Mongabay.co.id

Mengenal Potensi dan Belajar Mitigasi Bencana di Kaki Gunung Agung. Bagaimana itu?

Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, di kaki Gunung Agung yang awal Juli kembali erupsi, termasuk salah satu desa di hulu. Desa berjarak sekitar 3 km dari Pantai Tulamben, kawasan populer untuk wisata menyelam, ini termasuk kawasan gersang. Pada musim kemarau seperti saat ini, warganya harus membeli air untuk kebutuhan sehari-hari.

Karena posisinya yang persis berada di bawah puncak Gunung Agung, desa ini termasuk kawasan rawan bencana yang selalu siaga saat erupsi terjadi. Desa Dukuh juga berpotensi menghadapi bencana akibat perubahan iklim.

Namun, kondisi geografis Desa Dukuh yang cenderung kering juga menciptakan potensi. Sayangnya, potensi ini justru belum banyak dimanfaatkan.

baca :  Melihat Suksesi Alam Pasca Letusan Gunung Agung Bali

 

Gunung Agung, Bali, terlihat dari Amed, Karangasem pada 3 Juli 2018. Foto Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Inilah alasan Conservation International (CI) Indonesia bersama Yayasan Pelestarian Alam dan Budaya (YPAB) Bali, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merayakan Hari Lingkungan Hidup dengan agenda menelusuri potensi sekaligus belajar mitigasi di Desa Dukuh akhir Juni lalu.

Sekitar 100 orang, terutama dari Denpasar, mengikuti kegiatan bertema Hutan dan Gunung adalah Kita ini. Selama sehari, mereka mengunjungi rumah penduduk yang mengolah aneka potensi Desa Dukuh, seperti arak, gula merah, tuak, dan mete.

Menurut I Made Iwan Dewantama, Program Manajer CI Indonesia pesan utama yang ingin disampaikan dari kegiatan ini adalah bahwa ekosistem Desa Dukuh berperan penting bagi kehidupan masyarakat. Apalagi, dalam budaya Bali ada istilah Nyegara Gunung, satu kesatuan ekologi dan budaya antara segara (laut) dengan gunung. Apa yang terjadi di gunung, juga berdampak ke laut. Begitu pula sebaliknya.

“Dalam konteks konservasi, gunung dan laut harus dijaga kesuciannya serta mampu memberikan manfaat bagi masyarakat,” kata Iwan.

baca : Merintis Pengelolaan Ekosistem Gunung dan Laut Pasca Letusan Gunung Agung. Seperti Apa?

 

Peserta jelajah Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali, berkunjung ke pengolahan mete. Mereka melihat potensi sekaligus belajar mitigasi di desa di kaki Gunung Agung dalam acara yang diadakan Conservation International (CI) Indonesia bersama YPAB)Bali, BNPB, dan KLHK. Foto : CI Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Selama ini laut telah memberikan manfaat untuk masyarakat Desa Tulamben yang berada di pantai, tetapi pegunungan di kaki Gunung Agung belum terlalu memberikan manfaatnya untuk masyarakat Dukuh. “Padahal mereka dikaruniai pohon lontar yang mempunyai nilai ekonomi sangat besar bagi masyarakat,” ujarnya.

Menurut analisis spasial CI Indonesia, lontar merupakan komoditas potensial untuk menyejahterakan masyarakat. Jumlah pohon lontar di Desa Dukuh mencapai minimal 19.393 pohon. Jika semua dipanen, maka pohon-pohon itu akan menghasilkan hingga 100.000 liter tuak/hari.

Dari rata-rata tiga pohon lontar mampu menghasilkan 28 liter tuak yang bisa diolah menjadi 3 liter arak. Dengan harga arak setidaknya Rp20.000/liter, maka nilai ekonomi dari arak bisa mencapai Rp388 juta/hari.

Nyatanya, potensi ekonomi itu belum sepenuhnya tergarap. Sekitar 15 persen penduduk masih tergolong kurang mampu. Karena itu, CI Indonesia melaksanakan program reforestasi dan pemberdayaan masyarakat maupun aktivitas ekonomi dalam menjaga stabilitas ekologi kawasan.

baca juga : Bagaimana Nasib Hewan yang Terdampak Awas Gunung Agung?

 

Pemandu lokal asal Dukuh,Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali, menjelaskan tentang gembrang kepada peserta jelajah. Mereka melihat potensi sekaligus belajar mitigasi di desa di kaki Gunung Agung dalam acara yang diadakan Conservation International (CI) Indonesia bersama YPAB) Bali, BNPB, dan KLHK. Foto : CI Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Kegiatan menelusuri potensi Desa Dukuh pada Hari Lingkungan itu bertujuan antara lain agar penduduk di luar desa maupun turis juga bisa mengenal desa ini, tidak hanya desa-desa di sekitarnya yang sudah terkenal dengan wisata bahari, seperti Tulamben dan Amed.

“Bila potensi ini dikelola dengan baik, maka Desa Dukuh dan Desa Tulamben akan menjadi satu kesatuan pariwisata Nyegara Gunung yang menyejahterakan warganya,” ujar Iwan.

Selama menyusuri Desa Dukuh, para peserta juga melihat langsung pembuatan produk lokal Dukuh berupa serat gebang atau sisal yang menjadi bahan rambut barong. Warga Desa Dukuh yang membuat produk-produk khas lokal juga antusias menyambut dan menerangkannya kepada para peserta kegiatan.

“Semoga kunjungan ini akan membuat gula ental asli Dukuh semakin terkenal dan tak hanya dijual di sekitar sini, tetapi juga daerah-daerah lain,” kata Nengah Sirig, salah satu pengrajin gula ental.

baca : Berharap Serat Sisal untuk Kehidupan

 

Olahan serat gebang atau sisal yang dijual petani ke pengepulnya sebagai bahan baku rambut kerajinan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Belajar Mitigasi

Kegiatan itu juga diisi dengan edukasi hutan dan gunung serta sosialisasi adaptasi bencana gunung berapi oleh perwakilan BNPB. Desa Dukuh memang masuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) versi BNPB.

Peserta sosialisasi tentang adaptasi dan mitigasi bencana gunung berapi belajar antara lain cara-cara mengantisipasi jika terjadi erupsi. Warga belajar, antara lain, rencana mengungsi ke tempat lebih aman jika dampak erupsi terjadi hingga wilayah mereka.

Yudhi Widiastomo, Analis Bencana dari BNPB, menyampaikan bahwa sosialisasi mitigasi ini sangat dibutuhkan masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana, termasuk Dukuh. “Sosialisasi ini perlu dilakukan di daerah-daerah lain sebagai upaya peningkatan kapasitas masyarakat agar lebih tangguh menghadapi bencana,” ujarnya.

I Made Selamat, salah satu warga, mengatakan bahwa sosialisasi mitigasi dan adaptasi bencana semacam ini sangat penting. Apalagi ketika Gunung Agung kembali erupsi sejak awal Juli. “Kami jadi tahu cara bergeser ke tempat aman di daerah yang mudah dijangkau jika nanti ada evakuasi,” katanya.

baca : Pengungsi Menambang Material Erupsi Gunung Agung

 

Wisatawan menikmati sunset di balik gunung agung di Jemeluk, Amed, Karangasem, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sejak akhir Juni lalu gunung setinggi 3.142 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu memang kembali aktif erupsi. Letusan terbesar hingga saat ini terjadi pada Senin (2/7) pukul 21 malam. Erupsi ini melontarkan lava pijar hingga 2 km dari puncak gunung. Akibatnya, hutan di kaki gunung pun terbakar hingga esok harinya.

Pada Minggu (8/7) misalnya Gunung Agung meletus hingga tiga kali sejak pukul 12 tengah malam hingga 6 petang. Letusan terakhir terjadi pada pukul 15:59 WITA dengan tinggi kolom abu mencapai sekitar 1.500 m di atas puncak atau 4.642 mdpl.

Kolom abu teramati berwarna kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah barat. Erupsi ini tercatat di seismograf dengan amplitudo maksimum 24 mm dan durasi sekitar 1 menit 36 detik.

Sebagian warga Desa Dukuh juga saat ini mengungsi ke tempat-tempat lebih aman, seperti kantor desa. Begitu pula warga-warga di desa terdekat dari puncak Gunung Agung, seperti Desa Ban dan Sebudi. Hingga Minggu petang, setidaknya terdapat 4.415 pengungsi yang tersebar di 54 lokasi di Gianyar dan Karangasem.

Pada umumnya mereka mengungsi hanya pada malam hari. Ketika siang hari, warga kembali ke rumahnya untuk bekerja di kebun. Meskipun demikian, hingga Minggu (8/7), status Gunung Agung masih di Tingkat III atau Siaga.

 

Exit mobile version