Mongabay.co.id

Ikan Arapaima, Ikan Berbahaya yang Masuk ke Indonesia

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengecam aksi pelepasan ikan asing Arapaima sp. yang dilakukan di perairan Sungai Brantas, Mojokerto, Jawa Timur oleh seseorang yang tidak diketahui namanya. Aksi tersebut terekam dalam video dan rekamannya beredar luas di sosial media sejak 25 Juni lalu.

Kepala Pusat Karantina Ikan KKP Riza Priyatna di Jakarta, pada Rabu (27/6/2018) mengatakan, berdasarkan Undang-Undang No.31/2004 tentang Perikanan Pasal 12 ayat (1), disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau kerusakan sumber daya ikan dan atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

Kemudian, Riza menyebutkan, dalam UU yang sama dalam Pasal 12, ayat (2), disebutkan bahwa setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan, dan atau kesehatan manusia di WPP RI.

baca : Bagaimana Mencegah Ikan Asing Berbahaya Masuk ke Perairan Indonesia?

 

Ikan Arapaima gigas. Foto : Rhett Butler

 

Tak hanya itu, Riza menegaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.41/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Pemasukan Jenis Ikan Berbahaya dari Luar Negeri ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, Ikan Arapaima merupakan salah satu dari 152 jenis ikan berbahaya yang dilarang pemasukannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia;

“BKIPM (Balai Karantina Ikan Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan) sudah bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Jawa Timur, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Dinas Perikanan Kabupaten Mojokerto. Saat ini sedang dilakukan pengumpulanm bahan keterangan di lokasi kejadian,” ungkapnya.

Dari hasil penelusuran yang dilakukan tim, Riza mengatakan, ikan Araipama yang dilepaskan ke sungai diketahui dimiliki oleh Pursetyo, warga Kota Surabaya yang tinggal di Perum Citra Harmoni Blok A 23 Taman Trosobo. Pria tersebut diketahui melepas 8 ekor Araipama ke sungai Brantas.

baca : Ikan Air Tawar Mendesak untuk Dilindungi Populasinya, Kenapa?

 

Ikan Arapaima gigas. Foto : Rhett Butler

 

Riza menjelaskan, total ikan Arapaima yang dimiliki Pursetyo jumlahnya ada 30 ekor. Dengan rincian, 18 ekor ada dalam penampungan pemilik di Surabaya, 4 ekor diserahkan ke masyarakat dan saat ini dalam proses pencarian oleh tim, dan 8 ekor dilepaskan ke sungai Brantas dan 7 ekor di antaranya sudah berhasil ditangkap kembali, dengan kondisi 1 ekor sudah dalam keadaan mati.

“Ikan yang mati sudah diamankan di Kantor Balai Desa Mlirip Rowo Mojokerto, sementara 6 ekor sudah dikonsumsi oleh masyarakat setempat. Sisanya, 1 ekor lagi dalam proses penangkapan,” paparnya.

 

Denda

Perbuatan Pursetyo dengan melakukan introdusir ikan asing ke sungai Brantas, menurut Riza merupakan perbuatan pidana dan sudah diatur dalam UU No.31/2004 Pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di WPP RI melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

“Dan denda paling banyak Rp2 miliar,” tuturnya.

Kemudian, Riza melanjutkan, berdasarkan UU Perikanan, Pasal 86 ayat (2) disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

 

Ikan Arapaima gigas. Foto : Rhett Butler

 

Pencegahan

Sebelumnya, BKIPM pernah merilis informasi tentang adanya upaya perdagangan ikan asing yang berbahaya ke Indonesia. Aksi yang tertangkap di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten itu rencananya akan berlanjut ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Upaya tersebut kemudian digagalkan karena ikan yang dibawa termasuk ikan asing berbahaya.

Adapun, ikan yang akan diselundupkan itu, adalah ikan Arapaima, Piranha, dan Alligator gar. Saat itu, BKIPM menegaskan, walau ikan-ikan tersebut secara fisik terlihat indah, tetapi mereka bukan digolongkan sebagai ikan hias. Mereka juga berbahaya karena mengancam ekosistem di laut. Oleh itu, jika ada ikan seperti itu, ikan langsung disita dan dimusnahkan.

Kepala BKIPM Rina mengatakan, Ikan Arapaima gigas, alligator dan piranha merupakan ikan yang membahayakan sumber daya hayati ikan di Indonesia. Jika dibiarkan bebas di perairan lepas, dia mengkhawatirkan ikan-ikan tersebut akan memakan sumber makanan dengan sangat cepat dan dalam jumlah yang banyak.

Rina mencontohkan, ikan yang dinilai berbahaya bagi ekosistem laut, adalah ikan alligator. Ikan tersebut bisa bertahan tanpa makanan selama beberapa hari, namun bila di suatu tempat tersedia banyak makanan, dia akan makan sebanyak-banyaknya.

“Dengan porsi makan yang sangat besar, cepat berkembang biak dan bisa mencapai usia yang cukup panjang, dapat dipastikan keberadaan ikan aligator akan mengancam keberlangsungan sumber daya ikan kita. Belum lagi ikan arapaima dan piranha,” jelasnya.

 

Ikan alligator gar di akuarium utama CA Academy. Foto : Rhett Butler

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, keberadaan ikan asing harus dijaga sebaik mungkin agar tidak masuk ke perairan Indonesia. Dengan demikian, ikan endemik yang sudah ada bisa tetap lestari dan itu untuk menjamin keberlanjutan pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat khususnya para nelayan dan petani ikan.

“Karena itu, menurut dia, perlu kehati-hatian dalam rencana pemasukan jenis ikan baru ke suatu negara atau perairan. Kehadiran spesies ikan baru, yang dikenal sebagai Species Asing Invasif (SAI) mendesak populasi ikan asli atau endemik, baik melalui pemangsaan, kompetisi makanan, maupun keunggulan reproduksinya,” ujarnya.

Karena dominasi yang sangat kuat, Susi mengatakan, ikan-ikan asli menjadi semakin sulit dan terancam hidupnya dan pada akhirnya tersisihkan. Kemudian, ikan-ikan tersebut akan digantikan oleh ikan asing introduksi yang berbahaya.

Susi mengungkapkan, faktor kehati-hatian menjadi faktor utama yang harus diperhatikan dalam rencana pemasukan atau introduksi jenis ikan baru ke suatu negara atau perairan. Meskipun, pada tingkat tertentu, introduksi ikan baru memang terbukti mampu meningkatkan produksi perikanan.

“Namun disisi lain, upaya tersebut telah menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan dan atau spesies asli di suatu negara atau wilayah,” tegas dia.

Adapun, hingga saat ini, di Indonesia sudah terjadi beberapa kali introduksi ikan asing di perairan. Dari data yang dirilis BKIPM, kasus-kasus tersebut menyebar di sejumlah daerah, dengan rincian:

  1. Ikan mujair di Waduk Selorejo Jawa Timur,
  2. Ikan nila di Danau Laut Tawar, Aceh,
  3. Ikan toman di Bangka,
  4. Ikan louhan di Waduk Cirata, dan waduk Sempor Jawa Tengah,
  5. Ikan red devil di Waduk Sermo, Yogyakarta, Waduk Cirata dan Waduk Kedungombo,
  6. Ikan oscar dan golsom di Waduk Jatiluhur,
  7. Lobster air tawar di danau Maninjau, dan
  8. Ikan mas di danau Ayamaru, Papua.

Ikan-ikan asing tersebut, biasanya selalu menjadi invasif di tempat tinggalnya yang baru. Di beberapa perairan, populasi jenis ikan asli/endemik mengalami penurunan setelah ikan asing masuk. Populasi tersebut contohnya adalah ikan depik (Rasbora tawarensis) di danau Laut Tawar Aceh, ikan belida dan tapah di Bangka, ikan wader dan ikan betik di Waduk Sempor Jawa Tengah dan ikan pelangi (Melatonia ayamaruensis) di danau Ayamaru, Papua.

 

Exit mobile version