Mongabay.co.id

Persoalan Air Bersih Bisa Selesai dengan Teknologi Ekohidrologi?

Persoalan air bersih di Indonesia hingga saat ini masih menjadi masalah yang serius dan belum terpecahkan. Walaupun, selama ini Indonesia dikenal luas sebagai salah satu penyumbang air bersih terbesar untuk negara di kawasan Asia Pasifik. Tak tanggung-tanggung, sumbangan air bersih yang berasal dari Indonesia, besarnya mencapai 21 persen.

Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI Ignasius Dwi Sutapa belum lama ini menjelaskan, sumbangan 21 persen yang diberikan Indonesia secara tidak langsung, merupakan data resmi yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Data tersebut menunjukkan bahwa produksi air bersih di Indonesia masih berlimpah hingga bisa menyuplai negara lain secara langsung ataupun tidak.

“Akan tetapi, pada kenyataannya hingga saat ini masih ada masyarakat kita yang belum mendapatkan akses air bersih,” ucapnya.

baca : Air Bersih yang Begitu Dinanti Masyarakat Sekitar Gambut

 

Sumber air bersih semakin terbatas akibat perubahan iklim dan penggunaan secara berlebihan. Sementara, air bersih tidak lagi akan tersedia akibat hilangnya mata air dunia. Foto: Aji Wihardandi/Mongabay Indonesia

 

Igantius mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan sejumlah pakar di bidangnya, saat ini jumlah air di bumi tetap sama namun jumlah pertumbuhan manusia terus meningkat dan itu menyebabkan jumlah air bersih yang bisa dikonsumsi jumlahnya semakin menurun. Agar kuantitas air tidak mengalami penurunan, perlu dilakukan berbagai upaya, salah satunya melalui teknologi ekohidrologi.

Adapun, yang dimaksud konsep ekohidrologi adalah menyatukan berbagai aspek diantaranya hidrologi, ekologi, ekoteknologi, dan budaya. Menurut Ignatius, tujuan penyatuan dalam berbagai aspek pada konsep ekohidrologi, adalah untuk menghadirkan kualitas sumber daya air yang terbaik untuk masyarakat.

Secara spesifik Ignasius menjelaskan, komponen dalam ekohidrologi memiliki perannya masing-masing. Kata dia, prinsip ekologi adalah peningkatan kapasitas penyerapan dari ekosistem. Sedangkan, prinsip hidrologi menjadi kerangka kerja untuk proses kuantifikasi massa air.

Kemudian, Ignatius melanjutkan, untuk prinsip ekoteknologi, itu berkaitan dengan penggunaan properti ekosistem yakni sebagai alat tata kelola manajemen air. Terakhir, adalah prinsip budaya yang bertujuan untuk meningkatkan hubungan yang dinamis antara sistem hidrologi, sosial, dan ekologi.

“Ekohidrologi ini hadir untuk ketersediaan air bersih yang berkelanjutan di Indonesia,” tuturnya.

baca : Babak Baru Pengelolaan Air Bersih Jakarta: Swasta atau Pemerintah?

 

Air Terjun Benang Kelambu ini berada di kawasan hutan kelola masyarakat, HKm Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang, Lombok, NTB. Kawasan ini menjadi tumpuan pasokan air bersih di Lombok. Air tak akan mengalir deras, jernih dan bersih kala hutan tak terjaga. Setelah warga mendapat izin mengelola hutan–sebelumnya berkonflik dengan Taman Nasional Gunung Rinjani–hutan menjadi lebih terjaga dan perekonomian warga meningkat. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Penggunaan teknologi tersebut, menurut Ignatius, menjadi jawaban atas tantangan yang saat ini tengah dihadapi negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang sedang mengalami persoalan air bersih. Dengan ekohidrologi, persoalan rendahnya akses terhadap air dan sanitasi bersih yang dihadapi masyarakat global, khususnya Indonesia, bisa diatasi dengan bijak.

“Persoalan ini kerap kali berujung pada munculnya penyakit-penyakit yang berkaitan dengan air. Selain itu, faktor lainnya adalah banjir dan kekeringan yang kerap melanda kawasan tersebut,” ungkapnya.

Sementara itu, tentang prinsip berkelanjutan yang disematkan pada teknologi tersebut, adalah tentang ketersediaan air yang terjangkau bagi masyarakat dengan kualitas dan kuantitas yang terjaga sama baiknya di kawasan perkotaan ataupun pedesaan. Dengan konsep itu, maka air yang dihasilkan bisa menjaga kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya.

“Air yang tidak sehat akan mengakibatkan diare pada anak balita dan menurunkan berat badannya sehingga berpengaruh pada status gizi bersifat akut. Pendekatan ekohidrologi dapat meningkatkan kualitas air, yang pada akhirnya dapat menunjang perbaikan tingkat layanan air bersih Indonesia,” tandasnya.

Secara spesifik, Ignatius menyebutkan, ketersediaan air bersih dapat menurunkan water borne disease, menurunkan stunting, dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

baca : Perlahan, Air Bersih Menjauhi Masyarakat Bandung

 

Ini salah satu sumber air bersih bagi warga Kepulauan Karimata. Foto: Dok. Panitia Festival Karimata 2015

 

Sumber Daya Air Terpadu

Tentang teknologi ekohidrologi, Ignatius Dwi Sutapan menerangkan, itu adalah pendekatan dalam pengelolaan sumber daya air terpadu yang menawarkan pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam memahami lingkungan dan sistem sumber daya air. Pendekatan itu dilakukan melalui pemahaman interdepensi proses dan komponen siklus hidrologi di ekosistem darat dan perairan. Dengan cara itu, kualitas sumber daya air bisa meningkat dengan mempertimbangkan unsur ekologi, hidrologi, ekoteknologi dan budaya.

“Prinsip ekologi adalah terkait peningkatan kapasitas penyerapan dari ekosistem, prinsip hidrologi sebagai kerangka kerja untuk proses kuantifikasi, prinsip ekoteknologi dalam penggunaan properti ekosistem sebagai alat manajemen,” paparnya.

Sementara, peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Rachmat Fajar Lubis mengungkapkan, kehadiran aplikasi dari teknologi ekohidrologi salah satunya bertujuan untuk mengurangi dampak musim kemarau yang ada di Indonesia dan diprediksi akan terjadi pada Agustus-September tahun ini. Dengan ekohidrologi, persoalan tahunan musim kemarau yang melanda berbagai daerah, diharapkan bisa dipecahkan secara berkala.

“Menjelang musim kemarau nanti, seharusnya mulai dibuat skenario oleh Pemerintah untuk mengantisipasi dampak kekeringan,” himbaunya.

baca : Kakek Sadiman, Seorang Diri Hijaukan Bukit Gundul (Bagian 1)

 

Setelah mbah Sadiman berhasil menghijaukan lagi perbukitan di Bulukerto, Wonogiri, Jateng, puluhan mata air kini muncul lalu dimanfaatkan warga untuk air bersih dan pertanian. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Rachmat menuturkan, dalam upaya pengelolaan sumber daya air terpadu, konsep ekohidrologi meliputi informasi dasar ekologi-potensi sumber daya air, aplikasi teknologi yang tepat guna serta ramah lingkungan lokal dan berbasiskan partisipasi masyarakat. Adapun, aplikasi penerapan konsep dan teknologi tersebut saat ini sudah dilakukan di sejumlah wilayah di Indonesia.

“Dengan hasil pengurangan dampak kekeringan yang nyata,” tegasnya.

Agar persoalan air bersih bisa secara berkala hilang, Rachmat menghimbau kepada masyarakat untuk bahu membahu melakukan edukasi kepada sesamanya berkaitan dengan pentingnya air bersih bagi kehidupan. Edukasi tersebut, harus bisa dikenalkan dan diajarkan sejak dari usia dini.

“Sebagai contoh Asia Pacific Centre for Eco-Hydrology telah berupaya mengajarkan pada pentingnya menjaga sumber daya air dan pemahaman untuk menggunakan air secara bijaksana kepada pelajar,” ungkapnya.

Sementara, Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara, berkaitan dengan kesulitan air bersih yang sering dihadapi masyarakat di sejumlah daerah, sebenarnya itu bisa diatasi secara mandiri oleh masyarakat. Keyakinan itu ada, karena masyarakat memiliki kemampuan untuk menyediakan air bersih dengan mempergunakan modal sosialnya sendiri terkait dengan jejaring kerja serta hubungan saling percaya (trust).

“Penyediaan air dengan cara mengkonservasi ekosistem tertentu dengan nilai-nilai tradisional masih hidup pada beberapa kelompok masyarakat adat,” jelasnya.

baca : Indonesia Negeri Tropis, Tapi Krisis Air Bersih di Kawasan Pesisir Terjadi?

 

Ketika toren air belum berdiri di kampung Dusun Jamus, warga mendapatkan air bersih secara bergilir dari paralon-paralon di pinggir jalan kampung. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Herry mencontohkan, konsep-konsep tradisional seperti hutan larangan, lubuk larangan, sirah cai (mata air) dan berbagai konsep lainnya, sudah ada sejak lama di masyarakat. Nilai-nilai tersebut bukan hanya bersifat mitos dan supra-natural, melainkan hidup dalam keseharian.

“Tidak hanya itu, beberapa komunitas di pedesaan dan perkotaan juga sudah mempergunakan modal sosialnya untuk penampungan dan pendistribusian air bersih. Intinya, ketersediaan air tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, melainkan masyarakat pun mempunyai daya upayanya sendiri,” tandas dia.

Di antara bentuk inisiatif yang ada di masyarakat, menurut Herry, adalah kebiasaan melakukan gotong royong untuk berbagai kegiatan. Kebiasaan tersebut, menjadi tradisi yang baik dan layak untuk dipertahankan, termasuk dalam membangun dan menyediakan kebutuhan air bersih untuk kebutuhan masyarakat itu sendiri.

Herry menambahkan, diperlukan kerja sama dan respon positif dari Pemerintah daerah untuk bersama-sama mengelola inisiatif masyarakat untuk menjaga air bersih. Selain itu, diperlukan edukasi ke masyarakat agar mendorong mereka semakin berinisiatif menciptakan tata kelola air bersih yang baik seperti mengelola hutan desa untuk menjaga jumlah air bersih di tanah.

“Contoh lainnya, membuat lubuk ikan di sumber mata air, dan melalui bak penampungan air di pedesaan,” pungkasnya.

 

Exit mobile version