Mongabay.co.id

Para Perempuan di Riau Ini Tingkatkan Pendapatan Keluarga dari Lahan Gambut

Kelompok perempuan memperlihatkan cara membuat pelet ikan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Perempuan berperan penting dalam tata kelola gambut guna menanggulangi perubahan iklim. Mereka bahkan jadi garda terdepan dalam upaya mitigasi dan adaptasi. Ia tak hanya demi kebaikan lingkungan, juga meningkatkan kesejahteraan.

 

Salmiana, bekerja keras menghidupi dua anak yang masih duduk di bangku SMA. Dia mengelola kebun nenas seluas 0,3 hektar sejak 2005.

Penghasilan ibu empat anak ini tak menentu, tergantung hasil dan harga panen. Sehari-hari perempuan 47 tahun ini juga mengajar ngaji dan jadi kader posyandu, dengan penghasilan sekitar  Rp1.200.000. Dia juga berjualan makanan saat Lebaran tiba, seperti dodol nenas atau dodol kelapa.

”Kalau dihitung-hitung ya tidak cukup. Uang sekolah saja Rp500.000 per bulan, belum biaya lain-lain,” katanya, saat ditemui saat media visit bersama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di Dumai, Riau, awal Juli lalu.

Sejak Februari 2017, Sal, begitu panggilan akrabnya ikut dalam Kelompok Perempuan Mundam Bersatu, Kelurahan Mundam, Dumai, Riau.

”Kami diajari budidaya lele dengan (sistem) biofloc dan menanam jahe merah untuk menambah penghasilan. Saya bersyukur,” katanya.

Kedua kegiatan ini, katanya,  diharapkan jadi alternatif menunggu masa panen nenas setiap lima bulan sekali.  ”Kalau nenas kan harus meninggalkan rumah, jahe bisa di pekarangan, tak memerlukan lahan besar. Jahe juga bisa diolah sepanjang waktu,” katanya.

Program-program ini, katanya, diinisiasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melalui Lembaga Perwalian Dana Perubahan Iklim (ICCTF).

Ia merupakan program ”inisiasi kelompok perempuan dalam mengurangi emisi dari kebakaran hutan, kebun dan gambut, sebagai bagian dari pengarusutamaan gender dalam tata kelola sumber daya alam.” Pelaksana kegiatan dengan mitra lokal, Riau Women Working Group (RWWG).

Bersama RWWG, ICCTF jalankan program dengan sejumlah kelompok perempuan di empat  kelurahan di Dumai, yakni, Kelurahan Pelintung, Guntung, Mundam dan Teluk Makmur. Mayoritas mereka memiliki latar belakang ibu rumah tangga, pekebun nenas dan sawit.

Pemberdayaan kelompok perempuan ini untuk pengendalian emisi di lahan gambut melalui revitalisasi mata pencaharian. Kegiatannya,  cocok tanam sayur mayur dan bumbu serta budidaya lele dengan sistem biofloc.

Satu kelompok ada 20 orang. Kegiatan ini berkolaborasi antara kelompok perempuan dan masyarakat peduli api. Satu kelompok, bersama-sama mengelola lima kolam budidaya lele biofloc dan jahe merah.

 

Jahe merah ditanam di lahan gambut. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Soal jahe merah, awalnya warga hanya mengenal sebagai bahan obat-obatan.

”Saya pakai kalau misal, meriang, bisa juga obat sehabis melahirkan,” katanya.

Tak disangka oleh Sal, komoditas ini memiliki nilai jual tinggi. Bagi RWWG, pemilihan komoditas ini pun karena jahe merah mudah tumbuh di lahan gambut, bernilai ekonomi tinggi dan memiliki pilihan produk olahan cukup banyak.

RWWG tak hanya mengajarkan menanam jahe, juga pendampingan mengolah agar bernilai tambah, seperti, dodol jahe, serbuk jahe untuk minuman dan permen jahe.

Saat ini, Kelompok Perempuan Mundam Bersatu gunakan lahan terlantar di desa mereka. ”Kami sudah meminta izin kepada yang punya, mengelola 0,25 hektar.”

Dia bersama kelompoknya berencana, mengelola lahan satu hektar. ”Kita juga mencoba pembibitan. Sejauh ini belum, tergantung permintaan juga dan bisa menularkan kepada ibu-ibu desa lain.”

Yuniarti, Ketua Kelompok Perempuan Mundam Bersatu memperkirakan, 100 bibit jahe ditanam, panen bisa sampai 250 kg. Harga lokal di Dumai untuk jahe merah Rp15.000-Rp20.000 per kilogram.

”Harga jahe merah mahal di pasaran, kita mengolah untuk nilai tambah lebih baik, dibanding jual jahe merah saja.”

Saat mulai penanaman, petani perlu menaburkan pupuk dolomite ke lahan dan mendiamkan selama satu minggu, baru ditanam. Fungsinya, menetralkan atau memperbaiki keasaman lahan karena di sekitar warga bergambut.

Perawatan jahe merah pun terbilang cukup mudah, pemupukan hanya awal penanaman. Lalu, hanya perlu disiram air dan memotong daun serta bunga. Tujuannya, nutrisi tak lari ke daun dan bunga tetapi ke umbi.

”Sebelumnya,  kami tanam jahe ya tanam saja. Tidak tahu jika daun dan bunga perlu rajin dipotong. Pantas,  dahulu jahe kita tak sebesar sekarang juga tidak banyak.”

Yuniarti, memiliki kerja sampingan bikin dodol nenas. Penghasilan rata-rata Rp500.000 per enam bulanan. Perlu tiga tahun bagi Kelompok Dodol Nenas Selasih Mundam memasarkan ke Riau dengan harga Rp60.000 per kilogram.

Belajar dari situ, diapun hendak mengaplikasikan pada dodol jahe, serbuk jahe dan permen jahe. ”Nanti kita usahakan izin usaha mikro, Dinas Kesehatan untuk PIRT, MUI untuk pengesahan halal dan lain-lain,” katanya.

Mereka pun berinisiatif menanam jahe merah diselingi sereh dan ubi jalar ungu. Penanaman ubi jalar ungu ini terintegrasi dengan pembuatan pelet organik untuk pakan lele.

Saat berkunjung ke Kelurahan Teluk Makmur, terlihat salah satu rumah penduduk ada lima kolam berukuran diameter 75 cm dan kedalaman 1,5 meter. Setiap kolam dibangun dengan besi dan terpal.

Setiap kelompok difasilitasi lima kolam ikan biofloc dengan 1.000 bibit ikan per kolam dan dua alat pembuatan pelet untuk mendukung penyediaan pakan ikan.

 

Kementerian Bappenas dan Indonesia Climate Change Trust Fund bermitra dengan Riau Women Working Group dalam pemberdayaan perempuan di Kota Dumai. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sri Wahyuni, Direktur Riau Woman Working Group mengatakan, program ini memberikan modal kepada masyarakat pada lima kelompok perempuan.

”Modal budidaya  lele ini Rp25 juta dengan lima kolam,  atap plastik UV, aerator (selang sistem pernapasan), penyimpan daya inverter.”

Alat pakan Rp6 juta, setiap kelompok mendapatkan dua unit. Penggunaan atap dalam budidaya  ini untuk mengantisipasi perubahan Ph dalam air saat hujan.

Upaya budidaya  lele dengan sistem biofloc ini dianggap lebih ekonomis dari sisi waktu dan tenaga, memberikan nilai ekonomi tinggi dan bisa mengelola di lahan sempit.

Surya, Kepala Produksi Dinas Perikanan Dumai menyebutkan, setiap tahun Dumai memerlukan 24,2 ton ikan, baik ikan laut dan air tawar. Keperluan ikan laut maupun tawar 4,6 ton, baru bisa pemenuhan pasar hanya 2,5 ton per hari.

”Masih ada peluang tiga ton untuk nila dan lele,  padahal, uang beredar Rp25 miliar lebih per tahun untuk perikanan tawar keluar Dumai. Jadi,  jangan takut karena pasar sudah ada,” katanya, seraya mendukung upaya budidaya  ini untuk pemenuhan pasar domestik Dumai.

 

Produksi pelet

Sumini, anggota Kelompok Perempuan Bunga Melati, Kelurahan Teluk Makmur, Kecamatan Medang Kampai, bersemangat mendemokan pembuatan pelet organik lele.

Dalam pembuatan pakan,  sebenarnya kelompok perempuan tak mengeluarkan banyak biaya. Bahan-bahan diperoleh dari sekitar, seperti gulma lahan gambut (daun pakis), daun ubi jalar ungu, azola, lamtoro, dan sedikit kacang kedelai yang harus dibeli.

”Kita sedang mengusahakan uji kandungan protein agar bisa dijual lebih luas,”  kata Sumini.

Dia berharap,  budidaya lele ini berhasil dan memberikan tambahan penghasilan bagi keluarga.

”Kami mau terus tetap maju, kalau ibu-ibu di daerah lain bisa sukses berarti kami bisa. Semua bergantung kekompakan dan perawatan ibu-ibu.”

Sebelumnya, Sumini menggantungkan ekonomi keluarga pada perkebunan sawit seluas satu hektar. Penghasilan tak menentu membuat dia harus sering memutar otak untuk memenuhi kebutuhan. Penghasilan bersih, jika harga sawit Rp1.000 per kilogram dari 300 pohon, hanya Rp700.000-Rp800.000.

”Saya tertarik karena ini membantu perekonomian selain penghasilan suami.”

Mereka memanfaatkan lahan gambut antara lain, produksi pelet ikan. Setiap kelompok mampu produksi 120 kilogram setiap bulan, harga jual Rp7.000 per kilogram. Tiga bulan pertama, Kelompok Bunga Melati menjual 60 kg pelet ikan seharga Rp6.000 per kilogram.

Produk ini, sebagian dijual dan sebagian memenuhi keperluan pakan ikan kelompok perempuan itu. Hingga kini,  kelompok perempuan di empat desa itu mampu memproduksi pelet ikan mandiri.

Sumini berharap,  kegiatan ini bisa memberikan tambahan penghasilan saat panen sawit gagal karena cuaca tak menentu ataupun kebakaran hutan dan lahan berkurang.

”Ketika ini berhasil, saya dan suami sih sudah ada rencana mau membuat (pelet) sendiri.”

Sebenarnya, kata Sri Wahyuni, baik jahe merah ataupun budidaya ikan, secara ekonomi belum terukur karena baru panen perdana dan belum dipasarkan. Meski demikian, dari perhitungan mereka, nilai ekonomi budidaya lele ini mampu menghasilkan 2.000 kilogram dengan nilai jual Rp18.000 per kilogram.

Untuk nilai tambah, RWWG pun memberikan pelatihan membuat nuget, salai, bakso dan abon lele. ”Peluang pasar tak hanya lele segar.”

Para perempuan seperti Salmiana, Yuniarti  maupun Sumini mengharapkan,  program ini memberikan alternatif pendapatan baru dengan tak menyita banyak waktu.

”Ini membuktikan tanpa harus meninggalkan rumah, perempuan bisa meningkatkan perekonomian keluarga. Ini harus ditularkan,” kata Ayu, panggilan akrab Sri Wahyuni.

 

Pelet organik buat kelompok perempuan di Dumai. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Bappenas sekaligus Sekretaris Majelis Wali Amanat ICCTF mengatakan, pelibatan perempuan dalam upaya perlindungan lingkungan dan peningkatan ekonomi keluarga jadi salah satu implementasi pembangunan rendah karbon. Ia diamanatkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

”Sisi livelihood-nya jadi kunci tanpa menganggu aktivitas yang ada. Kita mau mengangkat, perempuan juga memiliki peran dalam peningkatan ekonomi keluarga. Tak hanya sumur, dapur, kasur,” katanya.

Dengan dukungan ini, dia berharap, kelompok perempuan mandiri dan sukses serta menularkan pada desa lain. ”Kaum perempuan bisa jadi penyangga kesejahteraan keluarga,” katanya.

Program kerja sama ini didanai The UK Climate Change Unit (UKCCU) yang melibatkan perempuan dalam tata kelola sumber daya alam dengan menginisiasi kelompok perempuan dalam pengelolaan lahan gambut.

”Isu perempuan dan gambut belum banyak diungkap padahal mereka paling terdampak perubahan iklim,” kata Tonny Wagey, Direktur Eksekutif ICCTF.

ICCTF, katanya,  berkomitmen melibatkan peran aktif perempuan dan mendorong kontrol perempuan dalam pengelolaan lahan gambut.

Dia berharap, dengan pola ini, warga tak lagi menebang tetapi menghasilkan di sela tanaman pokok dan bernilai ekonomi bagi masyarakat.

 

Dukungan dan tantangan

Sri Wahyuni mengatakan, mengajak perempuan bergabung jadi tantangan tersendiri dalam program ini. Dia pun pakai cara memperlihatkan contoh lewat beberapa perempuan yang mulai lebih dulu guna membuktikan kegiatan ini bermanfaat bagi mereka. Dia berharap, program lanjutan ada pendampingan pemasaran.

Harapan Medrilzam, kegiatan kolaborasi ini dapat bersinergi dengan pemerintah daerah dan dinas terkait, seperti Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, Dinas Pemberdayaan Anak dan Perempuan juga perusahaan.

Fernandez Hutagalung, Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengatakan, kegiatan ini jadi pemantik bagi pemerintah kota untuk menambahkan anggaran pemberdayaan bagi perempuan dan anak. ”(Program) ini melihat bahwa bagaimana gambut itu memiliki potensi. Perempuan ikut dalam partisipasi di sini.”

Muhammad Syafie, Kepala Bappeda Kota Dumai memberikan dukungan. ”Ini bentuk kesetaraan gender dalam kearifan lokal.”

Kini, fokus perhatian dia pada pemasaran dan mereplikasi kegiatan ini tak hanya di empat kelurahan. “Ini peluang besar, kami dukung dan jadi perhatian untuk dilaksanakan pada komunitas lain.”

 

Keterangan foto utama: Kelompok perempuan memperlihatkan cara membuat pelet ikan organik. Kementerian Bappenas dan Indonesia Climate Change Trust Fund bermitra dengan Riau Women Working Group dalam pemberdayaan perempuan di Kota Dumai. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Peninjauan sekat kanal di kebun sawit. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version