Mongabay.co.id

Mantan Pekerja APP Ungkap Namanya Dipakai untuk Perusahaan Rahasia di Kalimantan

Orangutan kalimantan yang nasibnya harus kita perhatikan karena hutan tempat hidupnya kian tergerus. Foto: BOSF/Indrayana

 

Investigasi oleh Mongabay menemukan bukti baru menunjukkan salah satu produsen kertas terbesar di dunia, Asia Pulp & Paper (APP) sengaja menyembunyikan kepemilikan perusahaan kontroversial yang terlibat dalam deforestasi. Kejelasan datang setelah bantahan berulang kali oleh APP bahwa perusahaan itu memiliki perusahaan lain, karena struktur perusahaan tidak jelas ini jadi perbincangan.

Dua mantan karyawan APP diwawancarai Mongabay mengatakan, manajemen menggunakan nama mereka pada arsip resmi untuk perusahaan, PT Muara Sungai Landak (MSL), yang menebang hutan tropis di Kalimantan Barat, untuk membuka perkebunan kayu pulp di hutan gambut sekitar 3.000 hektar sejak 2013. Salah satu karyawan mengatakan, dia telah menerima pembayaran bulanan untuk kompensasi pengaturan itu. Dia mengaku takut protes karena khawatir kehilangan pekerjaan.

Baca juga: Koalisi Menelusuri Kepemilikan Bisnis Asia Pulp and Paper, Apa Temuannya?

Berdasarkan penjelasan dan laporan mantan karyawan ini tentang cara kerja dalam manajemen APP, bertentangan dengan pernyataan yang perusahaan buat dalam beberapa bulan terakhir yang menyatakan, “tidak ada hubungan” dengan PT Muara Sungai Landak.

Temuan ini menempatkan APP tepat di tengah perdebatan yang muncul tentang keberadaan “perusahaan bayangan” di antara kepemilikan usaha milik keluarga konglomerat yang mendominasi sektor perkebunan kayu di Indonesia ini.

Baca juga: Kala Greenpeace Putus Hubungan dengan Asia Pulp and Paper

Berkat tekanan kelompok masyarakat sipil, sebagian kelompok bisnis ini telah berjanji menghentikan deforestasi.  Namun, makin jelas mereka menggunakan berbagai metode untuk menyembunyikan kendali atas aset-aset usaha yang bermasalah.

APP dimiliki  keluarga taipan Eka Tjipta Widjaja, yang memiliki investasi di berbagai sektor, mulai real estat, perbankan, pertambangan dan agribisnis sampai produk makanan dan lain-lain.

Pada 2013, APP membuat ikrar menghentikan deforestasi. Greenpeace memberikan legitimasi komitmen ketika setuju untuk memberi masukan perusahaan tentang cara menerapkannya.

Desember lalu, bagaimanapun, APP menemukan diri terlibat dalam skandal ketika Associated Press menerbitkan kajian mengenai struktur perusahaan ini. Artikel itu juga menunjukkan, MSL dimiliki melalui lapisan perusahaan induk atas nama dua karyawan APP: pekerja IT berusia 36 tahun dan auditor 43 tahun.

Temuan-temuan itu menunjukkan, APP menggunakan nama mereka sebagai proksi menyembunyikan kepemilikan usaha dari MSL, dan diam-diam mengambil keuntungan dari penghancuran hutan besar-besaran di Kalimantan Barat.

APP membantah mengendalikan MSL. Mereka mengklaim dalam beberapa pernyataan publik dan wawancara, bahwa karyawannya membentuk perusahaan sendiri, tanpa sepengetahuan manajemen.

APP mengakui,  karyawan ketiga terdaftar sebagai Direktur MSL, tetapi mengatakan telah “dihentikan” dari posisi di APP segera setelah keterlibatan di perusahaan itu ditemukan. Dua karyawan lain, katanya, sudah meninggalkan APP.

 

Karya seni oleh Prabha Mallya untuk Mongabay
Keenam orang ini bekerja untuk APP pada saat yang sama ketika mereka terdaftar sebagai pemegang saham dan/atau petugas dari Muara Sungai Landak dan perusahaan induknya. Foto: Randy Jacobson untuk Mongabay

 

Penyelidikan Mongabay membuktikan bertentangan dengan cerita APP. Hubungan perusahaan dengan operasi penghancuran hutan di Kalimantan Barat itu jauh lebih dalam daripada yang diakui.

Wawancara dengan mantan karyawan APP juga menunjukkan, upaya mengaburkan keterkaitan kepemilikan dikoordinasikan dari dalam lingkaran konglomerat.

APP telah mengakui, tiga karyawannya terlibat di MSL. Setelah Mongabay, menganilisis catatan perusahaan menunjukkan nama-nama tiga orang lain yang tampaknya telah dipekerjakan APP saat sama ketika mereka terdaftar sebagai petugas dari MSL.

Mongabay berhasil melacak dua orang. Keduanya mengatakan, manajemen APP telah menggunakan nama mereka di MSL.

“Perusahaan itu dijalankan oleh orang yang lain,” kata salah seorang dari mereka. Dia mengatakan, “tidak memiliki pilihan lain.”

 

Api gambut membakar di bagian barat Pulau Sumatera di Indonesia, di mana kegiatan APP terkonsentrasi, pada tahun 2015. Foto: Rhett A. Butler/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay juga dapat mengungkapkan, perusahaan yang membeli sebagian besar kayu MSL memiliki kesamaan di belakang layar dengan konglomerat Widjaja.  Perusahaan itu, PT Cakrawala Persada Biomas, mengoperasikan pabrik pelet kayu di Kalimantan Barat.

Catatan perusahaan menunjukkan,  dua direkturnya adalah sepasang mantan eksekutif senior di perusahaan minyak sawit milik keluarga Widjaja. Setidaknya satu dari mereka dipekerjakan saat yang sama ketika dia terdaftar sebagai karyawan perusahaan penggilingan. Namun tak seorang pun dapat dihubungi untuk dimintai komentar.

Seorang juru bicara untuk sawit Sinar Mas Grup ini mengatakan,  tak bisa berkomentar mengenai perusahaan penggilingan karena “kami tidak terlibat dalam entitas ini.” Saham-saham pengendali di perusahaan, dipegang dua perusahaan dari negara surga pajak, British Virgin Island dan Labuan, Malaysia.

Petinggi ketiga dari perusahaan penggilingan bekerja untuk beberapa perusahaan asuransi keluarga Widjaja dan yayasan yang didirikan konglomerat ini.

Dihubungi melalui telepon, pria itu mengakui hubungannya dengan Cakrawala Persada Biomas, tetapi mengatakan tidak dapat mengatakan, apakah dia terdaftar sebagai komisaris atau direktur.

Menginformasikan bahwa dia komisaris, dia menyarankan Mongabay berbicara dengan direktur dan menutup saluran telepon.

Peran pria ini di perusahaan penggilingan meningkatkan keraguan terhadap APP. APP mengklaim, para karyawan bekerja untuk pihak ketiga, atau mendirikan perusahaan mereka sendiri, tanpa sepengetahuan atau persetujuannya.  Namun peran pria ini dalam konglomerat Widjaja, tertera di atas kertas, tidak ada hubungan dengan operasi agribisnisnya.

Sentimen serupa disuarakan salah satu karyawan APP yang namanya muncul di pengajuan resmi MSL, dan bekerja di Jakarta, berkantor sama dengan tiga orang yang mengakui keterlibatannya dalam perusahaan APP.

Ditanya apakah salah satu dari tiga orang itu mungkin bisa mendirikan dan menjalankan perusahaan itu sendiri—usaha besar yang membutuhkan akuisisi izin usaha dari berbagai tingkat pemerintahan, akses ke modal dan alat berat—karyawan itu menjawab dengan yakin,” Tidak pernah.” “Tak pernah.”

 

Sebuah gambar oleh Greenpeace yang menunjukan ‘pembersihan’ lahan secara bertahap di konsesi Muara Sungai Landak

Seorang mantan karyawan APP lain ingat pernah bekerja dengan salah satu dari tiga orang itu setuju,  dan mengatakan, tak percaya orang yang disebutkan namanya dapat menjalankan perusahaan itu. “Karena dia tak memiliki kemampuan untuk itu,” katanya, berbicara dengan minta nama anonim.

“Untuk mengelola area konsesi, Anda harus memiliki keterampilan kerja lapangan. Anda harus tahu cara menanam, memanen dan membawa kayu ke penggilingan. Saya rasa dia tidak memiliki kemampuan seperti itu, sungguh. ”

Salah satu dari dua karyawan APP yang mengatakan namanya digunakan untuk MSL,  orangnya lebih tertutup. Dia enggan menjelaskan detail bagaimana modus-modus seperti itu berjalan. Diapun segera mematikan telepon.

Yang jelas darinya soal perusahaan itu bukan milik dia. “Semua didasarkan pada inisiatif [konglomerat],” katanya. “Tidak mungkin saya menominasikan diri [sebagai direktur].”

Untuk APP, temuan ini memiliki konsekuensi di luar MSL. Perusahaan kertas raksasa ini juga mendapat kecaman atas hubungannya dengan 24 perusahaan lain sebagai pemasok bahan bakunya. APP selalu merujuk perusahaan-perusahaan ini sebagai pemasok “independen,” tak dimiliki oleh atau berafiliasi dengannya. Namun, laporan lembaga swadaya masyarakat dan media baru-baru ini mengindikasikan, mereka dimiliki segelintir karyawan APP. APP membantah, kalau telah memiliki perusahaan-perusahaan itu secara diam-diam.

Dalam lima tahun sejak APP berjanji menghentikan pembukaan hutan, MSL telah melibas hampir 30 kilometer persegi (12 mil persegi) hutan. Lisensi perusahaan mencakup total 130 kilometer persegi (50 mil persegi) dan membentang sebagai habitat orangutan Kalimantan ((Pongo pygmaeus) yang sangat terancam punah.

Menurut analisis Greenpeace, hampir seluruh konsesi terletak di lahan gambut. Dalam beberapa dekade terakhir, zona gambut Indonesia yang luas telah dikeringkan perusahaan-perusahaan perkebunan, menyebabkan gambut mudah terbakar.

Pada 2015, kebakaran gambut di Indonesia menyelimuti kepulauan dan negara-negara tetangga dalam kabut asap yang mencekik, memabukkan jutaan warga Indonesia, dan menghasilkan emisi gas rumah kaca meroket. APP berjanji menghentikan pembukaan tak hanya hutan juga lahan gambut.

Jika keluarga konglomerat ini mengendalikan MSL, itu melanggar lebih dari ikrar sukarela. Pada 2016, Presiden Indonesia,  Joko Widodo,  menandatangani aturan moratorium semua pembukaan lahan gambut baru. Namun, menurut Greenpeace, MSL membersihkan gambut tahun lalu.

Greenpeace pada Mei memutuskan hubungan dengan APP, dengan mengatakan, upaya menyembunyikan skandal kepemilikan gagal, dan menuntut mereka bertanggung jawab atas penghancuran hutan termasuk di konsesi MSL. APP tetap kekeuh bilang, kalau tak ada hubungan dengan MSL dan tak ada kayu masuk ke rantai pasokan mereka.

Ditanya mengenai temuan terbaru Mongabay, Elim Sritaba, Direktur Keberlanjutan APP, memilih tak menjawab soal setidaknya enam karyawan mereka disebutkan dalam pengajuan resmi untuk MSL, atau klaim nama-nama pekerja sering dipakai perusahaan.

Sritaba mengatakan, tak ada seorang pun yang “diberi kompensasi” untuk dicatat sebagai direktur MSL. Dia menyebut klaim itu,  salah dan tidak berdasar.

“Kami menyambut kritik ke dalam organisasi kami, karena kami percaya bahwa itu membantu kami melakukan yang lebih baik,” katanya, melalui surat elektronik.

“Tetapi saat yang sama, jika kami menghabiskan seluruh waktu membela diri terhadap serangan tak berdasar, kami akan kekurangan sumber daya untuk pekerjaan lebih  penting yang perlu dilakukan dalam memerangi perubahan iklim.”

 

Menara perkantoran menjulang di Jalan Thamrin, sebuah jalan utama di distrik pusat bisnis Jakarta. Foto: Axel Drainville/ Flickr

 

 

‘Sebaiknya jangan protes’

Salah satu mantan karyawan APP yang mengatakan namanya dipakai untuk MSL mengenang awal mula sadar namanya telah melekat pada perusahaan. Ini dimulai ketika tim hukum kantor di Jakarta membawa dokumen untuk ditandatangani buat penyewaan alat berat.

“Ketika itu saya menyadari, oh, saya ditunjuk sebagai anggota dewan,” katanya. “Sekali lagi, mereka sudah menyiapkan segalanya untuk saya. Jadi saya tidak punya pilihan lain. ”

Di APP, katanya, itu praktik standar untuk nama karyawan yang akan diakai buat perusahaan seperti MSL. Makin senior, katanya, makin tinggi kesempatan nama dilampirkan di profil perusahaan. “Jadi, jika Anda mencapai tingkat tertentu-manajer senior, general manajer- akan ada risiko tinggi bahwa Anda akan ditunjuk jadi salah satu anggota dewan,” katanya.

Karyawan ini,  biasa tak dinilai penting di perusahaan, jadi masuk akal namanya dipakai untuk perusahaan seperti MSL. Bukan untuk perusahaan yang lebih besar seperti Arara Abadi, yang diakui dimiliki oleh APP.

Karyawan itu bilang, tak pernah ada yang meminta izin gunakan namanya untuk perusahaan. Mereka tak perlu melakukan hal itu– APP sudah memiliki data pribadi karyawan. “Setelah Anda mendaftar kerja, Anda mengisi CV Anda, kan?” katanya. “Anda juga memberikan ID Anda. Itu seharusnya cukup bagi [manajemen] untuk menunjuk Anda.”

“Maksud saya, mereka sudah punya ID Anda. Mereka hanya datang ke notaris dan mendirikan perusahaan atau bagaimana, saya tidak tahu. Berarti bahwa sampai batas tertentu mereka tidak menggunakan persetujuan Anda sebelumnya untuk menunjuk Anda sebagai anggota dewan.”

Pengakuannya  tentang praktik seperti ini dikonfirmasi oleh mantan karyawan APP lain yang bekerja di kantor sama di Jakarta. (Namanya tak muncul di MSL.)

Dia mengatakan, sudah biasa bagi rekan-rekannya disebut sebagai petugas dari perusahaan itu. Beberapa dari mereka benar-benar mengelola perusahaan, yang lain namanya hanya muncul  demi kepentingan dokumen.

“Saya tidak bisa mengatakan itu situasi hitam dan putih. Ini lebih keabu-abuan.”

Karyawan yang menandatangani makalah untuk MSL mengatakan, tak pernah benar-benar berpartisipasi dalam manajemen. Dia bahkan tak tahu siapa yang membeli kayu yang dihasilkan. Dia menerima sekitar Rp1 juta per bulan sebagai kompensasi untuk penggunaan nama itu.

Penggunaan nama ini membuat dia resah tetapi hanya dalam diam. “Selama Anda ingin bekerja [untuk APP], saya kira akan mengerti yang terbaik bagi Anda untuk tak memprotes keputusan semacam itu.”

 

Sebuah jalan di Desa Wajok Hilir dekat perkebunan Muara Sungai Landak di Kalimantan. Jalan khusus ini sudah ada sebelum kedatangan perusahaan tetapi diperluas oleh perusahaan, menurut kepala desa. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

 

Tanda-tanda awal

Hasil investigasi bersama Eyes on the Forest, koalisi organisasi masyarakat sipil di Indonesia, melihat buldoser bekerja di konsesi MSL.

Mereka mulai menggunakan drone memantau konsesi. Dalam perjalanan ke lapangan, mereka mengidentifikasi sarang orangutan dan mengukur kedalaman dan luas gambut. Mereka mendengar dari penduduk desa yang tinggal di dekat perkebunan, bahwa itu milik Grup Sinarmas.

Untuk memeriksa pernyataan penduduk desa, para investigator LSM mencari akta pendirian dan akta notaris MSL dan jaringan perusahaan induk dari data pemerintah melalui Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM.

Dokumen-dokumen yang tersedia secara publik mengungkapkan nama-nama pemegang saham, direktur dan komisaris untuk setiap perusahaan. Hasil pencarian online menunjukkan, beberapa orang ini adalah karyawan APP. Mereka, misal,  mencantumkan di profil LinkedIn milik mereka.

Ian Hilman, dari Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan mengatakan,   Eyes on the Forest tak akan menghadapi APP kecuali mereka memiliki bukti definitif bahwa APP benar-benar mengendalikan MSL.

Mereka terus memantau konsesi, pada 2015,  merilis laporan yang menunjukkan berapa banyak hutan hancur oleh MSL.

Tanda-tanda itu ada di sana, kata Hilman. MSL, didaftarkan ke sebuah gedung di Sinarmas Land Plaza, Jakarta. Meskipun itu konsesi relatif kecil sekitar 130 kilometer persegi– beberapa konsesi APP 20 kali lebih besar— jelas ada uang besar di belakangnya.

“Ini aneh,” kata Hilman, bahwa pemilik MSL, dua pekerja kantoran.

“Jika Anda melihat di lapangan, MSL memiliki investasi besar seperti menyewa mesin berat, menggali saluran kanal, dan membangun sebuah jalan.”

 

Pada 2010, Greenpeace membentangkan spanduk raksasa di depan markas Nestlé di Amsterdam dengan menargetkan merek Kit Kat, dengan seorang aktivis berpakaian seperti orangutan yang duduk di “sarang” di luar. Tujuannya, menekan raksasa makanan ringan itu agar memutuskan bisnis dengan perusahaan Widjaja sebagai pemasok minyak sawit, yang dilakukan pada tahun sama. Pada 2013, ketika anak buah minyak sawit dan kertas dari Widjaja berjanji untuk menghentikan deforestasi, Greenpeace menghentikan kampanyenya. Gencatan senjata berlangsung hingga Mei lalu, ketika Greenpeace menyatakan konglomerat itu tidak menaati komitmennya. Gambar Greenpeace / Flickr

 

Ada indikasi lain kalau MSL adalah operasi APP.

Desember lalu, sebuah peta di situs web APP yang menunjukkan titik api jelas-jelas menyebutkan, MSL sebagai salah satu konsesi “mitra” raksasa kertas di Kalimantan. Peta yang Mongabay  lihat itu telah diturunkan.

Sritaba dalam wawancara Februari lalu, mengatakan, MSL telah keliru masukkan dalam peta.

Dokumen lain, buatan 2007 oleh APP, kala Mongabay, cek MSL masuk daftar konsesi.

Awal tahun ini, Greenpeace menemukan, perusahaan perkebunan kayu pulp lain dimiliki konglomerat ini sedang ‘membersihkan’ hutan di Kalimantan Selatan.

Ketika organisasi lingkungan mempertanyakan soal ini kepada APP, raksasa kertas itu mengatakan PT Hutan Rindang Banua, berada di luar kewenangan mereka, karena milik tangan berbeda dari keluarga Widjaja. Menurut mereka komitmen keberlanjutan itu tak berlaku.

“Di satu sisi, mereka berbicara tentang menghentikan tindakan mereka, tetapi sisi lain terus melakukan deforestasi,” Rusmadya Maharuddin, juru kampanye hutan bersama Greenpeace, kepada Mongabay.

 

Masalah kepercayaan

APP terus mengklaim, MSL dibentuk oleh karyawan yang tak bertanggung jawab. Pada Mei, raksasa kertas itu mengatakan,  akan menyewa perusahaan auditor besar untuk “melihat kepemilikan saham dari semua bisnis kehutanan di Indonesia untuk menentukan apakah ada karyawan APP yang terlibat dalam bisnis yang menimbulkan konflik kepentingan.” APP masih berniat audit, kata Sritaba menulis dalam email.

Sementara itu, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan transparansi. Pada Maret, Presiden Indonesia Joko Widodo mengeluarkan keputusan yang mewajibkan perusahaan mengungkapkan kepemilikan  mereka dalam waktu satu tahun.

“Harapannya, itu dapat ditegakkan, setiap entitas akan menyatakan kepemilikan usahanya,” Sulistyanto, Wakil Kepala Biro Pencegahan KPK, kepada Mongabay.

Dalam kasus APP, Rusmadya dari Greenpeace,  lebih skeptis. “Ini bukan mengenai perusahaan yang siap memulai dalam perang melawan deforestasi,” katanya.

“Mereka tidak transparan.”

 

 

***

 

Kontribusi data dan informasi juga dari Aseanty Pahlevi dan terjemahan berita oleh Akita Arum Verselita.

 

Berita awal bisa dilihat di Mongabay.com

 

 

Keterangan foto utama: Orangutan kalimantan yang nasibnya harus kita perhatikan karena hutan tempat hidupnya kian tergerus. Foto: BOSF/Indrayana

 

 

 

Exit mobile version