Mongabay.co.id

Menyoal Listrik Sampah: Amankah bagi Lingkungan dan Kesehatan?

Tumpukan sampah di TPA Piyungan Yogyakarta. Rencana pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga sampah bkin khawatir banyak kalangan karena berpotensi membawa masalah lingkungan dan kesehatan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Wiyati,  sibuk mengais sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Piyungan, Bantul, Yogyakarta, medio April lalu. Tanpa penutup mulut dan sarung tangan, dia mencari botol plastik dan kaleng di tumpukan sampah seluas lapangan sepak bola itu. Bau busuk menyengat, bercampur antara makanan busuk, botol dan kaleng bekas.

“Sudah begini kerjaan kami, hidup dari mana lagi untuk bisa makan setiap hari,” katanya.

Dia mendengar desas-desus akan dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di  TPA Piyungan. Dia takut tak bisa lagi cari uang dari mengais sampah lagi.

Pada 2016, keluar Peraturan Presiden Nomor 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Surabaya dan Makassar. Tak ada Yogyakarta,  dalam aturan itu.

Wiyati, dapat kabar itu dari rekan-rekan lain yang ikut mengais sampah di Piyungan. Dia merasa sedikit lega tempat menghasilkan uang Rp30.000 perhari, tak kan jadi PLTSa.

“Jogja ndak jadi dibikin PLTSa, saya dengar 2016. Alhamdulillah…,” katanya.

Kekhawatiran Wiyati lebih soal takut hilang sumber penghidupan. Bagi Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) tak hanya soal sumber pendapatan tetapi dampak jangka panjang termasuk bagi kesehatan warga.

Kekhawatiran AZWI bertambah,  terlebih dengan kelahiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Padahal, aturan serupa–Perpres 18/2016–sudah dibatalkan Mahkamah Agung pada 2017.

Yuyun Ismawati, Senior Advisor BaliFokus dan AZWI kepada Mongabay awal Juni mengatakan, lahirnya perpres penerapan teknologi termal untuk mengurangi volume sampah di beberapa kota tak realistis, mahal dan berpotensi gagal.

Rencana ini,  katanya, baik dari segi pembiayaan maupun teknis, berlawanan dengan prinsip pengelolaan sampah sebagai sumber daya material berkelanjutan. Dampak terhadap kesehatan dan keberlanjutan operasional jangka panjang, katanya, juga  akan jadi beban pemerintah daerah dan masyarakat.

“Sekilas, tak ada perbedaan signifikan dari judul kedua perpres kecuali penggunaan kata ramah lingkungan. Perpres ini hanya mengubah wajah dan lebih fatal,” katanya.

Judul ada kata “berbasis teknologi ramah lingkungan” dengan kriteria tak jelas.

Dia menilai, perpres baru ini sebagai upaya instan pemerintah dalam mencapai target penanganan sampah tahun 2025 sebesar 70%–sesuai amanat Peraturan Presiden No. 97/2017.

Pemerintah, katanya,  cenderung abai risiko kesehatan dan finansial dengan mengasumsikan operasi insinerator akan berjalan mulus tanpa gagal operasi.

Perpres No. 35/2018, katanya, merefleksikan tak ada jaminan keselamatan, dan kesehatan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan, terlihat pada persyaratan minimum dari dokumen pra-studi kelayakan.

Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi, Walhi Nasional juga mengatakan, kelayakan proyek PLTSa masih dipertanyakan.

Hingga kini, belum ada satupun PLTSa termal berhasil didorong menandatangani perjanjian jual beli listrik (PJBL) dengan PLN. Pengolahan sampah teknologi termal seperti insinerator, gasifikasi dan pirolisis, katanya, memerlukan kajian dan pertimbangan mendalam serta menyeluruh.

Sawung mencontohkan, dari dua PLTSa termal dalam tahap pembangunan di Kota Bekasi dan Surakarta,  berjalan tanpa ada perencanaan matang.  Pembangunan satu PLTSa,  di Jakarta,  juga belum jelas.

Proyek-proyek PLTSa tampak dipaksakan berjalan dan PLN seolah dipaksa membeli listrik dari PLTSa dengan harga mahal walaupun Jawa-Bali kini kelebihan suplai listrik.

“Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengingatkan listrik PLTSa tak ekonomis.”

 

Seorang pengais sampah di TPA Piyungan tanpa alat keamanan. Sempat ada kabar akan dibangun PLTSa namun dalam Perpres terbaru Jogja tak akan dibangun. Foto Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

David Sutasurya, dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi juga memberikan pandangan. Dia mengatakan, jika PLTSa tetap jalan pemerintah daerah harus membayar tipping fee pengelolaan sampah sangat mahal.

Tipping fee ini, katanya, bisa jadi jebakan fiskal jangka panjang bagi pemerintah daerah. Mengapa? Pemerintah daerah, katanya, bakal sulit memenuhi pembiayaan pengangkutan sampah.

Seharusnya, kata David, pemerintah pusat bantu pemerintah daerah mencukupi biaya penanganan seperti pemilahan, pengumpulan dan pengolahan sampah, juga pembiayaan aspek pengurangan sampah.

Dalam judul Perpres baru, menekankan PLTSa ramah lingkungan, padahal, masyarakat justru dirugikan karena tak ada jaminan keselamatan, dan kesehatan serta keberlanjutan lingkungan dalam perpres itu.

Fokus perpres, katanya, semata-mata berkisar penghasilan energi dan keuntungan ekonomi.

Masalah lain, regulasi turunan UU No. 18/2008 lambat keluar, salah satu peraturan pelaksana tentang pengelolaan sampah spesifik.

Sebaliknya,  pemerintah dengan cepat menerbitkan regulasi proyek percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah jadi energi listrik.

 

Berbahaya

David mengatakan, ekstraksi energi sampah, seharusnya jadi upaya terakhir dalam hierarki pengelolaan sampah sebelum pembatasan timbulan, guna ulang dan daur ulang sampah.

“Pembakaran tak sempurna pada sampah menghasilkan senyawa kimia berbahaya bersifat karsinogenik, yakni dioksin yang bersifat persisten dan terakumulasi secara biologi. Ini bisa meningkatkan risiko kena kanker dan efek lain terhadap binatang dan manusia,” kata David.

Dia jabarkan lagi, dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 70/2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Pengelolaan Sampah Secara Termal, pemeriksaan dioksin hanya wajib lima tahun sekali karena tak ada fasilitas laboratorium memadai di Indonesia.

Pada lampiran Peraturan Menteri LHK Nomor 19/2017 tentang Baku Mutu Usaha dan/atau Industri Semen, hanya mewajibkan pemeriksaan dioksin empat tahun sekali pada industri semen yang menggunakan teknologi RDF dari bahan sampah rumah tangga atau sejenis.

David bilang, standar lingkungan Indonesia ini jauh lebih rendah dan longgar dari standar berlaku internasional.

“Kita patut bertanya, apakah aturan baku mutu emisi ini dibuat untuk melindungi masyarakat atau sekadar melegalkan proyek ini?”

Dia mengingatkan, sekitar 70% hasil pembakaran sampah berupa fly ash dan bottom ash (FABA) bersifat B3, mengandung dioxins dan furans (kimia UPOPs). Abu ini, katanya, harus dikelola di TPA B3. Daerah yang akan membangun PLTSa wajib membangun TPA B3, dan terkelola profesional serta berbiaya tinggi.

 

Sedikitnya 9,1 ton sampah anorganik terangkut dari kawasan TNBB selama hampir 5 bulan sampai Juni lalu. Foto: Arsip TNBB

 

Selain itu, penggunaan batubara kualitas rendah untuk membakar sampahkota-kota Indonesia bernilai kalori rendah, katanya, berpotensi meningkatkan emisi merkuri ke udara. PLTSa, katanya, berpotensi jadi PLTU batubara.

Perpres ini, kata David, berkompromi dengan teknologi tak ramah lingkungan, terlihat dari teknologi kajian pemerintah adalah teknologi termal. Pemaksaan proyek insinerator ini, katanya, mendorong masalah jangka panjang bagi pemerintah daerah dan masyarakat.

“Konsekuensinya, persoalan lingkungan dari insinerator akan jadi masalah baru kesehatan lingkungan berlarut-larut.”

Senada dikatakan Sawung. Proyek PLTSa, katanya, hanya akan memindahkan masalah sampah ke udara, abu terbang, dan abu dasar residu pembakaran.

Salah satu potensi emisi dan lepasan racun dari pengolahan sampah dengan teknologi termal adalah dioksin dan furan (PCDD/PCDF).

Senyawa ini, katanya, bersifat karsinogenik yang disepakati lebih dari 128 negara untuk dikontrol ketat dan kurangi sumber emisinya sejalan dengan Konvensi Stockholm– telah diratifikasi Indonesia dalam Undang-Undang No. 19/2009.

 

Masukan kepada pemerintah

Yuyun pun menyarankan, seharusnya pemerintah pusat dan daerah, fokus pada segala usaha menjalankan mandat utama UU Nomor 18/2008, yang menekankan, perubahan paradigma pengelolaan sampah dengan pendekatan end-of-pipe,  kepada pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu ke hilir.

Pengelolaan terintegrasi ini, katanya, melalui beberapa cara seperti percepatan implementasi amanat peraturan perundangan di hulu perlu segera dijalankan pemerintah pusat. Terutama, katanya,  dalam meregulasi para produsen agar segera merancang dan menerapkan peta jalan pengurangan produk dan kemasan sekali pakai, misal, penerapan prinsip eco-design dalam pembatasan timbulan sampah.

“Produsen harus mengganti material dengan yang mudah didaur ulang sebagai langkah transisi,” kata perempuan penerima Goldman Environmental Prize pada 2009 ini.

Dia mengusulkan, pemerintah pusat menerapkan pajak atau cukai bagi produk dan kemasan yang sukar dan tak dapat didaur ulang.  Sekaligus, katanya,  menerapkan mekanisme keuangan agar dana terkumpul bisa mendukung pemerintah daerah menangani sampah seperti pemilahan, pengumpulan dan pengolahan secara aman sampah.

Pemerintah daerah, katanya, perlu mendorong pusat mengatur dan menyusun regulasi pengurangan dan penanganan sampah yang dihasilkan produsen.

“Pendekatan pengelolaan sampah di hulu akan meningkatkan efisiensi kinerja penanganan sampah dengan signifikan, pengelolaan sampah terpilah memberikan dampak negatif lebih rendah baik secara finansial, lingkungan dan sosial,” kata Yuyun.

Dia mengingatkan, pemerintah daerah dan masyarakat berhati-hati tak jadi lokasi uji coba teknologi baru seperti gasifikasi dan pirolisis. Kedua teknologi itu, katanya, merupakan teknologi termal seperti insinerator. Teknologi termal dengan segala permasalahannya akan memakan biaya lebih tinggi atau relatif mahal dan secara global belum ada proyek terbukti berhasil secara komersil.

 

Pengurangan sampah plastik bisa dilakukan antara lain dengan membuat kerajinan dari sampah plastik. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Pemerintah, katanya,  harus mencegah kesalahan alokasi investasi, fokus prioritas pada teknologi energi terbarukan.

“Pembakaran sampah bukan proses produksi energi terbarukan, tak layak mendapatkan insentif dalam bentuk feed in tariff. Semua teknologi yang dipertimbangkan adalah teknologi termal, semua proyek seharusnya tak mendapat dukungan subsidi.”

Selanjutnya, di bagian tengah sistem pengelolaan sampah, harus segera menerapkan sistem insentif atau disinsentif, pajak dan cukai penggunaan produk dan kemasan yang berlebihan, sulit didaur ulang dan tak mengandung bahan berbahaya beracun.

Pemerintah, katanya,  mendorong pengurangan timbulan sampah, menyelenggarakan penjualan sistem curah atau minim kemasan, dan meningkatkan pengelolaan sampah di sumber. Di bagian hilir, kata Yuyun, segera meningkatkan sistem pemrosesan akhir sampah yang benar-benar aman bagi masyarakat dan lingkungan.

“Wajib memastikan pemrosesan akhir tidak menghasilkan dampak negatif lebih berbahaya dari jenis sampah yang ditangani seperti abu terbang dan abu dasar dari proses insinerasi.”

AZWI, kata Sawung, meminta pemerintah fokus melaksanakan mandat-mandat utama dari UU Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah No. 81/2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenis rumah tangga.

Pemerintah, katanya, juga harus menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan melakukan upaya-upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

“Ada perpres baru tentang PLTSa, nampaknya pemerintah masih gagal keluar dari paradigma pengelolaan sampah lama, bertumpu pada pendekatan akhir,” katanya.

 

Sampah plastik ini disortir. Sebagian diambil pengumpul sampah, yang lain ada buat kerajinan, seperti bunga dan lain-lain. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay menghubungi Andy Noorsaman Sommeng,  Direktur Jenderal Ketenagalistrikan KESDM. Dia mengatakan, dalam pemanfaatan sampah kota untuk kelistrikan masih terkendala persepsi pemerintah daerah.

Pemda, katanya,  kadang beranggapan sampah kota merupakan sumber daya jika dimanfaatkan sebagai listrik. Dengan begitu, sampah jadi listrik harus dibeli pengembang pembangkit.

Soal dampak, katanya,  memang harus ada kajian mendalam terlebih jika porsi listrik juga relatif kecil.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM, mengatakan, pemda seharusnya mengapresiasi pembangkit listrik tenaga sampah ini bukan malah membebani dengan membanderol harga sampah yang jadi listrik.

Infrastruktur ini, katanya, membantu mengatasi permasalahan sampah. “Sampah kota itu siapa yang menyampah? PLN atau kotanya? Kota dong yang bayar. Jangan sampai mereka yang nyampah, PLN yang bayar,” kata Rida.

Rida bilang, PLTSa jangan dipandang sebagai proyek cari keuntungan tetapi sebagai upaya pengelolaan sampah yang bernilai tambah.

 

Keterangan foto utama: Tumpukan sampah di TPA Piyungan Yogyakarta. Rencana pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga sampah bikin khawatir banyak kalangan karena berpotensi membawa masalah lingkungan dan kesehatan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Sampah menggunung di sekitar jalan protokol Kota Purwokerto, Banyumas, Jateng, akibat sejumlah TPA ditutup. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version