Mongabay.co.id

Masyarakat NTT Melawan Proyek Reklamasi di Lembata. Ada Apa?

Penolakan reklamasi ternyata tidak hanya terjadi di Teluk Jakarta, Teluk Benoa dan pesisir Makassar, tetapi juga terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Masyarakat dan aktivis lingkungan di NTT ramai-ramai menolak proyek reklamasi di Pantai Balauring yang berlokasi di Desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata. Penolakan dilakukan, karena proyek tersebut dinilai merampas hidup masyarakat banyak.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan proyek reklamasi secara langsung itu sudah merampas ruang hidup bagi setidaknya 400 kepala keluarga masyarakat pesisir yang tinggal di sekitar pantai Balauring. Dari semua itu, yang paling menderita adalah nelayan tradisional dan masyarakat adat.

“Hentikan reklamasi pantai Balauring, karena itu merusak ekologi dan merampas ruang hidup masyarakat, terutama nelayan laki-laki dan perempuan,” jelasnya belum lama ini.

Menurut Susan, proyek reklamasi di Lembata tersebut adalah murni kepemilikan pribadi Bupati Lembata yang dibuat atas nama Eliyaser Yentji Sunur. Proyek yang dinamakan “Pojok Cinta” itu, saat ini kondisinya sudah ditimbun pasir dengan lebar 70 meter dan panjang 250 meter. Total luasannya adalah 17.500 meter persegi atau sekitar 1,75 hektar.

Susan menyoroti proyek tersebut, karena pendanaannya melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lembata untuk tahun anggaran 2018. Dengan pendanaan tersebut, seharusnya proyek ditujukan untuk kepentingan masyarakat pesisir. Akan tetapi pada kenyataannya itu adalah untuk kepentingan pribadi.

“Di sisi lain, proyek ini telah memicu perlawanan dari masyarakat pesisir di Lembata, yang terdiri dari nelayan tradisional dan masyarakat adat pesisir, yaitu masyarakat adat Dolulolong,” tuturnya.

baca : Reklamasi Pantai, Lingkungan Terancam, Belasan Ribu Keluarga Nelayan pun Tergusur

 

Panorama pesisir desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT. Foto : desabalauring.com

 

Susan menyebutkan, apa yang terjadi di Lembata tersebut menambah daftar panjang proyek reklamasi yang ada di Indonesia. Pada 2016, KIARA mencatat 16 proyek reklamasi pantai di seluruh Indonesia dan bertambah menjadi 37 pada 2017. Jika ditambah dengan reklamasi Lembata, maka total proyek reklamasi pantai di Indonesia menjadi 38 wilayah.

“Ini jadi ironi negara bahari di tengah Poros Martim,” tandasnya.

Reklamasi menjadi ancaman serius bagi masa depan pesisir dan laut Indonesia. Menjadi sebuah ironi bagi Indonesia, negeri yang dianugerahi lebih dari 17 ribu pulau. Sejak lama, membangun kehidupan masyarakat pesisir berdaulat beserta wilayah perairannya yang bersih dan sehat, adalah menjadi impian semua warga pesisir.

Akan tetapi, kata Susan, pada kenyataannya justru pembangunan di kawasan pesisir menjadi hancur karena kehadiran proyek reklamasi. Akibat proyek itu, kehidupan masyarakat beserta alam pesisir dan laut di Indonesia ikut rusak karena proyek reklamasi yang dilakukan dengan gencar dan masif oleh pengusaha yang mengatasnamakan pribadi ataupun golongan.

 

Hukum

Tentang proyek tersebut, Susan menjelaskan bahwa itu adalah bertentangan dengan kontitusi dan peraturan perundangan yang berlaku, yaitu:

  1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Dalam Pasal 25A ditulis identitas negara Indonesia sebagai negara kepulauan yang menolak konsep dan praktik pulau buatan. Sebaliknya, proyek reklamasi menolak menerima konsep dan praktik pulau buatan;
  2. Proyek reklamasi terbukti merampas kehidupan masyarakat pesisir di sekitar kawasan pantai dan seluruh pihak yang terlibat di dalam aktivitas perikanan. Artinya proyek reklamasi bertentangan dengan UUD 1945, pasal 27 ayat 2;
  3. Melalui proyek ini, Pemerintah pusat dan pemerintah daerah terbukti mengkuasakan wilayah pesisir Jakarta untuk diprivatisasi dan dikomersialisasi oleh swasta dan ini artinya proyek reklamasi melanggar UUD 1945 pasal 33 ayat 2;
  4. Reklamasi juga melanggar UU No.1/2014 tentang perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil memandatkan, dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai (12) hak konstitusional, diantaranya: a) Memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah diberi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan; b) Mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K; c) Mengusulkan wilayah Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K.

baca juga : Emil Salim : Jika Saja Semua Menteri Ikuti Arahan Presiden RI, Takkan Ada Polemik Reklamasi

 

Nelayan di desa Balauring, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT. Foto : desabalauring.com

 

Menurut Susan, proyek reklamasi Balauring merupakan simbol dari proyek kapitalisasi sumber daya pesisir dan kekuasaan yang terjadi di 38 pesisir Indonesia. Seharusnya, Pemkab Lembata melakukan taat dan patuh kepada konstitusi dan peraturan perundangan yang ada. Oleh karena itu harus menghentikan proyek reklamasi.

“Pemerintah Kabupaten dalam menyelenggarakan pembangunan harus menempatkan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan sebagai pusat pembangunan. Laut untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kedaulatan masyarakat pesisir Indonesia,” katanya.

Selain KIARA, seruan untuk menghentikan proyek reklamasi di Pantai Balauring juga disuarakan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nusa Tenggara Timur. Menurut Direktur WALHI NTT Umbu Wulang, Bupati Lembata wajib segera menghentikan proyek tersebut karena berdampak pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat.

“Proyek tersebut diduga kuat sudah melanggar hak-hak masyarakat setempat karena dilaksanakan tanpa ada peersetujuan dari masyarakat adat Dolulolong,” tutur dia.

Umbu menjelaskan, dengan adanya proyek reklamasi, itu berpotensi menghilangkan ruang hidup penduduk yang tinggal di sekitar pantai tersebut dan menggantungkan hidupnya dari laut. Kata dia, selama ini masyarakat yang tinggal di sekitar pantai menjadikan laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan bagi mereka.

“Laut menjadi sumber penghidupan secara turun-temurun hingga saat ini,” sebutnya.

Tentang dugaan pelanggaran dalam proyek tersebut, Umbu menduga memang sudah terjadi. Hal itu, bisa dilihat dari indikasi dari proyek tersebut yang tidak memiliki izin lokasi, tidak memiliki izin pelaksanaan reklamasi, dan tidak memiliki analisis dampak lingkungan (Amdal).

Dari aspek kebijakan, Umbu menjelaskan, dalam pelaksanaan reklamasi tersebut telah terjadi pelanggaran yakni Peraturan Presiden No.122/2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, serta UU No.1/2014 tentang Perubahan atas UU No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pantai dan Pulau-pulau Kecil.

 

Pembangunan Center Point of Indonesia (CPI) dengan melakukan reklamasi pesisir kota Makassar yang mendapat penolakan dari warga dan aktivis lingkungan setempat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Makassar

Sebelum seruan menghentikan reklamasi di NTT, seruan serupa juga dikampanyekan di Makassar, Sulawesi Selatan melalui proyek reklamasi untuk pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI). Seperti halnya di NTT, proyek di Sulsel diduga kuat juga menjadi pelanggaran hukum dan merusak ekosistem laut, terutama perairan yang menjadi tempat pengambilan pasir di Kabupaten Takalar.

Susan Herawati mengatakan, pengerukan pasir yang dilakukan di Takalar, tak hanya berdampak pada lingkungan saja, namun juga pada kondisi sosial masyarakat di sekitar lokasi pengerukan. Hal itu, ditandai dengan penolakan warga di Takalar terhadap pengerukan pasir tersebut.

“Penambangan pasir yang dilakukan di Takalar berpotensi menimbulkan kriminalisasi masyarakat pesisir,” ucap dia belum lama ini.

Keputusan untuk mendatangkan pasir dari luar Makassar, menurut Susan, karena di Makassar tidak ada pasokan pasir dan juga tidak ada pengembang yang mendapatkan konsesi untuk mendapatkan pasokan pasir dari pulau-pulau di sekitar perairan Sulsel. Dengan mendatangkan dari Takalar oleh Royal Boskalis, proyek menjadi lebih cepat diwujudkan.

“Selain Takalar, pasir juga dikeruk dari Pulau Gusung Tangaya dan dilakukan dalam jumlah yang banyak,” jelas dia.

Tentang Royal Boskalis, Susan kemudian mengingatkan bahwa perusahaan tersebut sebelum beroperasi di Takalar, terlebih dulu melakukan pengerukan untuk reklamasi di Teluk Jakarta. Seperti halnya di Sulsel yang dilakukan di pulau-pulau kecil, untuk kebutuhan pasir Teluk Jakarta, kata dia, perusahaan Belanda itu juga melakukan pengerukan di pulau kecil yang ada di wilayah perairan Provins Banten.

Pengerukan secara kontinu yang dilakukan untuk proyek reklamasi tersebut, menurut Susan, sama saja dengan pencurian wilayah pesisir. Bedanya, jika pencurian biasa dilakukan tanpa ada izin yang resmi, namun untuk proyek reklamasi, izin tersebut bisa dengan mudah didapatkan.

“Perampasan pesisir kita terstruktur dan masif terjadi di 16 titik area pesisir Indonesia,” tutur dia.

baca : Kontroversi di Balik Reklamasi Pantai Makassar, Antara Kepentingan Rakyat dan Pengembang

 

Penambangan pasir yang diperkirakan mencapai 22 juta kubik ini akan digunakan untuk keperluan reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) di pesisir Makassar. Sebagian besar kawasan direklamasi ini nantinya merupakan kawasan bisnis. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Dalam melaksanakan operasi pengerukan, Susan mengungkap, Royal Boskalis mengoperasikan kapal Fairway yang mempunya daya angkut sebesar 5 ribu kubik atau setara dengan 5833 mobil truk dengan kapasitas enam kubik. Dengan kapasitas sebesar itu, untuk dua hari tiga malam saja, pasir yang diangkut dari Laut Takalar jumlahnya mencapai 175 ribu kubik atau setara 29.167 truk.

“Itu dilakukan dengan lima kali bongkar muat. Pada saat bersamaan, keuntungan finansial dari sekali keruk dan bongkar muat mencapai Rp3,5 miliar. Artinya, perusahaan mendapatkan keuntungan finansial sebesar Rp17,5 miliar dari lima kali bongkar muat,” papar dia.

“Pengambilan pasir laut dalam jumlah yang sangat besar ini berdampak terhadap kerusakan laut di lokasi yang menjadi tempat pengambilan material pasir dan berdampak pada 4.690 kepala keluarga dari masyarakat pesisir yang tinggal di pantai Makassar,” tambah dia.

Susan Herawati melanjutkan, meski hingga kini proyek CPI terus berlanjut, namun proyek tersebut cacat secara konstitusional. Tanda ada yang tidak beres dalam kebijakan, terlihat dari tarik ulur pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar.

“Sudah empat tahun tarik ulur terus terjadi. Namun, begitu disahkan menjadi Perda pada 2016 lalu, Pemkot Makassar langsung mengalokasikan lahan seluas 4500 hektare yang berada di wilayah ruang pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sasaran reklamasi. Dan, itu dilakuan tanpa pembahasan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- pulau Kecil),” tandas dia.

Tidak adanya pembahasan RZWP3K tersebut, menurut Susan, semakin mempertegas adanya ketidakberesan dalam pembahasan kebijakan reklamasi di Kota Makassar. Hal itu, karena dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil haruslah dilaksanakan dengan tertata baik dan melibatkan masyarakat pesisir secara aktif.

Agar bisa tertata dengan baik, menurut Susan, harus ada rencana zonasi pesisir dan pulau kecil sebelum melakukan pemanfaatan wilayah tersebut untuk kepentingan komersial ataupun lingkungan. Kewajiban itu, sebut dia, tertuang dalam Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010.

“Di dalam Undang-Undang No.7/2007 dan revisinya, Undang-Undang No.1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Putusan Mahkamah Kontisusi dimandatkan secara tegas rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan lebih dulu,” tegasnya.

 

Exit mobile version