Mongabay.co.id

Sisa Makanan Ternyata Memicu Perubahan Iklim. Kok Bisa?

Apa hubungan sisa makanan dengan perubahan iklim? Sekelompok mahasiswa mengampanyekan makan sampai habis dan makan secukupnya sebagai solusi pribadi pada penyelamatan bumi.

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Udayana, Denpasar, Lia Rinikah menyebut dari hasil survei 443 responden di Kota Denpasar dan Badung yang didominasi mahasiswa, setengahnya pernah tidak menghabiskan makanannya. Lokasi makan di rumah, restoran, dan kantin.

Alasannya menurutnya lucu, otak menolak menghabiskan. Karena rasa makanan, ambil kebanyakan, dan sudah kenyang. “Kalau kenyang kenapa makan banyak?” ia memaparkan observasi timnya.

Para responden berusia 16-40 tahun menyebut jenis makanan yang disisakan paling banyak adalah nasi, sayur, dan sayur lalapan. Disisakan karena tak sesuai selera, sedang diet, dan saat makan prasmanan. “Kalau prasmanan seperti ada hukum harus dicoba semua,” lanjut Lia.

baca : Leluhur Kita Telah Ajarkan Makanan Sehat dan Ramah Lingkungan. Kenapa Kita Melupakannya?

 

Suasana acara kampanye tentang makan secukupnya bertajuk ‘Ruang Makan’, pada Minggu (01/07/2018) di Bokashi Farm, Denpasar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Solusi untuk mengurangi membuang makanan ini menurutnya makan secukupnya dan makan sampai habis. Kata kunci yang digunakan dalam serangkaian kampanye yang dilakukan mahasiswa FISIP angkatan tahun 2015 bersama Yayasan Wisnu melalui media sosial dan puncaknya dalam perayaan bertajuk Ruang Makan, Minggu (01/07/2018) di Bokashi Farm, Denpasar.

Sisa makanan tak hanya terjadi saat makan. Namun dimulai sejak distribusi bahan makanan sampai proses pengolahan. Lia merangkum sejumlah pendapat ahli jika bahan makanan mulai terbuang ketika melewati proses transportasi, ada yang rusak dan terseleksi sebelum diletakkan di ruang pajangan toko. Kemudian terbuang saat proses pengolahan, seperti salah potong dan seleksi lagi. Puncaknya saat makan.

Ia mengutip riset organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada 2011, jumlah sisa makanan dalam setahun terbuang sekitar 3 ton dan ini bisa bantu warga yang krisis pangan. “Bayangkan kalau krisis pangan bisa terjadi 2050. Cari makan susah bisa tawuran dulu,” sebutnya.

Catur Yudha Hariani, pegiat pengelolaan sampah dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengingatkan jejak ekologi dari apa yang kita makan. Semua bahan baku memerlukan sumber daya alam seperti air, matahari, dan energi lain untuk mendistribusikannya. Perjalanan panjang ekologi ini berakhir di meja makan dan ironis jika terbuang percuma.

baca : Nikmatnya Masakan dari Hutan Papua Ala The Jungle Chef

 

Penjual sedang membungkus seblak menggunakan styrofoam di Jalan Tamansari, Kota Bandung. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, sampah organik mengeluarkan gas metan ke atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta, rata-rata tiap hari menghasilkan sampah 0,7 kg/hari/rumah, jadi ada sekitar 164 juta ton/tahun. Ini sampah organik dari bahan baku dan sisa makanan.

Diperkirakan 1 ton sampah organik menghasilkan 50 kg gas metan. Jika ada 3000 ton sampah di Denpasar, 60% di antaranya organik maka menghasilkan 90 ton gas metan yang berkontribusi pada perubahan iklim. “Salah satunya karena gas metan, dan efeknya 21 kali lebih besar dari CO2. Atmosfer rusak karena kita,” urainya. Komposting bisa menekan gas metan naik ke atmosfer. Juga bisa diolah jadi biogas sehingga sisa makanan jadi energi terbarukan.

Salah satu bencana penumpukan sampah yang tak terolah serta penyebaran gas metan terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat yang menjadi pusat pembuangan sampah Kota Bandung pada 21 Februari 2005. Lebih dari 140 warga meninggal dan puluhan rumah tertimbun sampah. Ini yang menjadi momentum peringatan Hari Peduli Sampah Nasional tiap 21 Februari. “Pengelolaan sampah belum mengakar ke kehidupan sehari-hari. Makanan masih banyak dibuang sementara banyak yang kelaparan,” ingat Catur.

Selain itu sumber daya alam juga cepat habis jika perilaku personal selalu menyisakan makanan. Catur mengapresiasi kebijakan denda Jeman bagi warganya kalau menyisakan makan di restoran. Secara global hal ini menjadi komitmen global dalam Sustainable Development Goals (SDGs) poin 12 yakni memastikan konsumsi dan produksi berkelanjutan.

Kebiasaan hidup berkelanjutan muncul di masa lalu saat sisa makanan diberi ke ternak seperti di Bali dijadikan pakan babi. Namun saat ini tak banyak yang memelihara ternak, dan sisa makanan terbuang ke tong sampah tanpa diolah. Menambah timbunan sampah, sulit diolah jika dicampur tanpa dipilah antara sampah organik dan anorganik.

baca : Menantang Diri Belanja Tanpa Plastik di Pasar

 

Membuat perencanaan belanja, menu hidangan dan strategi menu hidangan merupakan tips-tips yang mesti diperhatikan agar makanan tak berlebih. Foto: Sapariah Saturi

 

Nanda Widhi, seorang koki muda yang bekerja di sebuah hotel membagi pengalamannya terkait tabiat makan di industri pariwisata. Ia juga menyebut yang paling banyak tersisa di menu prasmanan adalah nasi dan sayur. Sementara pihak hotel sudah punya hitungan, takaran nasi per orang adalah 100 gram.

Sementara selain prasmanan yang banyak tersisa adalah buah terutama yang rasanya tidak manis. Alasannya, tak suka bahan makanannya, porsi kebanyakan, alergi dengan salah satu bahan, dan kekenyangan. Ini bisa dicegah jika tamu membaca keterangan di menu dan mengambil sedikit demi sedikit.

Nanda mengajak anak muda untuk belajar berkreasi mengolah sisa makanan. Misal pinggiran roti sering dibuang dan bisa jadi pudding atau banana bread. Saat masak, bagian tulang sering dibuang padahal memiliki gizi kalsium tinggi dan dasar pembuatan kaldu. Selain bergizi juga memunculkan aroma. Kepala udang juga sering dibuang padahal menurutnya mengandung antioksidan dan bermanfaat meningkatkan imun. Kepala udang segar ini menjadi shrimp base untuk kuah Tomyang.

Di Bali, banyak sisa pangan usai upacara agama seperti buah. Menurutnya bisa diolah jadi aneka makanan agar tak lekas busuk.

 

Musisi dan aktivis Robi Navicula tampil dalam acara kampanye tentang makan secukupnya bertajuk ‘Ruang Makan’, pada Minggu (01/07/2018) di Bokashi Farm, Denpasar, Bali. Dia memberi pesan dan agitasi melalui sudut pandangnya dan lagu-lagu terkait krisis pangan dan lingkungan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Gede Robi Supriyanto atau Robi Navicula, frontman band Navicula menambahkan sudut pandang pada persoalan pangan dan lingkungan ini. Ia menilai sumber pangan masih cukup banyak namun pendistribusiannya kurang merata. Makan tak sesuai kebutuhan atau berlebihan hanya karena memilih lebih banyak modal untuk beli.

Dampak lain, eksploitasi. “Terlalu banyak yang kita ambil, termasuk sumber daya alam. Ikan, pohon, apa yang kita beri pada hutan dan lautan? Sampah, asap,” sebutnya dalam pertunjukan di kampanye Ruang Makan ini. Ia menyampaikan sebuah memo dan berorasi melalui sejumlah lagu. Ia mengajak saat makan selalu mengingat apa yang kita bisa beri untuk pertiwi karena makanan dari tanah dan air. Salah satunya kompos hasil olahan limbah organik.

 

Exit mobile version