Mongabay.co.id

Jangan Asal Pilih Pemimpin, Sesal Kemudian Tiada Arti

Cagar Alam Tangkoko memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan ekosistem yang khas. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di Indonesia digelar 27 Juni 2018. Cermati, jika ada tim sukses pasangan calon yang membagikan uang atau benda beharga lainnya ke pemilih. Baiknya, pasangan calon itu tidak dipilih. Kenapa?

“Ya jelas pasangan calon itu mengajak kita korupsi. Dia membeli suara, maka dia akan menjual kekuasaannya ke pemodal. Sebab dia tidak mau rugi, justru mau untung. Hal yang paling mudah dijual dengan para pemodal tentu saja perizinan, dan nilai yang mahal adalah perizinan sumber daya alam. Potensi korupsi bukan hanya calon yang memang memiliki jejak rekam buruk, juga yang saat ini bersih. Jika ada yang melakukan penyogokan suara, potensinya menjadi penjahat lingkungan terbuka lebar,” terang Dr. Yenrizal Tarmizi dari UIN Raden Fatah Palembang, Jumat (22/06/2018).

“Jadi, jangan pilih pasangan yang membagikan uang atau hadiah tersebut. Secara moral, kita tidak turut melahirkan pemimpin korup, dan kita pun tidak turut berdosa,” lanjutnya.

Lalu, pasangan calon seperti apa yang layak dipilih? Baca rekam jejaknya. Apakah mereka termasuk yang diduga melakukan kejahatan lingkungan hidup, melanggar HAM, atau memiliki cacat moral lainnya seperti diduga menggunakan narkoba dan lainnya.

Baca: Jelang Pilkada, KPK Diminta Selidiki Transaksi Izin Sumber Daya Alam

 

Pengelolaan sumber daya alam Indonesia harus dilakukan dengan baik agar memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat dan bangsa. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

Terpenting, dia memiliki visi menyelamatkan umat manusia dengan mewujudkan masyarakat sejahtera di tengah lingkungan yang lestari dan berdaulat. “Misalnya, mengembangkan ekonomi kreatif dan menolak semua investasi yang menghancurkan bentang alam. Menjadikan negara dan masyarakat berdaulat atas kekayaan alamnya,” terang Yenrizal.

Dr. Tarech Rasyid dari Universitas IBA Palembang, setuju jika pemberian amplop oleh timses pasangan calon ke pemilih memiliki potensi calon tersebut akan melakukan korupsi, jika terpilih menjadi pemimpin. “Dia berpotensi menjadi koruptor. Korupsi di sektor apa saja. Sebab dia mengeluarkan biaya saat mendapatkan suara. Dia jelas ingin biaya tersebut kembali. Jika hanya biaya kampanye jelas tidak terlalu besar, tapi biaya sogok atau beli suara dari pemilih ini sangat tinggi,” jelasnya.

 

Pertanian merupakan sektor penting yang harus diperhatikan dari dampak perizinan sumber daya alam. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Informasi calon kepala darah     

Iskandar, warga Kalidoni, Palembang, Jumat (22/06/2018), mengatakan akan senang saja jika ada timses pasangan calon yang memberi uang. “Itu rezeki, ya terima saja.”

Soal apakah nantinya pasangan calon itu korupsi, itu risiko mereka, jika ketahuan pasti masuk penjara. “Tapi soal siapa sosok calon dan termasuk catatan buruknya terus terang sangat minim kami terima. Informasi masih sebatas isu, sehingga kami ragu itu fitnah. Kami takut berdosa dan ditangkap jika menyebarkannya. Harusnya, televisi atau koran mengupasnya terbuka, sehingga kami mengerti,” katanya.

Ibrahim Arsyad, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang, terpisah, membenarkan apa yang disampaikan Iskandar. “Memang ada kecenderungan seperti itu sikap media massa, terutama di Sumatera Selatan, yang menjadi pantauan kami. Mengapa? Sebab sebagian besar media pada proses pilkada ini bekerja untuk kepentingan pasangan calon, bukan kepentingan publik.”

“Selain itu banyak aktor, baik dari perguruan tinggi, ormas dan ornop yang terlibat dalam suksesi pasangan calon. Jika ada aktor yang bekerja untuk kepentingan publik, media massa pasti akan memberi ruangnya,” lanjutnya.

Conie Sema, pekerja seni dan pernah bekerja sebagai jurnalis cetak dan televisi mengatakan, sulit mendapatkan media massa di Indonesia yang mampu membongkar jejak seorang calon kepala daerah. Sebab, saat ini banyak media massa dilahirkan oleh para aktor politik.

Termasuk juga media sosial yang banyak digerakkan dengan biaya kekuatan politik praktis. Sementara media massa alternatif atau yang dilahirkan independen, saat ini mengalami kendala sumber daya. “Jadi, jika media massa mau berperan maksimal, bebaskan kepemilikannya dari kekuatan politik, dan didik publik untuk bersikap terhadap media massa partisan, yakni boikot beli, baca dan tonton.”

Sebenarnya, ada media massa, khususnya online, yang menjadi sumber pengetahuan kritis masyarakat, seperi persoalan lingkungan hidup. “Tapi masih butuh waktu agar menjadi bacaan wajib publik, sebab harus bersaing dengan media massa lain yang juga punya target menyebarkan informasi tertentu seperti gaya hidup dan ekonomi,” terangnya.

 

Jangan asal pilih pemimpin, menyesal di kemudian hari tiada arti. Selidiki dahulu latar calon tersebut, selengkap mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Andreas Harsono, peniliti Human Rights Wacth, menjelaskan sejumlah faktor media massa cenderung tidak mengupas habis setiap calon kepala daerah atau pemimpin, dikarenakan bermacam faktor. Secara umum, jurnalisme yang independen di Indonesia, termasuk Sumatera, masih muda sekali, baru sekitar 20 tahun. Banyak wartawan, termasuk redaktur mereka, belum punya pengalaman cukup buat memahami independensi media.

“Faktor lain adalah biaya liputan rendah serta gaji minimal, syukur bila di atas upah minimal regional. Waktu kerja sangat menekan, kebanyakan wartawan tak punya waktu leluasa buat bikin liputan bermutu. Ini membuat wartawan tidak luwes bekerja, mereka cenderung cari gampang,” lanjut pendiri Yayasan Pantau, sebuah lembaga pendidikan dan penelitian jurnalis.

Andreas sependapat jika kepemilikan media massa oleh para aktor politik menjadi faktor hadirnya persoalan tersebut. Apa yang harus dilakukan? “Pada 2012 lalu Dewan Pers menerbitkan buku “Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Ini pedoman buat wartawan dan warga dalam era internet. Intinya, mereka mengatakan bahwa fungsi ruang redaksi sebagai “penjaga gawang” informasi sudah bubar.

Kini semua orang bisa menerbitkan, menyiarkan apapun, dari informasi bermutu sampai sampah. Buku tersebut menyebutkan ada delapan peran jurnalisme pada era internet, antara lain, menjadi smart aggregator, artinya menunjukkan kepada warga mana informasi bermutu, mana yang tidak. “Wartawan harus jadi role model buat warga. Tantangan lainnya adalah membentuk forum dimana warga bisa belajar bagaimana menyaring informasi,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version