Mongabay.co.id

Kearifan Jaga Alam dari Kampung Rawa Biru

Warga Kampung Rawa Biru, saat menghadari proses sasi sekaligus peringatan Hari Keanekaragaman Hayati. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Mei lalu,  saya ke Kampung Rawa Biru, Merauke, Papua. Tiba di pertigaan beraspal ada Pos TNI. Setiap orang yang mengunjungi kampung ini harus lapor ke pos penjagaan ini karena berbatasan dengan Papua Nugini. Ke kampung itu berjalan kaki kira-kira satu kilometer.

Saya melihat bangunan PLN megah terletak di jalan menuju kampung. “Listrik pintar.” Begitu tulisan terpampang di sana. Bagian atas ada spanduk besar bertuliskan peringatan Hari Keragamanhayati.

Suasana kampung tampak asri. Banyak pohon buah-buahan, seperti mangga, jeruk, sampai kayu putih di halaman rumah warga. Ada juga rumah penyulingan minyak kayu putih ukuran besar milik Marwan Hamid.

Di halaman rumah selain ada mesin penyuling, juga beberapa satwa endemik Kampung Rawa Biru. Ada burung kasuari, buaya, rusa dan kangguru. Di sanalah acara peringatan berlangsung.

Kampung  Rawa Biru terletak dalam Balai Taman Nasional Wasur. Rawa Biru sendiri merupakan sumber air Merauke, alami penyempitan sampai tengah. Masyarakat, katanya,  harus membersihkan rawa dari tanaman seperti tebu air yang penuhi rawa.

Daerah aliran sungai (DAS) Rawa Biru mencapai 4.791, 671 kilometer persegi di Indonesia dan PNG. Kondisi Rawa Biru,  saat musim hujan kedalaman 7.25 meter. Bila kemarau menyusut jadi 6.4 meter, berkurang 0, 85 meter.

Pada peringatan Hari Keragaman Hayati itu, di sana ada berbagai kegiatan seperti pembersihan tebu rawa, penancapan tiang adat menandai sasi adat (larangan pengambilan satwa hidup, seperti kangguru, rusa, kasuari, dan paruh bengkok) di hutan.

Marwan Hamid, Kepala Kampung Rawa Biru mengatakan, di Rawa Biru, warga masih kuat adat istiadat dan kearifan lokal, antara lain mereka punya sistem sasi. Adat sasi melarang setiap orang gunakan senjata api atau senjata angin. Juga larangan ambil telur burung apapun apalagi cenderawasih, tak boleh merusak bomi, menebang pohon, menangkap ikan habitat asli Rawa Biru, dan anggrek.

Sanksi ini, katanya,  berlaku bagi setiap pribadi atau pengunjung yang masuk Taman Nasional Wasur. Penancapan tiang sasi untuk menjaga kelestarian alam, terutama Marga Ndimar, Mayua dan Sangra.

Marga Sangra dan Mayua,  menancapkan sasi senjata api maupun angin, perburuan dan pengambilan anak atau telur burung. Marga Ndimar,  sasi pengambilan daun kayu putih di dusun mereka. Di setiap dusun tertancap tiang kayu, dalam adat Suku Marind,  sub Suku Kanume disebut misar.

“Mereka yang mengambil flora dan fauna di hutan adat diberi sanksi adat.  Dusun yang terapkan sasi tersebar di belantara Rawa Biru, misal, Dusun  Mborai, Mapur, Kudera, Petel, Witalmpo, Bowi, Kormandul, Imont, Mbelnaem, Bente, Tnakor, Sawok, Kapolakalimeto, Kpliak, Mero dan Yambermakaem.”

Marwan mengatakan, Kampung Rawa Biru, walaupun sangat jauh, serba terbatas fasilitas dibandingkan kampung lain di Merauke, di sini sudah punya listrik sendiri, instalasi air bersih, dan jaringan telepon lancar.

“Walaupun Merauke alami kesulitan jaringan telepon karena serat kabel optik terputus tetapi telepon lancar saja,” kata Hamid.

Meskipun begitu, jalan aspal ke kampung mereka masih belum ada. Dia meminta,  Pemerintah Merauke,  menyelesaikan jalan kampung demi kelancaran akses warga.

“Sepanjang jalan batas aspal tak ada. Walaupun, sudah dibahas dalam Musrembang Distrik Sota, tetapi jarak cukup jauh menjangkau Rawa Biru,  sekitar satu kilometer lebih,” katanya.

 

Pelepasliaran arwana di Rawa Biru. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Dia yakin,  sisa pembangunan jalan bisa rampung tahun ini. Ia bisa menghubungkan Sota-Merauke dan kampung lain sepanjang Jl Trans Papua.

Irwan Efendi, Kepala BKSDA Merauke sekaligus ketua acara mengatakan, menjaga kelestarian alam dengan kearifan lokal terbukti ribuan tahun lalu tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan dan mampu menjaga keragaman hayati.

Pada hari keragaman hayati bersama melakukan aksi konservasi flora dan fauna di Rawa Biru. Caranya,  antara lain, dengan pelepasliaran arwana sebagai kontribusi pengusaha ikan hias di Merauke.

Bagi pedagang ikan hias, pengambilan arwana dilarang. Dia juga mengajak semua orang menjaga habitat ikan asli Rawa Biru dengan penancapan tiang adat oleh tokoh adat. Guna peningkatan ekonomi masyarakat dan kebudayaan, pemerintah juga menyerahkan berbagai bantuan seperti jaring, dan alat transportasi (ketinting) kepada perwakilan masyarakat.

Masyarakat juga diimbau bekerja sama membersihkan tanaman pengganggu jenis tebu rawa di Danau Rawa Biru.

Papua, katanya,  memiliki sumber alam luar biasa. “Ini untuk menanamkan pentingnya keragaman hayati kepada seluruh keluarga  dan anak-anak dan anak cucu,” kata Irwan.

Sularso, Wakil Bupati Merauke bertekad memelihara Rawa Biru. Dia bilang, prosesi adat seperti sasi menunjukkan kesungguhan pemilik hak ulayat, bahwa mereka sepakat menjaga lingkungan. “Ini jadi contoh masyarakat paham benar pembangunan merupakan tanggung jawab bersama.”

Taman Nasional Wasur,  merupakan bentang alam penting. Ia habitat arwana dan berbagai burung migran yang singgah termasuk sebagian burung air. Ia potensial jadi wisata burung air, seperti terlihat di Pantai Ndalir dan Rawa Dogamit.

 

 

Exit mobile version