Mongabay.co.id

Soa-soa Layar, Nasibmu Kini…

Soa-soa layar makin langka. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Pertengahan Juni 2018, udara panas, matahari menyengat. Di sisi tebing tanah sungai dengan beberapa rimbun pohon, di Desa Cimpu dan Suli, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, salah satu kadal terbesar tampak sedang beristirahat. Merapatkan badan di ujung tangkai, di akar yang menyembul dan pula di batang pohon.

Namanya,  soa-soa layar (Hydrosaurus amboinensis) dengan nama lokal piccara. Mendekatinya harus mengendap. Biasa suara berisik membuat sang kadal cepat berlari. Di jarak sekitar 10 meter, kadal itu menoleh dan mulai mengawasi. Kepalanya bergoyang naik turun, seolah mengangguk. Saat saya bergerak lebih dekat, kadal itu membuang diri ke aliran sungai. Menyelam dan muncul di sisi lain sungai.

Saya mengenal kadal ini sejak masih kanak-kanak. Bagi warga Cimpu dan Suli, soa-soa hanyalah kadal biasa. Tak ada yang berniat mengganggu apalagi memelihara. Anak-anak kecil hanya suka mengganggu anakannya, karena saat menghindar soa-soa akan menunjukkan atraksi yang memukau.

Soa-soa kecil tak menyelam, tetapi akan berlari dengan posisi tegak, menggoyangkan kaki dengan cekatan, lalu ekor bergoyang cepat. Serupa sedang berjalan di atas air.

Ketika masih anak, soa-soa tak ubahnya cicak air. Saat dewasa, soa-soa menampakkan perubahaan wujud yang menyeramkan. Badan kadang dominan hitam. Mulai kepala hingga ekor ditumbuhi duri kecil. Pada soa-soa jantan, bagian pangkal ekor bahkan tumbuh berbentuk layar. Tak salah jika soa-soa dijuluki pula miniatur dinosaurus.

Soa-soa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999, menjadikan kadal ini dalam status dilindungi. Ia terancam perburuan dan perubahan habitat lingkungan.

 

Perburuan dan kerusakan habitat, membuat soa-soa makin sulit ditemukan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Siady Hamzah yang meneliti soa-soa di Maros tahun 2011, dalam penelitian menulis, anakan satwa ini Rp300.000 per ekor. Untuk skala perdagangan internasional sekitar US$250 di Amerika dan 330 Euro di pasar Eropa.

Soa-soa di Indonesia tersebar di Pulau Sulawesi, Togian, Buton, Ambon, Seram, Bacan, Halmahera, Waigeu. Ia juga ada di Filipina.

Saya bersama Yusuf, warga Desa Cimpu menyusuri pesisir sungai. Berharap menemukan beberapa soa-soa. Kami hanya menemukan satu. “Saya baru sadar sekarang. Piccara ini memang sudah mulai tidak ada. Dulu kan (tahun 1990-2002) itu sampai samping tembok rumah bertelur,” katanya.

Di Suli, hal serupa pun saya rasakan. Menyusuri hampir satu km, pesisir sungai hanya menjumpai tiga soa-soa. Tak ada lagi soa-soa besar dengan ukuran sampai satu meter. Tak ada lagi pemandangan soa-soa di ujung tangkai mengunyah daun. Atau soa-soa itu menangkap serangga kecil bahkan kepiting di pinggiran tebing tanah sungai.

 

Soa-soa layar. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Dalam beberapa literatur, kadal ini mampu hidup hingga usia 15 tahun. Soa-soa betina bertelur sekali dalam setahun, dengan 5-9 butir. Telur-telur itu kelak akan menetas hingga 65 hari.

Sungai Cimpu, adalah bagian dari DAS Bajo, dimana hulu sedang dibangun pertambangan emas PT Masmindo Dwi Area.

Yusuf bergidik, membayangkan ke depan. “Saya berharap saja, semoga kelak apapun itu, limbah atau apa saja, tidak masuk ke sungai,” katanya.

Soa-soa memerlukan air yang baik, persediaan makanan, dan kondisi lingkungan tak terganggu. Sampah yang jadi gundukan di tebing-tebing sungai tentu membawa dampak buruk bagi satwa.

Sungai Suli dan Cimpu, adalah sungai besar yang kritis. Warna air keruh seperti teh susu. Hulu mulai menggundul jadi lahan penanaman cengkih hingga kopi. Dua tahun terakhir ini, banjir bandang acap kali menghantam wilayah ini. Kemungkinan soa-soa menghilang jika kondisi aliran sungai setiap waktu kian buruk…

 

Soa-soa layar. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version