Mongabay.co.id

Apa Kabar Kasus Penembakan Poro Duka?

Ilustrasi. Pesisir pantai salah satu sasaran investasi pariwisaya yang kerapkali berkonflik dengan masyarakat, salah satu di Sumba Barat, hingga terjadi penembakan warga. Foto: Luh De Suriyani/ Mongabay Indonesia

 

Hingga kini, penanganan kasus Poro Duka, warga Desa Patiala Bawah, Kecamatan Lamboya, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, yang tewas tertembak polisi belum ada kejelasan. Polisi pelanggar, hanya menerima hukuman disiplin. Berbagai kalangan mendesak, harus ada penegakan hukum pidana atas hilangnya nyawa warga Sumba Barat itu.

Pada 28 Juni 2018, sejumlah organisasi kemasyarakatan dan mahasiswa tergabung dalam Solidaritas untuk Marosi kembali aksi masa di depan Mapolda Nusa Tenggara Timur di Kota Kupang.

Baca juga: Tolak Lahan jadi Bisnis Pariwisata, Satu Warga Sumba Tewas Tertembak

Solidaritas merupakan gabungan dari Walhi NTT, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang dan Ikatan Tokoh Adat Pencari Keadilan dan Kebenaran (ITA PKK) SoE.

Berbagai unsur gerakan ini aksi lagi karena mempertanyakan penyelesaian kasus penembakan Poro Duka, yang terkesan lambat. Hingga kini, belum ada pihak yang terjerat hukum pidana. Kasus ini,  oleh Polres Sumba Barat dilimpahkan ke Polda NTT sejak 8 Juni lalu.

Pada 25 April 2018, Poro Duka tewas tertembak aparat kepolisian saat berjuang menolak pengukuran tanah oleh PT Sutera Marosi bersama Badan Pertanahan Nasional Sumba Barat.

 

Hanya hukuman disiplin?

Dari sidang disiplin Propam Polda NTT 24 Mei lalu, AKBP Gusty Maychandra Lesmana, mantan Kapolres Sumba Barat,  terbukti melakukan pelanggaran disiplin, dengan menembakkan peluru karet

Sebelumnya, pada 15 Mei 2018, Kompol Ni Luh Putu Eny Astuti, Kepala Sub Bidang Kedokteran Kepolisian RS Bhayangkara Polda NTT mengatakan, penyebab kematian Poro Duka karena luka tembak peluru karet.

”Penyebab kematian luka tembak peluru karet, anak peluru karet ini masih dalam proses untuk uji balestik di laboratorium forensik,” katanya dalam rekaman suara yang didapatkan Mongabay.

Berdasarkan hasil otopsi, peluru karet ini mengenai dada saat petugas mengamankan aksi penolakan warga. Peluru karet yang berbentuk bulat lonjong dan berwarna hitam sepanjang 0,8 cm diameter 0,5 cm ini menembus sampai ke kenatong jantung dan bilik kanan jantung Poro.

Masyarakat tak puas. ”Hukuman disiplin bukanlah bentuk penyelesaian hilangnya nyawa Poro Duka dan korban kekerasan lain, meski kami apresiasi tindakan tegas Polda NTT,” kata Petrus Liala Lolu, kuasa hukum warga saat dihubungi melalui saluran telepon.

Dia menuntut, tegas agar penegak hukum mengadili pelaku kekerasan dan penembakan Poro Duka serta para pimpinan pasukan yang indisipliner sesuai hukum pidana berlaku.

”Begitu juga mengusut pihak yang terlibat dalam pemaksaan dengan pengerahan personil polisi dan TNI berlebihan.”

Paulus Dwi Yaminarta, kuasa hukum warga Desa Patiala Bawah pun menceritakan kejanggalan pada 25 April 2018 lalu. Proses pengamanan, katanya,  sudah tidak sesuai. Jumlah personil dan masyarakat tak sebanding.  Pengamanan hingga 131 personil, belum termasuk Brimob dan pengerahan TNI. Brimob diduga tidak dari Sumba Barat. Penduduk di sana minim, hingga warga hampir mengenali polisi yang bertugas di wilayah mereka.

”Protes warga karena mempertanyakan legalitas perusahaan dan status tanah yang dinyatakan terlantar dan terindikasi terlantarkan. Kan aneh jika tak mau membuktikannya,” katanya.

Umbu Wulung, Direktur Walhi NTT menyebutkan, kawasan ini jadi prioritas pembangunan nasional pengembangan usaha pariwisata dengan target menyumbang produk domestik bruto 5,5% dan devisa Rp233 triliun.

”Kami menolak, karena kami hanya meminta kejelasan legalitas dari lahan terlantar itu.”

 

Kondisi di Pesisir Pantai Marosi di Sumba Barat, ketika dilakukan pengukuran lahan untuk industri pariwisata. Foto: dokumen Walhi NTT

 

Kembalikan hak masyarakat

Warga yang tergabung dalam Masyarakat Korban Kekerasan dan Penembakan Pesisir Marosi pun mendesak untuk menghentikan segala bentuk pembangunan dan investasi. Terlebih, investasi yang mengorbankan hak hidup dan kelestarian lingkungan serta memiskinkan masyarakat di Patiala Bawa dan Pulau Sumba.

”Hormati dan kembalikan hak ulayat adat serta berikan tanah terlantar dan terindikasi terlantar di Pesisir Marosi kepada rakyat melalui program reforma agraria,” kata Petrus.

Berdasarkan informasi warga, luas lahan perusahaan 300 hektar, tersebar di tujuh bidang tanah. Lahan itu tanah pertanian masyarakat. Tanah bidang pertama dan kedua dianggap lahan terlantar, sementara bidang ketiga sampai ketujuh,  terindikasi terlantar.

Proses mediasi, katanya,  sebenarnya sempat dilakukan Bupati Sumba Barat, tetapi tak menghasilkan titik temu sejak Februari 2018.

Sejak 1994, tanah itu terlantar begitu saja, hingga kasus kembali mencuat pada 2017.

Khalisah Khalid, Manajer Kampanye Walhi Nasional menyatakan, negara harus hadir dalam menghentikan teror kematian dan kekerasan kepada masyarakat yang memperjuangkan ruang hidup mereka.

”Kami harapkan ini kejadian terakhir dialami masyarakat.”

Bersama dengan koalisi masyarakat yang tergabung antara lain, KPA, Jatam, Kiara, YPII, Kontras, HuMa, KruHA,, Elsam, YLBHI, Walhi melaporkan kasus ini ke Komnas HAM, LPSK dan Mabes Polri 2 Mei lalu

Khalisah mendesak, presiden memanggil kapolri atas keterlibatan kepolisian dalam pengamanan investasi dan penggunaan kekerasan kala ada konflik agraria.

”Membentuk tim independen untuk menyelidiki dan menjamin upaya keterbukaan dalam proses penyelidikan dan ketidak berulangan penembakan aparat terhadap aktivis atau masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup mereka,” katanya.

Kepada Menteri ATR/BPN, dia meminta agar mengoreksi kebijakan penggunaan aparat kepolisian dan pendekatan kekerasan untuk kepentingan investasi.

Dari penelitian KPA, kepolisian adalah aktor yang berperan banyak terhadap konflik di masyarakat. ”Apalagi industri pariwisata sangat masif. Awal tahun ini kami prediksi, konflik agraria akan tergeser (penyebab) dari industri ekstraktif ke industri pariwisata.”

YLBHI Sumba, Paulus menyebutkan, sejak 2012 terjadi peningkatan konflik masyarakat karena industri pariwisata, terutama di pesisir pantai. ”Kira-kira konflik yang dilaporkan ke kami lebih 15, rata-rata per tahun lima kasus. Banyak dari industri pariwisata dan perkebunan,” katanya.

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Pesisir pantai salah satu sasaran investasi pariwisaya yang kerapkali berkonflik dengan masyarakat, salah satu di Sumba Barat, hingga terjadi penembakan warga. Foto: Luh De Suriyani/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version