Mongabay.co.id

2 Anak Orangutan Sumatera Ditemukan Mati di Pusat Pengamatan Bukit Lawang

Orangutan sumatera yang hidup di Ketambe saat ini sedng disurvei kembali, data sebelumnya menunjukkan 50 individu. Foto atas (survei populasi orangutan) dan bawah (orangutan): Junaidi Hanafiah

 

Kabar duka datang dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di kawasan ekowisata Bukit Lawang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Dua anak orangutan sumatera yang ada di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera (PPOS) Bukit Lawang ditemukan mati. Satu individu yang berusia tiga tahun, berdasarkan hasil nekropsi, di sekitar lehernya didapati gumpalan darah beku akibat taring atau benturan benda tumpul.

Kematian satwa dilindungi ini diketahui berdasarkan laporan Himpunan Pariwisata Indonesia (HPI) kepada petugas Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bukit Lawang Balai Besar TNGL, akhir Juni 2018.

Adhi Nurul Hadi, Kepala Bidang Teknis BBTNGL, Rabu (11/7/18), mengatakan setelah dilakukan nekropsi petugas mengubur bangkai tersebut di sekitar Visitor Center Bukit Lawang jam 18.45 WIB. “PPOS merupakan pusat rehabilitasi orangutan hasil sitaan maupun konflik dengan masyarakat. Ada dua kelompok di sini, orangutan hasil evakuasi dan orangutan liar yang memang ada di Bukit Lawang,” jelasnya.

PPOS telah merehabilitasi 17 individu orangutan. Namun sekarang, rehabilitasi tidak dilaksanakan lagi, prioritas konservasi orangutan dilakukan berupa pengamanan dan menghindari kontak langsung dengan manusia, termasuk pemberian pakan oleh pengunjung. “Bersama sejumlah mitra dilakukan juga pencegahan potensi konflik dengan pengkayaan pakan orangutan,” jelasnya.

 

Orangutan sumatera yang hidup di Stasiun Riset Ketambe. Data sebelumnya menunjukkan ada 50 individu yang hidup di sini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Yenny Saraswati, dokter hewan SOCP mengatakan, hasil nekropsi menunjukkan sudah terjadi pembusukan lebih dari 24 jam terhadap anak orangutan bernama Jeky ini. Ada bekas luka dada depan yang terjadi akibat benturan benda keras serta kekosongan pada usus dan lambung. “Kami tidak menemukan penyebab pasti karena bangkai sudah membusuk. Tidak ditemukan juga bekas peluru yang bersarang,” jelasnya.

Untuk merehabilitasi orangutan, butuh waktu tahunan. Jeky adalah orangutan yang masih tahap rehabilitasi, belum bisa lepas ketergantungan dari manusia dalam hal mendapatkan makanan. “Di Bukit Lawang, Jeky dan orangutan lainnya akan sulit berkembang jika pengunjung melanggar aturan dengan memberi makanan,” paparnya.

Palbert Turnip, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah V Bukit Lawang, BBTNGL, mengatakan dugaan kuat, Jeky mati akibat disingkirkan orangutan jantan dewsa yang akan melakukan reproduksi dengan induk betinanya. Itu dugaan mengapa ada lebam di lehernya. Ini proses alami, sebab tidak ada luka lain. Sedangkan satu individu yang mati kemungkinan terjatuh dari pohon.

“Di PPOS, ada tujuh anakan orangutan yang lahir, dua di antaranya mati. Observasi lapangan akan terus dilakukan untuk mengetahui apakah ada perubahan perilaku,” jelasnya.

 

Inilah anak orangutan sumatera yang mati di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera di TNGL Bukit Lawang. Diperkirakan, ia jatuh terlepas dari induknya. Foto sengaja diberi efek blur. Sumber foto: Dok.BBTNGL

 

Potensi penyakit

Panut Hadisiswoyo, Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC) mengatakan, penerimaan orangutan sitaan di Bukit Lawang hanya sampai 2002. Total, 226 individu yang direhabilitasi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 49 individu ditemukan mati. Artinya, saat rehabilitasi orangutan harus beradaptasi dengan lokasi baru.

“Tetapi sekarang tidak lagi. Begitu masuk karantina, pemeriksaan kesehatan dilakukan, kemudian menjalani proses habituasi dan belajar untuk hidup liar sebelum dilepasliarkan ke hutan,” jelasnya.

Panut menjelaskan, antara tahun 1988 hingga 2009 ditemukan 56 persen bayi yang lahir di lokasi rehabilitasi mati sebelum usia tiga tahun. Namun, ini bukan hal mengejutkan karena di beberapa wilayah rehabilitasi orangutan terjadi hal serupa. “Di Bukit Lawang ada kegiatan wisata, sehingga OIC mendorong pihak managemen untuk hati-hati. Ini terkait penyebaran penyakit, menularkan atau tertular, dari manusia ke hewan atau sebaliknya.”

 

Induk dan anak orangutan sumatera di Pusat Pengamatan Orangutan Sumatera di TNGL Bukit Lawang ini masih berinteraksi dengan pengunjung yang memberikannya makanan walau sadah dilarang. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Data OIC, rata-rata kunjungan wisata ke Bukit Lawang sekitar lima hingga tujuh ribu wisatawan setiap tahunnya, khusus untuk melihat orangutan di Bukit Lawang. Ini memiliki nilai ekonomi penting untuk konservasi, tetapi juga bisa menimbulkan penyakit. “Intinya, BBTNGL harus membuat aturan ketat dan tegas, jangan sampai ada kerugian konservasi,” urai Panut.

 

 

Berdasarkan data survei BBTNGL 2009, populasi orangutan sumatera di TNGL diperkirakan sebanyak 3.000 individu. Mengapa populasinya tidak cepat meningkat?

Joko Iswanto, Pelaksana Harian (PLH) Kepala BBTNGL mengatakan, beberapa faktor penyebabnya karena individu orangutan mencapai usia dewasa sekitar 6-7 tahun. Selama orangutan belum dewasa, ia masih dalam penjagaan induknya, sehingga pejantan yang merupakan pasangan induknya biasanya akan menyingkirkan anak orangutan dengan alasan untuk dikawini lagi. Ada anggapan pesaing.

Selama hidupnya, induk orangutan hanya bisa beranak tiga kali, dan hanya indukan orangutan dengan bobot besar yang mampu menjaga anaknya hingga dewasa dari gangguan orangutan pejantan dan lainnya. “Konservasi satwa liar, khususnya orangutan sumatera, menjadi tanggung jawab seluruh pihak, dalam hal ini Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser beserta mitra dan masyarakat,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version