Mongabay.co.id

Hiu Mati dan Temuan Jaring Misterius, Perburuan Marak di Wakatobi?

Hiu martil yang mati terperangkap. Foto: Ciwang

 

 

Satu hiu martil mati terjebak dalam jaring di spot penyelaman Wandoka Pinacle, Kelurahan Wandoka, Wangi-wangi,  Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Penyelam menemukan jaring menyerupai pukat harimau dan hiu martil mati pada 21 Mei lalu. Apakah temuan ini menandakan, perburuan hiu marak di Wakatobi?

Hiu itu, berukuran sekitar 1,20 meter. Pertama kali ditemukan pada kedalaman 20 meter oleh pemandu selam, Rudi, yang mengantarkan  tamu.

Penyelam lain, Ciwang mengatakan, pukat misterius terbenam memanjang di dasar laut menutupi ratusan terumbu karang. Panjang sekitar 200 meter dan lebar empat meter, jaring ini diduga buatan luar negeri dan sengaja dipasang.

“Kami duga dibuang sengaja dan  akan dicek lagi selama beberapa hari oleh oknum tak bertanggung jawab,” katanya.

Penyelam ini mengatakan, jaring ini bukan jaring nelayan biasa. Nelayan tradisional, katanya, akai jaring lempar sepanjang 10-20 meter.

Tak hanya itu, sekitar jaring ada semacam bubu (perangkap ikan) terbuat dari besi. Bubu seperti ini, juga tak biasa dipakai nelayan asli Wakatobi. Biasa nelayan gunakan bubu anyaman bambu.

“Lagipula ini jaring mahal dan biasanya digunakan kapal penangkap ikan di lautan bebas,” ujar Ciwang.

Dia tak mau menuduh kapal pelingkar buang pukat ini. “Yang bikin kami sakit hati hiu martil mati dan terumbu karang rusak karena pukat ini,” katanya.

 

Perburuan hiu

Ciwang tak bisa memastikan di perairan Wakatobi itu banyak hiu atau tidak. Namun, katanya, dengan kejadian itu laut Wakatobi dalam bayang-bayang perburuan. Ia juga jadi ancaman bagi biota laut dilindungi yang lain.

“Seperti lumba-lumba, di sini banyak lumba-lumba melintasi laut Wakatobi. Biasa sampai 10 ekor. Bayangkan kalau lumba-lumba ini terkena pukat seperti itu.”

Marak perburuan atau penangkapan hiu, tak lepas dari faktor ekonomi, yang mendatangkan keuntungan melalui penjualan sirip dan daging.

Laporan, Marine Program Manager Wildlife Conservation Society (WCS) mengatakan, harga sirip hiu tinggi di pasaran ekspor maupun dalam negeri memicu perburuan.

 

Penyelam yang mengecek jaring misterius. Foto: Ciwang

 

 

Kerusakan karang

Tika Simulang,  perwakilan WWF Sulawesi Tenggara mengatakan, kerusakan terumbu karang karena jaring seperti ini sampai 70% bila evakuasi dengan mengangkat langsung. Kalau menggunting rangkaian jaring, kerusakan sampai 20%.

“Memerlukan banyak tenaga dan waktu lama apabila gunakan cara menggunting karena luasan yang tertutupi jaring dua kali lapangan bola,” katanya.

Pantauan WWF,  ada sejumlah terumbu karang jadi korban jaring misterius, seperti seafan atau gorgonian (karang lunak), sponge, Acropora sp., Pocilopora sp. (karang keras).

Taman Nasional Wakatobi, belum mau memberikan komentar. Akhyar, dari Taman Nasional Wakatobi, mengaku belum terima laporan soal hiu mati kena jaring misterius.

“Belum ada laporan masuk, belum bisa kasi komentar, kepala balai masih rapat,” katanya saat dihubungi via telepon.

Sebelumnya, laporan Mongabay menuliskan,  Indonesia jadi negara legal perburuan hiu. Sejak 1970-an, Indonesia penyuplai sekitar 14% kebutuhan sirip hiu dunia antara tahun 1998-2002.

Perburuan hiu di Indonesia naik dari hanya 1.000 metrik ton 1950, jadi 117.600 metrik ton pada 2003 dengan nilai ekspor US$6.000 pada 1975 alias membengkak lebih US$10 juta pada 1991.

Sebagian besar sirip hiu ini dikonsumsi para penikmat kuliner hotel bintang lima dan sebagian restoran yang menyediakan masakan China kelas atas. Terlihat jelas, pasar terus berkembang jadi faktor utama meningkatnya perburuan sirip hiu.

Hiu hanya dinikmati sirip, selebihnya dibuang. Dampak praktik ini sisa pembuangan daging hiu terus terjadi di seluruh dunia. Setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan sirip hiu, dilarang UU di berbagai negara, namun legal di Indonesia.

 

 

Jaring besar yang ditemukan bersama hiu martil mati di perairan Wakatobi. Foto: Ciwang
Exit mobile version