Mongabay.co.id

Berharap Serat Sisal untuk Kehidupan

Gebang, demikian warga sekitar Desa Dukuh, kaki Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali ini menyebut tanaman perdu bernama latin Agave sisalana ini. Sejumlah negara dan media pertanian menyebutnya sisal sebagai nama universal.

Ketut Artini dan Nengah Minggu adalah pasangan yang bertahun-tahun mengolah bilah-bilah gebang yang hidup di sekitar rumah mereka. Saat musim kemarau, lahan menjadi kering dan warga sulit mendapatkan air bersih.

Gebang hidup liar di sejumlah titik hutan yang mulai gundul. Selain mengolah gebang, kehidupan mereka ditopang dari panen tuak, deresan bunga pohon lontar yang tumbuh di lahan kering di kaki gunung berapi yang masih erupsi abu sejak 2017 lalu ini.

Namun suami Artini sudah lama tak bisa memanjat pohon lontar lagi. “Rematik, sudah tak bisa naik buat tuak,” katanya sambil terus melanjutkan merapikan serat-serat gebang atau sisal yang sudah dijemur.

Ia menjual serat gebang yang sudah dirangkai menjadi helai rambut ini sekitar Rp4000/meter. Cukup murah untuk pekerjaan yang cukup menguras tenaga. Jika sedang memiliki cukup bahan baku gebang, ia mengaku bisa merangkai 20 meter per hari. Jadi sekitar Rp80 ribu untuk uang dapur dan keperluan lain. “Kalau macet, tak bisa makan,” seru Artini terkait persediaan bahan baku.

baca : Tanaman Ini Penjaga Sawah dari Hama, Murah dan Ramah Lingkungan

 

Ketut Artini membersihkan batang tanaman Agave sisalana yang disebut gebang di Desa Dukuh, Karangasem, Bali ini untuk diambil seratnya. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejumlah warga lain yang juga mengolah serat sisal, juga menjadikannya helai-helai rambut karena belum banyak yang meminta olahan lain. Helai rambut yang dirangkai per meter ini disebut gambrang, dibeli pengepul untuk memenuhi kebutuhan rambut perlengkapan ritual dan kerajinan. Misalnya barong dan ogoh-ogoh.

Cara mengolah sisal di Desa Dukuh menjadi serat gambrang dimulai dengan menyiapkan bahan baku tanamannya. Batang tanaman dibersihkan pinggirannya agar mudah dikupas. Bagian paling penting adalah pengupasan sampai menyisakan serat dengan cara menarik-nariknya dari alat bantu sederhana. Hanya dua bilah bambu saling berhimpitan kemudian ditarik kencang dan menyisakan serat-serat berwarna putih krem. Kulit tanamannya pun terpisah.

Serat ini dijemur untuk menghilangkan sisa air dan getah. Jika tak terbiasa, getah bisa bikin tangan gatal. Serat-serat ini digantung seperti jemuran, melambai ditiup angin yang menerobos rumah-rumah warga di tengah kebun.

Serat yang sudah kering dijalin jadi ikatan-ikatan rambut yang siap dijual. Pembelinya langsung mengambil ke petani atau lewat perantara lain.

baca : Beginilah Nasib Pisang Bahan Uang Dolar dari Talaud

 

Kegiatan mengupas batang gebang atau sisal untuk diambil seratnya. Kegiatan ini bisa melukai tangan jika belum berpengalaman. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Conservation International Indonesia merintis program reforestasi bentang alam Gunung Agung sejak 2017 dengan target luasan 100 hektar daerah tangkapan air di Kecamatan Kubu. Serangkaian kegiatan dilakukan untuk mendorong warga menghijaukan lahan desanya agar memberi dampak ekonomi sekaligus mencegah erosi. Salah dua jenis tanaman yang akan ditanam adalah cendana dan gebang.

Kondisi saat ini, jika hujan lebat lumpur dan bebatuan mudah lepas dan menuju perairan konservasi dan obyek wisata selam Tulamben. Ada dua desa yang berada pada jalur ini, yakni Desa Tulamben dan Dukuh. Sekitar 7-9 km dari puncak gunung Agung. Dukuh berada di hulu, kaki Gunung Agung, sementara Tulamben di pinggir pantai dengan spot selam Liberty Wreck di hilirnya.

Saat ini gebang sudah makin berkurang, tumbuhan yang beradaptasi di lahan kritis sekaligus menyangga tanah ini luput dari perhatian. Potensinya hanya dilihat dari nilai ekonomi jual serat mentah bahan baku rambut itu.

Para petani Kenya, Afrika, dikutip dari Kompas, makin semangat budidaya tanaman perdu yang disebut Sisal ini karena harganya meroket. Serat sisal digunakan sebagai bahan baku tas pengganti plastik setelah UU pengurangan penggunaan plastik disahkan pada 2017. Warga Kenya yang memproduksi, menjual, menggunakan kantong plastik berisiko dipenjara hingga 4 tahun atau denda 40 ribu dollar AS (sekitar Rp 563 juta).

Sisal, sebuah serat kasar dan kuat, semakin banyak digunakan dalam material komposit untuk mobil, furnitur dan konstruksi serta pada produk plastik dan kertas. Badan pangan dunia mendorong pengembangan sisal sebagai alternatif materi alami penganti serat sintetik.

Sisal dapat dipanen dari 2 tahun setelah tanam dan umur produktifnya bisa mencapai hingga 12 tahun. Hasil rata-rata serat kering adalah sekitar 1 ton per hektar, meskipun hasil panen di Afrika Timur dapat mencapai 4 ton per hektar.

 

Olahan serat gebang atau sisal yang dijual petani ke pengepulnya sebagai bahan baku rambut kerajinan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Manfaat Lingkungan

Sisal disebut sumber daya terbarukan yang unggul dan dapat menjadi bagian dari solusi keseluruhan untuk perubahan iklim. Diukur selama siklus hidupnya, sisal menyerap lebih banyak karbon dioksida daripada yang dihasilkannya.

Selama pemrosesan, ia menghasilkan limbah organik dan residu daun yang dapat digunakan untuk menghasilkan bioenergi, menghasilkan pakan ternak, pupuk dan material perumahan ekologi. Pada akhir siklus hidupnya, sisal adalah 100 persen biodegradable. Sebaliknya serat yang diproduksi secara sintetis tidak memiliki sifat-sifat ini.

Selain itu tanaman sisal mengurangi erosi tanah melalui sistem perakarannya yang luas dan memberikan kontribusi positif terhadap pengelolaan daerah aliran sungai. Tanaman sisal yang digunakan sebagai pagar tanaman bertindak sebagai pagar/pagar vegetatif yang efektif untuk melindungi lahan tanaman dan hutan dari hewan pemangsa dan penyusup.

Sisal memiliki berbagai aplikasi seperti tali, tali, benang dan yang juga bisa ditenun menjadi karpet, tikar, dan berbagai kerajinan tangan. Produk sintetis telah melemahkan permintaan sisal dalam aplikasi tradisional ini, namun ada permintaan konsumen baru untuk serat alami seperti di kertas dan komposit plastik.

Sisal dapat menggantikan atau meningkatkan fiber-glass yang digunakan untuk memperkuat plastik di mobil, kapal, furnitur, tangki air dan pipa. Sisal juga dapat digunakan untuk menambah kekuatan dalam campuran semen untuk pengembangan perumahan biaya rendah dan untuk menggantikan asbes di atap dan bantalan rem. Selain itu adalah bahan isolasi dan dapat dibuat menjadi papan serat sebagai pengganti kayu.

Dana Umum untuk Komoditas, UNIDO dan industri sisal Tanzania mendanai pabrik komersial pertama untuk menggunakan residu sisal untuk menghasilkan biogas, panas proses listrik, dan pupuk. Evaluasi dari pabrik menunjukkan 75% dari energi yang dihasilkan dapat didistribusikan ke rumah-rumah pedesaan dan 25% digunakan dalam pengolahan sisal.

Di Tanzania dan Kenya, sisal tanaman perkebunan. Sementara produksi di Brasil sebagian besar berskala kecil. Produsen utama sisal adalah Brasil (120.000 ton), Tanzania (30.000) dan Kenya (25.000). Brasil mengekspor sekitar 100.000 ton serat mentah dan barang-barang manufaktur, khususnya tali ke AS. Kenya mengekspor sekitar 20.000 ton dan Tanzania 15.000 ton.

Beberapa proyek yang disponsori oleh FAO Intergovernmental Group on Hard Fibers dan didanai oleh Common Fund for Commodities (CFC) telah memberikan kontribusi untuk pengetahuan mengenai penerapan teknologi sisal dan peluang untuk pengembangan pasar.

 

Exit mobile version