Mongabay.co.id

Foto: “Ngertakeun Bumi Lamba” Tradisi Sunda Bersenyawa dengan Bumi

 

Minggu pagi (24/6/2018), fajar merekah di ufuk timur. Biasan sinarnya mengusir kabut tipis yang menyelimuti Gunung Tangkuban Perahu, Bandung, Jawa Barat. Keheningan tercipta. Hanya lantunan pujian berirama menggema.

Ratusan orang larut dalam upacara Ngertakeun Bumi Lamba. Ritual tahunan yang digelar bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru kembali dari paling utara Bumi menuju selatan. Setiap bulan Kapitu (bulan ke-7), dalam hitungan Suryakala, kala ider (kalender) Sunda.

Ngertakeun Bumi Lamba adalah upacara menjalankan pesan kasepuhan, yang menitipkan tiga gunung, sebagai paku alam (harus diperlakukan sebagai tempat suci). Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Wayang, dan Gunung Gede adalah amanat yang harus dijaga sebagai tempat “kabuyutan”.

Berdasarkan falsafah hidup dan aturan dasar adat istiadat, upacara ini merupakan manifestasi hubungan harmonis manusia dengan alam dan pencipta-Nya. Rajah atau medium tentang pandangan hidup urang Sunda.

 

Budaya leluhur Sunda telah mengajarkan masyarakat untuk bersahabat dengan alam. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Filosofi hidup masyarakat Sunda adalah Mulasara Buana yaitu memelihara alam semesta. Visi hidup yang terbentuk dari perlunya menjaga keseimbangan alam dari berbagai perilaku yang cenderung mengeksploitasi alam berlebihan.

Gunung berapi merupakan sumber kehidupan masyarakat Sunda, sehingga memiliki tempat terhormat sebagai guru. Sebagaimana ungkapan gunung adalah guru nu agung atau guru besar.

 

Memelihara alam semesta adalah kewajiban yang harus dijalankan di kehidupan ini. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Hal itu dikuatkan penelitian Jakob Sumardjo (2005) dan Edi S Ekajati (2005), keberadaan mandala atau kawasan yang sakral di gunung-gunung berapi merupakan perwujudan dari konsep gunung sebagai ‘axis mundi’. Atau, penghubung transendental antara manusia dengan Yang Maha Kuasa.

Pada zaman leluhur, Gunung Tangkuban Perahu dipercayai sebagai gunung terbesar, sehingga diagungkan. Dengan pernah meletusnya gunung agung ini, dianggap alam murka.

Kerusakan dan kemusnahan alam cenderung dianggap akibat perbuatan manusia yang berlebihan. Akibatnya, Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa (Sanghyang Keresa atau Sanghyang Widhi) bereaksi dengan memusnahkan sebagian alam yang tidak terjaga baik.

 

Ngertakeun Bumi Lamba adalah upacara menjalankan pesan kasepuhan yang menitipkan tiga gunung untuk dijaga. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Filosofi hidup masyarakat Sunda adalah memelihara alam semesta. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Inti upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah bentuk terima kasih dan pengingat pada setiap orang bahwa kesucian gunung adalah sumber utama kehidupan makhluk. Gunung adalah paku Bumi di semesta ini. Gunung sumber spiritual dan budi pekerti yang mendasari perilaku berbudaya bagi umat manusia.

Pesan tersiratnya, mendesak manusia untuk mengubah sikap terhadap lingkungan. Lebih arif terhadap alam sebagaimana yang dilakukan leluhur sejak dulu.

Terlebih, Masyarakat Sunda membagi hutan dalam kawasan gunung dalam tiga kategori: leuweung larangan (hutan keramat), leuweung tutupan (hutan lindung), dan leuweung baladaheun (hutan titipan). Bila diinterpretasikan merupakan petuah mengelola alam dengan kebijaksanaan sekaligus mengenal batas-batas yang diajarkan nenek moyang.

 

Inti upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah bentuk terima kasih dan pengingat setiap orang bahwa kesucian gunung adalah sumber utama kehidupan makhluk. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kerusakan dan kemusnahan alam adalah akibat perbuatan tangan jahil manusia. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Beranjak siang, alunan kecapi yang berpadu tiupan suling menciptakan suasana syahdu. Sajen disuguhkan sebagai media sembah kepada yang telah memberi kehidupan.

Sajen ini, bagi Sunda Wiwitan bermakna sastra, pujian, pemujaan, tentang bagaimana Tuhan menciptakan semua ajaran leluhur. Esensinya, ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa.

 

Manusia harus arif menjaga dan mengelola alam sebagaimana yang dilakukan leluhur masyarakat Sunda. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Leluhur masyarakat Sunda menganggap Gunung Tangkuban Perahu sebagai gunung terbesar, sehingga harus diagungkan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ngertakeun Bumi Lamba dimulai dari pengambilan air dari seluruh sumber mata air suci atau keramat dari Sabang sampai Merauke. Sehingga, acara turun temurun ini dihadiri berbagai komunitas adat lokal seperti komunitas adat Kanekes (Badui) – Banten, Dayak Sagandu – Indramayu, Rancakalong – Sumedang, Cicalengka dan Majalaya – Bandung, Cirendeu – Cimahi, Nagara Banceuy – Subang, dan berbagai daerah lain seperti Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Sumatera.

Misi Ngertakeun Bumi Lamba terdiri dari penugasan terpadu untuk trigatra masyarakat Sunda, pertama, Gatra Ratu/Prabu atau pemerintah adalah ‘Pakeun Nanjeur NaJuritan’ (memperkuat pertahanan dalam peperangan atau menjaga kedaulatan).

Kedua, Gatra Rama atau keluarga/ rakyat/ pahuma adalah ‘Pakeun Heubel Jaya Dina Buana’ (memperoleh kejayaan dan kesejahteraan hidup di alam dunia). Dan terakhir, Gatra Reshi atau Pandhita adalah ‘Pakeun Mulasara Titipan Ti Nu Rahayu’ (menjaga kebudayaan dan warisan leluhur yang berasal dari rahmat Tuhan.

 

 

Exit mobile version