau P21 lalu melimpahkan berkas, barang bukti, dan tersangka atau P22. Setelah itu menjadi kewenangan penuh kejaksaan hingga perkara putus di pengadilan.

“Begitu berkas dinyatakan lengkap atau P21, kewenangan kami sebatas itu saja,” jelasnya.

Kasus yang sudah ditangani Balai PamGakkum KLHK Wilayah Sumatera sebanyak 79 kasus, 26 di antaranya adalah kejahatan tumbuhan dan satwa liar.

Dari semua kasus yang diungkap, hanya di Indragiri saja hukumanan pidananya yang 4 tahun penjara, dan denda maksimal yaitu Rp100 juta, diikuti di Jambi vonis penjara 3 tahun denda Rp50 juta. Selebihnya, hukuman rata-rata hanya 2,5 tahun hingga 2 tahun 10 bulan.

“Ini permasalahan sebenarnya. Vonis majelis hakim terlalu ringan. Sementara, penyelidikan dilakukan sampai bertahun dengan biaya tidak sedikit dan risiko tinggi,” jelasnya.

 

Harimau Sumatera ini mati mengenaskan, kakinya terkena jerat pemburu di Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara. Sampai saat ini belum ada yang bertanggung jawab atas kematian satwa dilindungi ini. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Lantas, apa sebenarnya yang terjadi di tingkat peradilan? Mengapa vonis yang ditetapkan dalam Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemya (KSDAE), yaitu penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta tidak dilakukan oleh majelis hakim? Apakah perkara tumbuhan dan satwa liar ini sudah dijadikan prioritas?

Giyanto atau dikenal dengan sapaan Gigi, Senior Wildlife Crime Unit – Forest Crime Unit Specialist (WCU) mengatakan, sejak 2007 dia sudah fokus pada permasalahan satwa liar.

“Apakah usaha yang penegakan hukum sudah maksimal? Saya pastikan itu belum terjadi, tetapi arahnya sudah terlihat,” jelasnya.

Gigi menjelaskan, sekitar dua bulan lalu pihaknya memberikan materi untuk Badan Reserse Kiminal Mabes Polri soal satwa liar. Setelah diklat itu, Kabareskrim langsung mengeluarkan telegram yang meminta seluruh jajaran Polda di Indonesia mengungkap dan menuntaskan kasus perdagangan satwa liar. ini sebuah kemajuan.

“Di tingkat kehakiman, saat ini ada sertifikasi hakim lingkungan dan itu merupakan pendidikan resmi hakim yang menangani perkara-perkara lingkungan,” jelasnya.

 

Hukuman yang rendah membuat pemburu dan jaringannya tak pernah jera. Foto ini adalah paruh burung rangkong yang diburu dari kawasan TNGL. Pelakunya hanya divonis 2 bulan penjara. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Di tahun 2016-2017, training tentang satwa liar yang menghadirkan jaksa di tiap daerah sebanyak 30 hingga 50 jaksa telah dilakukan. “Jadi kita harus kawal juga. Jangan sampai usaha ini sebatas kegiatan tanpa hasil. Soal komitmen penanganan satwa liar jharus ada juga,” ungkapnya.

Menurut Gigi, ketika harimau atau satwa liar dilindungi ditangkap, perhitungan parameter lainnya harus dimunculkan. Misal, fungsi harimau di alam, nilai historis, dan ekologis. Jadi, tidak bisa disamakan antara status satwa yang masih banyak di alam dengan yang terancam punah. “Jaksa maupun hakim hakim tidak bisa menghitung kerugian dari berapa nilai harga jualnya, tetapi dari parameter tadi yang nilainya bisa miliaran.”

Para pedagang satwa liar dilindugi ini memiliki jaringan luas dan ada mafia kelas kakapnya. Apakah pegiat konservasi berjaringan juga untuk melawan kejahatan ini? “Kekuatan yang harus digalang adalah bersatunya pegiat konservasi lalu menggandeng pemuda dan kelompok pencinta alam untuk untuk bersama melawan kejahatan ini.”

 

Sebanyak satu ton sisik trenggiling diamankan bersama ratusan ekor trenggiling dari sebuah gudang di Titi Papan, Medan Belawan. Pelakunya kabur sesaat setelah ditangkap. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Harus tegas

Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, mengatakan hilangnya satwa dilindungi maupun tidak, yang terjadi saat ini, disebabkan izin yang dikeluarkan pemerintah dari sektor kehutanan. Ketika kawasan dibuka, pemburu semakin mudah masuk dan perdagangan satwa marak.

“Contoh kasus di Ekosistem Batang Toru. Baru saja ditemukan satwa langka dan terancam punah bernama orangutan tapanuli, tetapi malah ada izin untuk pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga air.”

Dia berharap ada gerakan bersama melindungi satwa liar. “Kita tidak bisa mengerjakan sendiri-sendiri, karena akan kecolongan dengan cara kerja mafia yang licin dan selalu membarui cara kerjanya.”

Hal senada disampaikan Mistar, Biodiversity Monitoring Unit Yayasan Ekosistem Lestari (YEL). Menurutnya, kasus perdagangan satwa dilindungi yang masuk pengadilan tidak seimbang dengan apa yang sudah diperbuat para pelaku.

Dia mencontohkan orangutan sumatera. Di Karantina SOCP di Batu Mbelin Sibolangit, dari 300 orangutan yang diselamatkan, kecil sekali yang bisa dibawa ke level penuntutan. Padahal, sebagian besar orangutan itu korban perdagangan, perburuan, peliharaan, yang mengakibatkan mengakibatkan luka, cacat, dan ada yang mati.

“Banyak yang diselamatkan. Kami menghitung bukan banyaknya populasi orangutan, namun laju penurunannya. Kami berharap ada peningkaran hukuman bagi pelaku kejahatan,” jelasnya.

 

 

M. Indra Kurnia, Program Manager YOSL- OIC mengatakan, pengungkapan kasus masih pada level penampung, bukan pelaku utama. Harusnya, revisi UU KSDAE Nomor 5 tahun 1990 segera kelar karena hukuman maksimal harus diberikan untuk pelaku.

Saat mengikuti penyusunan dokumen strategi rencana aksi konservasi orangutan di Jakarta, dia mengatakan bertemu dengan pihak Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Dari diskusi itu, pihak kejaksaan dan Mahkamah Agung menyatakan agar lebih kuat dan ada efek jera, dari sisi UU harus ada hukuman minimal. Ini harus ditentukan, agar direncana tuntutan nanti berpatokan pada hukuman minimalnya.

“Intinya, harus segera direvisi UU itu, jadikan maksimal menjadi hukuman minimal dan dendanya diperberat Rp1 miliar agar benar-benar kapok pelakunya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version