Mongabay.co.id

Perhutanan Sosial, Akankah Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat?

 

Pria mendekati usia paruh baya itu begitu semangat. Suaranya garang, terlebih saat bicara hutan desa (HD). Dia adalah Masimpei (46), Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Tangkahen, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Bagi Masimpei, hadirnya hutann desa memberi angin segar untuk keberlangsungan hutan dan kesempatan maju warganya. Masyarakat, diberi kewenangan untuk mengelola. Meski, dia tidak memungkiri harus ada keseimbangan sumber daya manusia dan modal untuk mengelola hutan yang lebih baik.

Hutan Desa Tangkahen beruntung masih memiliki potensi kayu, tumbuhan obat, satwa, dan sumber air. Potensi ini yang dikelola Masimpei dan kawan-kawan menjadi ekowisata.

Selain pengetahuan mengenai perhutanan sosial dengan skema hutan desa, semangat untuk membangun hutan desa merupakan poin utama. Ini yang dibuktikan LPHD Tangkahen, meski dukungan pemerintah daerah minim, mereka mampu membangun beberapa fasilitas yang dibantu dana desa dan dari kantong beberapa anggota LPHD.

”Kalau hanya menunggu atau berdiam diri, kapan majunya orang Dayak. Kita berjuang dengan apa yang kita bisa, meski sering dianggap gila,” tuturnya pada Workshop dan FGD Kesatuan Pangelolaan Hutan (KPH) se-Kalimantan Tengah, baru-baru ini.

Baca: Pembalakan Liar hingga Pembukaan Lahan Masih jadi Kendala Hutan Kemasyarakatan di Kalteng

 

Potensi gambut di Kalimantan Tengah yang harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Masimpei berharap, Tangkahen bisa memicu hadirnya hutan desa atau hutan kemasyarakatan (HKm) lainnya di Kalimantan Tengah. “Tentunya, disesuaikan dengan potensi masing-masing sehingga pengelolaannya mudah,” terangnya.

Rahmat Saduri, Sekretaris LPHD Tangkahen mengatakan, tahun ini (2018) dana desa tidak dianggarkan untuk hutan desa. Hanya ada di 2017 dengan total Rp125.000.000.

“Kami berharap dana desa itu ada,” harapnya.

Berdasarkan data Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah, luasan indikatif perhutanan sosial di Kalimantan Tengah seluas 1.564,064 hektar. Rinciannya, hutan lindung (341,912 ha), HP (739,980 ha), HPK (137,274 ha), HPT (220,121 ha), dan kemitraan (124,777 ha). Semua tersebar di 14 kabupaten dan kota.

Hingga Juli 2018, terdata usulan untuk hutan desa (58 unit), HKm (45 unit), HTR (26 unit), hutan adat (3 unit) dan kemitraan (2 unit). Sementara, jumlah izin untuk hutan desa (23 unit), HKm (16 unit), dan HTR (29 unit).

Baca juga: Perhutanan Sosial di Aceh yang Masih Terbentur Kewenangan

 

 

Masyarakat memanfaatkan jalur transportasi air di wilayah Sebangau, Kalimantan Tengah, untuk kegiatan mereka sehari-hari. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pengembangan ekonomi

Ada 25.863 desa yang berada di wilayah hutan dan sekitarnya. Ada 10,2 juta rakyat miskin di desa tersebut yang 71,06% hidupnya tergantung pada sumber daya hutan. “Pengelolaan perhutanan sosial yang baik bisa menyejahterakan masyarakat,” urai Widya Wicaksana, Tenaga Ahli Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H) KLHK.

Hal ini mengingat kita, sasaran perhutanan sosial adalah menjaga kelestarian hutan, konflik terselesaikan, kesejahteraan masyarakat meningkat, dan ekonomi daerah bergerak.

“Persyaratan minimum KPH, yaitu staf berdedikasi, pelatihan pengembangan bisnis, dan pembangunan jaringan bermanfaat harus ada,” ujarnya.

Widya juga memaparkan opsi skema KPH dalam mempromosikan perhutanan sosial. Bisa dilakukan dengan membentuk usaha bersama (patungan) masyarakat, sebagai pembeli produk masyarakat, atau penyedia jasa. “Pembiayaan usaha kelompok dapat dilakukan melalui bank atau non-bank,” jelasnya.

 

Kayu log yang diduga ilegal, lokasinya berada berdekatan dengan HKm Miar Hayak, Desa Mangkawuk Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Ikhtisan, Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng mengatakan, perhutanan sosial masih menghadapi tantangan seperti kurang informasinya program dan integrasi lintas sosial belum optimal.

“Di Kalimantan Tengah, integrasi kegiatan anggota pokja dalam percepatan dan pendampingan belum maksimal. Harus ada pembuktian perhutanan sosial bisa mendongkrak ekonomi, terutama untuk masyarakat,” jelasnya.

Nurhasnih, Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Kalimantan menjelaskan, alokasi PIAPS (Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial) untuk dikelola masyarakat Kalteng sekitar 1,7 juta hektar, merupakan sumber daya alam yang dapat dikelola masyarakat.

“Masyarakat asli Kalimantan Tengah yang sebagian besar Suku Dayak, merupakan salah satu suku yang banyak tinggal di sekitar hutan dan bergantung hidup pada kelestarian hutan,” jelasnya.

Pandangan pemerintah terhadap kondisi tersebut, dalam hal ini Kementerian LHK, perhutanan sosial memiliki potensi cukup besar dan memberi fungsi nyata secara ekonomi kepada masyarakat. “Keberhasilan perhutanan sosial di Kalimantan Tengah akan menjadi keberhasilan pemerintah dalam mengelola dan mempertahankan fungsi kelestarian hutan. Terutama, kesejahteraan masyarakat,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version