Mongabay.co.id

Ratusan Hektar Sawah Petani di Konawe Selatan Tergusur Perusahaan Sawit

Amirudin, pemilik lahan seraya memperlihatkan dokumen tanah di atas lahan sawah yang sudah tercabik-cabik alat berat. Foto. Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Sekitar 300 hektar sawah di Desa Toluonua dan Peohuko, Kecamatan Mowila, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, tergusur perusahaan perkebunan sawit, PT Merbau Jaya Indah Raya (Merbau Jaya). Konflik antara warga dan perusahaan pun tak terelakkan.

Perusahaan sawit ini masuk lahan ratusan petani sejak beberapa pekan ini. Sawah warga ada sejak 1983. Ribuan petani ini menggantungkan hidup dari menanam padi.

Beralasan punya hak guna usaha (HGU) dari pemerintah kabupaten, Merbau Jaya hadir tanpa sepengetahuan warga (pemilik) lahan. Mereka langsung meratakan sawah warga dengan alat berat. Suara alat berat meraung, sawah berubah jadi petakan besar bercampur lumpur keabu-abuan. Lumpur ini diambil dari kedalaman 1, 5 meter yang dikeruk untuk sawit.

Mowila, satu kecamatan di Konsel yang sudah diresmikan Kementerian Pertanian pada 2009, sebagai penyuplai beras kedua terbesar setelah Konawe. Di Sulawesi Tenggara, Konawe dan Konawe Selatan, merupakan dua daerah lumbung beras terbesar yang dipasarkan hingga Sulawesi Selatan.

Merbau Jaya sudah meratakan wilayah sejumlah desa di Mowila sejak 2017. Wilayah itu dikenal karena memiliki debit air berlimpah untuk pertanian padi, begitu juga untuk sawit.

 

Perusahaan serobot lahan warga bersertifikat

Lahan petani punya dokumen resmi, tetapi Merbau Jaya juga meratakan juga jadi kebun sawit.

Rabu (4/7/18), saya mendatangi Amirudin, pemilik lahan dan memperlihatkan dokumen tanahnya. Sertifikat dia pegang kuat dan berbicara dengan nada tinggi. Amirudin kesal kepada perusahaan. Sudah berhari-hari tanpa pemberitahuan mereka, tiba-tiba sawah mereka tergarap perusahaan.

“Kita pulang istirahat setelah bersih-bersih sawah. Dua hari kemudian sawah sudah rata dengan tanah dan dibuat seperti tanggul besar,” katanya.

Perusahaan, katanya, menggerakkan warga lain yang bukan petani membuka lahan warga dengan alat berat.

 

Alat berat PT Merbau menggarap sawah masyarakat. Sekitar 300 hektar persawahan di Desa Toluonua dan Peohuko, Kecamatan Mowila, Konsel, diserobot perusahaan. Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Warga lain, Andi Nur Alam, mengatakan, lahan warga yang diserobot perusahaan rata-rata punya sertifikat. Mereka heran kenapa ada HGU di atas sertifikat warga. Dia menduga, penerbitan HGU atas dasar suap-menyuap antar pemilik modal (perusahaan) dan pemerintah.

Kan kita bertanya apa guna sertifikat ini kalau begitu. Kalau belakangan HGU terbit, sertifikat dikesampingkan. Kami mengadu juga pemerintah lepas tangan,” katanya.

Menurut warga, lahan ini sudah dua kali melalui penjualan tanah dan terakhir sampai ke tangan mereka serta sudah memiliki sertifikat BPN Konsel tahun 2016-2017.

“Jelas, lahan yang diklaim perusahaan ada oknum yang menjual sebelumnya. Perusahaan harusnya tanya kepada yang menjual, kenapa sampai tumpang tindih seperti itu,” kata Nur Alam.

Amirudin punya lahan 11 hektar, sedang Andi Nur Alam tujuh hektar. Petani lain hampir sama, dengan total sekitar 300 hektar. Semua lahan punya dokumen mulai dari sertifikat, akta jual beli dan surat keterangan tanah (SKT). Mereka mengelola lahan sejak 2005 dan 2008.

“Kini kami merasa terancam dengan kehadiran sawit. Kebun sawit juga akan menyedot persediaan air sawah,” kata  Ahmad, petani lain.

 

Para petani di Desa Toluonua dan Peohuko, Kecamatan Mowila, Konsel, petani-petani ini melaporkan sawahnya diserobot perusahaan perkebunan PT Merbau Indah Raya. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Warga melawan

Pada Hari Tani 2017, Walhi Sultra aksi solidaritas di Kantor Bupati Konawe Selatan. Mereka menyuarakan ketimpangan struktur agraria di Sultra. Walhi menyebutkan,  praktik-praktik monopoli atas sumber-sumber agraria makin masif.

Dalam aksi itu,  dihadiri ribuan petani dari enam kecamatan di Konawe Selatan. Masyarakat Desa Arongo, bersikeras melawan MIR. Mereka bilang, penyerebotan sepihak itu akan terus berlanjut pada semua desa-desa yang diklaim masuk HGU.

Kamis (5/7/18), Kisran Makati, Direktur Walhi Sultra, mengatakan, konflik  agraria selalu menempatkan petani sebagai korban penggusuran dan perampasan. Satu kasus dialami petani di Kecamatan Mowila dengan Merbau ini.

Konglik di Kecamatan Mowila tak hanya di Desa Toluonua dan Peohuko juga di Desa Rakawuta, Desa Lamolori, dan Desa Aronggo. “Lahan diambil sepihak dan digarap untuk perkebunan sawit,” kata Kisran.

Lahan-lahan warga ini, katanya, bersertifikat dan tumpang tindih dengan HGU perusahaan. Warga harus berjuang lagi, mempertahankan lahan-lahan mereka. Pemerintah,  katanya, tak melindungi masyarakat dari kerakusan investasi.

 

Temuan Walhi

HGU Merbau terbit 2010 berdasarkan Keputusan Bupati Konawe Selatan, Imran lewat surat keputusan Nomor 1390/2010 dengan tujuan pemberian perpanjangan izin lokasi perkebunan sawit. Lokasi terletak di sembilan kecamatan, yakni, Lainea, Laeya, Palangga, Palangga Selatan, Ranomeeto, Ranomeeto Barat, Landono, Mowila, dan Angata. Ia berada di 27 desa.

“Luasan 20.000 hektar,” katanya.

Lahan seluas itu, katanya, hampir semua di lahan masyarakat yang sudah bersertifikat. Dia mempertanyakan, izin yang dikeluarkan pemerintah. “Mekanisme awal seperti apa, dan bagaimana kerja pemerintah dalam meninjau lokasi izin Merbau?”

 

Andi Nur Alam memperlihatkan dokumen tanah yang diserobot oleh perusahaan sawit PT Merbau Jaya. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, tak ada sosialisasi kepada warga, hanya berdasarkan rapat dengan kepala desa lama. “Itu kemudian surat-surat jual beli dipalsukan. Inilah yang jadi rujukan penerbitan izin atau HGU,” katanya.

Walhi, kata Kisran, mendampingi warga atas kasus ini mulai dari bertemu perusahaan hingga dialog dengan pemerintah. Sayangnya,  selalu mendapatkan kebuntuan dan pemerintah seakan lepas tangan.

“Bupati Konsel sekarang Surunudin juga tak bisa memberikan kepastian hak tanah kepada masyarakat. Kami suarakan berkali-kali tetapi dianggap kasus biasa. Padahal ini perampasan tanah,” katanya.

Modus pengambilan tanah masyarakat,  katanya, perusahaan bermain dengan pemerintah desa sebelumnya– yang hanya mengandalkan surat jual beli lahan dari orang tidak dikenal– kepada perusahaan. Kemudian, surat itu jadi dasar penerbitan izin.

“Temuan kami begitu dari advokasi masyarakat, wawancara dan pendampingan penyelesaian konflik.”

 

Janji perusahaan

Kamis (15/3/18), warga yang bertemu melampiaskan uneg-uneg kepada perusahaan, tetapi ditengahi Polsek Landono. Perusahaan didesak warga agar menghentikan sementara perampasan lahan dan menyetop alat berat. Kesepakatan hanya berjalan seminggu. Setelah itu, perusahaan kembali mendatangkan lebih banyak alat berat.

Kapolsek Landono, Ipda Efi Afrianto, membenarkan, berusaha memediasi warga dan perusahaan.

“Antara warga dan Merbau itu, sudah ada kesepakatan. Mereka akan sama-sama mengecek ke Badan Pertanahan Nasional Konsel batas tanah dan posisi sawah dan perkebunan,” kata Afrianto.

Dia menyayangkan,  ada HGU perusahaan di atas sertifikat tanah persawahan warga karena jelas memicu protes. “Kami harapkan antara perusahaan dan warga sama-sama mau mengecek ke BPN, hingga masalah ini cepat terselesaikan,” katanya.

Di depan puluhan petani, Pebis, Humas Merbau, mengatakan, akan menghentikan dulu aktivitas perusahaan. Utusan perusahaan, katanya, sejauh ini akan mengunjungi BPN Konsel.

Dia juga heran, ada HGU di atas sertifikat warga. Padahal, saat membeli, perusahaan sudah melakukan sejumlah pemeriksaan posisi lahan.

“Kita akan lihat, posisi lahan kami dimana, dan posisi lahan masyarakat dimana, hingga jelas dan tak ada saling klaim,” katanya di depan petani Toluonua dan Peohuko.

“Kami juga akan melaporkan ini ke perusahaan,” ujar Pebis.

 

Keterangan foto utama: Amirudin, pemilik lahan seraya memperlihatkan dokumen tanah di atas lahan sawah yang sudah tercabik-cabik alat berat. Foto. Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version