Mongabay.co.id

Menabung Air Hujan, Memanfaatkan Saat Kemarau

Dua orang petani di Desa Wlahar Wetan, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) di sebuah bangunan di sekitar embung di desa setempat pada Jumat (29/6) sore. Mereka beristirahat setelah seharian mengurusi padi yang telah berusia 60 hari. Hanya tinggal sebulan lebih, panen akan tiba. Mereka cukup bahagia, karena meski telah memasuki kemarau, sepertinya tidak bakal mengalami kekeringan yang menyebabkan tanaman padi milik mereka puso.

“Tanaman padi sudah berumur sekitar 60 hari. Kemungkinan 30-40 hari lagi akan memasuki masa panen. Saat sekarang, tanaman padi masih membutuhkan air. Tetapi, walaupun sudah memasuki musim kemarau, kami tidak khawatir, karena ada cadangan air yang dapat dialirkan setiap saat ke areal persawahan di sini,” kata Sobirin (48), seorang petani setempat.

Bagi Sobirin dan puluhan petani setempat, rasa khawatir pada musim kemarau baru hilang dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, sejak dulu, petani setempat pasti merasa was was jika kemarau datang. Sebab, mereka bergelut dengan sulitnya memperoleh air pada musim kemarau. “Kalau dulu, pada saat musim tanam kedua seperti sekarang, kami pasti merasa khawatir. Sawah di sini kan merupakan areal tadah hujan. Sehingga tanaman padi tergantung dengan air hujan. Begitu musim kemarau tiba dan kami sudah telanjur menanam padi, pasti membuat para petani pusing. Sebab, bayang-bayang puso sudah di depan mata. Itu terjadi selama bertahun-tahun. Karena petani hanya mengandalkan air hujan untuk pengairan,”ungkapnya.

baca : Atasi Kekeringan dengan Nabung Air, Alat Ini Bisa jadi Jawaban

 

Sebuah embung mini di Desa Wlahar Wetan, Kecamatan Kalibagor, Banyumas yang mampu memasok air pada saat musim kemarau untuk areal persawahan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Cerita memang berubah sejak dibangun embung, tempat penampungan air atau sejenis waduk mini buatan. Ukurannya tidak terlalu luas, hanya 60×30 meter dengan kedalaman 2,5 meter. “Dengan adanya embung itu, maka petani tidak lagi khawatir pada musim tanam kedua, meski hujan tidak lagi turun. Sebab, petani dapat mengalirkan air hujan yang telah ditabung dalam embung ini,”katanya.

Ketua Kelompok Tani Darma Tirta Desa Wlahar Wetan Sumarno mengatakan bahwa sejak dibangun 2015 lalu, keberadaan embung sangat bermanfaat bagi petani. “Ada setidaknya 25 petani yang menggarap lahan sekitar 5 hektare (ha) lebih di sekitar embung. Kalau dulu, mereka pasrah ketika kekeringan membuat puso tanaman padinya, namun kini telah beda cerita. Saat sekarang, petani sudah mampu menanam padi sebanyak dua kali selama setahun. Kalau dulu sepertinya sulit dilakukan, karena lahan di sini kering. Selain dua kali tanam padi, ketika kemarau tiba, petani juga masih dapat menanam palawija,” ujarnya.

Sumarno menambahkan pada musim kemarau seperti saat ini, kelompok menyalurkan air secara adil kepada para petani anggotanya. “Untungnya, tanaman padi di sini rata-rata umurnya sama, sehingga sudah tidak terlalu banyak membutuhkan air. Namun demikian, tetapi saja harus ada air yang dialirkan. Sehingga air yang ada di dalam embung ini sangat bermanfaat,”katanya.

Hanya saja, kata Sumarno, yang menjadi masalah sekarang adalah dinding embung mengalami kebocoran. Pada saat dibangun, embung memang dilapisi dengan semacam terpal, sehingga air tidak terserap tanah. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, ada kebocoran, sehingga ketinggian air yang maksimal dapat mencapai 2,5 meter, kini di bawah itu. Kami akan mengusulkan perbaikan sehingga kebocoran dapat diatasi,”ujarnya.

Keberadaan embung ternyata tak hanya bisa mengaliri aliran sawah pada musim kemarau saja, melainkan juga mengubah lahan kritis menjadi areal perkebunan yang menghasilkan. Narasi kesuksesan itu terjadi di Desa Kalibagor, Kecamatan Kalibagor. Sebuah perbukitan yang gersang, kini berubah menjadi tanah yang rimbun, sebagian besar ditanami pohon kelengkeng.

baca : Subak, Situs Warisan Budaya yang Saat Ini Terancam

 

Embung di Desa Kalibagor, Kecamatan Kalibagor, Banyumas yang mampu mengubah lahan kritis menjadi areal produktif. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kepala Seksi (Kasi) Pemerintahan Desa Kalibagor Sumanto menuturkan kalau pada 2012 silam, ada sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menawarkan kerja sama menawarkan program embung. “Waktu itu, tahun 2012, Yayasan Obor Tani Semarang mengajak kerja sama untuk membangun embung di areal yang kritis. Kami mempunyai lahan perbukitan yang kritis dengan luas 25 ha,”jelasnya.

Embung yang memiliki luas 40×60 meter dan kedalaman 2,5 meter tersebut dibangun oleh Pemprov Jateng dan Pemkab Banyumas. Pemprov mengalokasikan Rp500 juta dan Pemkab menganggarkan Rp100 juta. Kerja sama tersebut juga mendapat bantuan dana CSR sebuah bank milik badan usaha milik daerah (BUMD) Provinsi Jateng senilai Rp1,1 miliar selama 3,5 tahun. Yayasan Obor melakukan pendampingan kepada para petani yang membudidayakan tanaman di lokasi gersang itu. “Ketika itu, sudah ada riset, kalau ada dua jenis tanaman budidaya yang cocok. Yakni kelengkeng dan durian. Dari dua jenis tanaman itu, kami memilih kelengkeng,”katanya.

Yang menarik, setelah 3,5 tahun, pohon kelengkeng telah berbuah dan mampu menghasilkan. “Yang perlu digarisbawahi ternyata dengan membangun embung untuk menabung air hujan, mampu mengubah lahan kritis menjadi areal yang produktif. Sebab, pada musim kemarau, air tetap bisa dialirkan untuk mengairi lahan perkebunan wilayah setempat,”ujarnya.

Sumanto memaparkan ada 100 petani yang mengelola 3.500 pohon kelengkeng pada areal seluas 17 ha. Pada awalnya, para petani sama sekali tidak percaya kalau lahan kritis yang hanya ditanami alang-alang kini menghijau dan mampu menghasilkan kelengkeng jenis Itoh. “Kini, setiap petani rata-rata memiliki sekitar 10-35 pohon kelengkeng. Setiap pohon kelengkeng bisa menghasilkan sebanyak 9-10 kg kelengkeng. Setiap kg dijual dengan harga Rp25 ribu. Sejauh ini sudah panen sebanyak dua kali. Kini tengah dikembangkan lagi tanaman budidaya lainnya yakni durian. Bibitnya baru ditanam sebanyak 1.000 bibit,”katanya.

Ia mengatakan bahwa keberadaan embung di bagian perbukitan Desa Kalibagor mampu mengubah lahan kritis mnenjadi areal produktif. Embung sebagai tempat menabung air hujan mampu dimanfaatkan pada saat datangnya kemarau. “Ini menjadi inspirasi, karena ternyata keberadaan embung sebagai tempang menabung air hujan sangat bermanfaat,”ujar Sumanto.

baca : KLHK Dukung UGM Rintis Sistem Pertanian Terpadu di Kawasan Hutan. Seperti Apakah?

 

Situ Elok di Desa Pernasidi, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah yang menjadi penopang air irigasi di sejumlah desa. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Tidak hanya embung buatan yang bermanfaat, sebuah situ alam yang bernama Situ Elok di Desa Pernasidi, Kecamatan Cilongok juga mampu memberi manfaat bagi warga sejumlah desa seperti Pernasidi, Cipete hingga Batuanten. “Warga cukup bergantung dengan keberadaan Situ Elok, teruma jika musim kemarau tiba. Pada umumnya, untuk pengairan sawah. Bahkan, tidak hanya itu, Situ Elok juga sebagai tempat memancing dan wisata. Inilah mengapa, warga harus tetap menjaganya supaya air tetap ada jika datang musim kemarau,”kata Prasetyo (46) salah seorang warga setempat.

Namun, ia berharap ada upaya untuk revitalisasi, sebab Situ Elok yang memiliki luasan sekitar 1,2 ha tersebut terancam sedimentasi. Oleh karena itu, dia berharap ada upaya pengerukan, sehingga Situ Elok mampu tetap menjadi tempat tabungan air hujan guna memenuhi kebutuhan para petani.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Banyumas Irawadi mengatakan bahwa Banyumas memiliki tempat tabungan air baik secara alami maupun buatan. Ada situ atau embung yang tersebar di sejumlah kecamatan. “Ada 13 situ atau embung sebagai tempat penampung air hujan yang berguna pada saat musim kemarau datang. Luasan embung atau situ bervariasi, antara 0,5 ha hingga 2 ha. Kapasitas tampung berkisar antara 12,5 ribu meter kubik (m3) hingga 75 ribu m3. Dengan kapasitas air sebanyak itu, maka petani dapat memanfaatkannya untuk pengairan baik areal sawah maupun perkebunan,”katanya.

Irawadi mengatakan pihaknya sebetulnya terus berusaha untuk membangun embung, karena terbukti menjadi salah satu solusi kekeringan pada musim kemarau. “Namun, biaya untuk membangun embung cukup besar. Untuk embung yang kecil, mencapai Rp1 miliar, sedangkan yang besar berkisar antara Rp2 miliar hingga Rp3 miliar. Kendala lainnya adalah status kepemilikan tanah. Karena umumnya merupakan tanah desa, sehingga prosesnya cukup menyita waktu,”ungkap Irawadi.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banyumas dengan mendasarkan dari hasil prakiraan BMKG Semarang, kemarau untuk wilayah Banyumas telah dimulai sejak dasarian kedua bulan Juni atau pertengahan bulan Juni lalu. “Panjang musim kemarau di Banyumas diperkirakan mencapai 9-15 dasarian, atau satu dasarian sama dengan 10 hari. Sehingga secara total, kemarau diperkirakan 90-150 hari atau dari Juni hingga Oktober 2018 mendatang. Kemarau tahun ini cukup panjang,”kata Koordinator Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD Banyumas Kusworo.

Menurutnya, berbagai antisipasi harus segera dilakukan, terutama bijak dalam penggunaan air. BPBD juga meminta kepada masyarakat untuk menjaga sumber-sumber air yang ada seperti mata air dan situ atau embung. “Jaga lingkungan di sekitar mata air. Bijaklah dalam memanfaatkan sumber mata air sehingga penggunaan air dapat dihemat.”

 

Exit mobile version