Mongabay.co.id

Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi PT. Kallista Alam Dilakukan?

 

Sebanyak 120 ribu tandatangan dibubuhkan masyarakat. Publik mendesak, Pengadilan Tinggi Aceh dan Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Aceh, yang menganulir putusan Mahkamah Agung terhadap kasus pembakaran hutan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya.

Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor: 651 K/Pdt/2015, telah memvonis PT. Kalista Alam bersalah karena membakar hutan gambut Rawa Tripa. Perusahaan ini juga diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp366 miliar.

Namun, tiga tahun setelah putusan itu, PT. Kallista Alam justru meminta perlindungan hukum ke Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh dan menggugat balik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Pemerintah Aceh. Dalihnya, ada kesalahan koordinat pada lahan hak guna usaha (HGU) atau error in objecto.

“Parahnya, Majelis Hakim PN Meulaboh yang dipimpin oleh Said Hasan justru mengabulkan permintaan perusahaan sawit tersebut,” ujar Juru Bicara Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), Fahmi pada 13 Juli 2018.

Baca: Kasus Pembakar Rawa Tripa: Aneh, Pengadilan Negeri Meulaboh Batalkan Putusan Mahkamah Agung

 

Rawa Tripa terus menghadapi ancaman, mulai dari perambahan hingga pembukaan perkebunan sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Pengadilan Negeri Meulaboh, pada 12 April 2018, menyatakan  bahwa putusan Mahkamah Agung itu tidak mempunyai titel eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Majelis hakim juga mengatakan, pembakaran hutan dalam kawasan gambut tersebut tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban hukumnya kepada PT.Kallista Alam.

“Keputusan Said Hasan yang secara hirarki di bawah Mahkamah Agung, mengundang tanda tanya. Bagaimana mungkin putusan MA dimentahkan begitu saja oleh pengadilan negeri ataupun pengadilan tingg,” tanya Fahmi.

“Majelis hakim juga membebaskan PT. Kallista Alam dari segala tanggung jawab, mengganti rugi dan memulihkan lahan terbakar.   Padahal, kesalahan koordinat yang digugatkan hanyalah sebagian lahan, secara fakta majelis hakim telah melakukan sidang di lokasi pembakaran,” tambahnya.

Seharusnya, perusahaan ini tidak melakukan gugatan baru atas kasus yang sudah berkekuatan hukum tetap.   Apalagi, mempersalahkan koordinat lahan yang sudah diperiksa mulai Pengadilan Negeri Meulaboh, Pengadilan Tinggi Banda Aceh, hingga Mahkamah Agung.

“Periode Januari 2013 – Desember 2017, sebanyak 193 titik api terdeteksi dan 60 hektar hutan hilang di dalam konsesi PT. Kallista Alam. KLHK menemukan bukti bahwa perusahaan terus mengeksploitasi lahan yang sudah mereka bakar dan membuat kanal baru,” terangnya.

Bila keputusan Mahkamah Agung dengan mudah dibatalkan, mau dibawa kemana hukum Indonesia. “Demi kepastian hukum yang berkeadilan,   kami   mendesak   Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membatalkan putusan  Nomor:16/Pdt.G/2017/PN.Mbo   sekaligus memerintahkan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT. Kallista Alam. Ini sesuai putusan perkara Nomor: 1 PK/PDT/2017 jo Nomor: 651 K/Pdt/2015 jo Nomor: 50/PDT/2014/PT BNA jo Nomor: 12/PDT.G/2012/PN.MBO untuk membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp366 miliar,” ungkap Fahmi.

Baca: Eksekusi Kasus PT. Kallista Alam Tak Kunjung Dilakukan, Kenapa?

 

Penutupan kanal dilakukan agar gambut di Rawa Tripa ini tetap basah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Petisi

Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) bersama GeRAM membuat petisi agar PT. Kalista Alam dihukum dan putusan yang membela perusahaan tersebut dibatalkan. Dukungan tersebut digalang melalui  Change.org/HukumPembakarLahan.

“Koalisi masyarakat sipil menyerahkan dukungan publik ini ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Masyarakat berharap, eksekusi putusan MA terhadap perusahaan pembakar rawa  gambut Tripa, Nagan Raya, dapat direalisasikan” ungkap Badrul Irfan, Sekretaris Yayasan HAkA.

Badrul menambahkan, penyerahaan petisi yang dilakukan 13 Juli itu dihadiri juga perwakilan dari Rumoh Transparansi, FORA, Change.org Indonesia, dan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH).

“Ini bentuk dukungan untuk membatalkan putusan PN Meulaboh. Kami juga mendesak Mahkamah Agung membatalkan putusan 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo,” tambah Badrul.

Kepala Humas PT Banda Aceh, Maratua Rambe, yang menerima petisi menyatakan akan mempelajari dahulu dukungan masyarakat tersebut. “Saat ini, berkas-berkas dari PN Meulaboh belum lengkap kami terima, sehingga, proses banding belum bisa dimulai,” katanya.

Sebelumnya, Rumoh Transparansi telah melaporkan kasus ini ke KPK dengan nomor pengaduan 96297 pada hari Rabu, 2 Mei 2018. “Kami mencium ada penyelewengan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 miliar. Kami anggap ini upaya penyalahgunaan wewenang PN Meulaboh sehingga kami mengadukan PN Meulaboh ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Crisna, perwakilan Rumoh Transparansi.

Salah satu penandatangan petisi dengan akun Aslam Saad menulis, “Ketika hukum digadaikan oleh penegak hukum kepada para perusak hutan, rakyat sekitar hutan semakin menderita dan negara tak berdaya.” Akun lain dengan nama Elok Galih Karuniawati menulis, “Selamatkanlah hutan kita dan eksekusi perusahaan yang telah ceroboh membakar hutan. #SaveTripa.”

 

 

Exit mobile version