Mongabay.co.id

Ini Terumbu Karang Buatan Ramah Lingkungan & Murah dari Tempurung Kelapa

Degradasi terumbu karang umumnya terjadi akibat ulah manusia. Praktik pengambilan ikan yang merusak, seperti pengeboman dan sianida menjadi sebab masifnya kerusakan karang yang terjadi. Padahal terumbu karang adalah ekosistem penting yang menjadi lumbung pangan biota perairan. Karang pun berperan dalam fungsi pelindung fisik perairan, penyedia nutrien, tempat memijah ikan, hingga tempat bermain dan tempat asuhan seluruh biota di dalamnya.

Simple, but useful.” Pemikiran ini terbesit saat penulis mencoba mencari cara untuk merestorasi terumbu karang yang terlanjur rusak. Inisiatif ini juga ditujukan untuk mendukung program Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mencapai target konservasi, yaitu melindungi 30% habitat kritis, mengurangi laju degradasi habitat, serta konservasi dan pengelolaan spesies yang terancam punah.

Bagi penulis sendiri, gagasan restorasi lewat implementasi terumbu karang buatan bermula pada tahun 2008. Saat itu, penulis melihat terumbu karang berbahan utama keramik berbentuk cakram yang ditenggelamkan di perairan Pulau Bunaken, Sulawesi Utara oleh seorang Profesor dari Tokyo University. Meski demikian, menurut hemat penulis, kelemahan dari metode itu adalah bahan bakunya relatif susah ditemui dan sulit dibuat. Sesuai dengan konteks Indonesia, bahan-bahan restorasi karang yang ideal haruslah berupa material murah, mudah didapat, dan tersedia dari alam.

Pemikiran ini mengarahkan penulis untuk memanfaatkan bahan substrat tempurung kelapa yang kemudian diberi nama bioreeftek. Adapun temuan karya asli anak bangsa ini telah mendapatkan hak paten bernomor ID S0001231 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI pada tanggal 21 Desember 2012.

baca : Waspadai Aktivitas Wisata Ini yang Merusak Terumbu Karang di Bali. Apa Itu?

 

Teknologi bioreeftek telah memperoleh beragam penghargaan dari beberapa pihak dan paten dari Kemenkumham. Foto : E.E. Ampou

 

Dari sisi etimologisnya, bioreeftek berasal dari 3 suku kata. Bio = hidup, reef = terumbu, dan tek = teknologi. Bahan baku utama teknologi terumbu buatan bioreeftek berasal dari bahan alami, yaitu tempurung kelapa. Kelapa dipilih karena pohon ini banyak tersebar di kawasan pesisir Indonesia. Dengan demikian, bioreeftek bersifat non destruktif, serta sangat mudah diaplikasikan atau diadopsi oleh masyarakat lokal dengan biaya murah jika dibandingkan dengan jenis-jenis terumbu karang buatan lainnya.

Secara fungsi, bioreeftek merupakan substrat yang akan merekrut larva planula karang secara alami (melalui proses reproduksi seksual). Setelah larva menempel pada substrat, lalu dilakukan upaya pemindahan ke lokasi ekosistem terumbu karang yang persentase terumbu karangnya relatif rendah, seperti bekas lokasi pengeboman ikan. Relokasi dilakukan dari tempurung kelapa bermedia dasar bioreeftek ke tempurung kelapa yang baru. Dalam upaya ini, penting untuk melakukan survei penentuan lokasi penempatan media bioreeftek tersebut.

Adapun untuk kegiatan monitoring bioreeftek, dilakukan pengamatan dengan sensus visual secara periodik setiap 3 atau 6 bulan sekali. Kamera atau video bawah air digunakan untuk mendokumentasikan pertumbuhan dan perkembangan larva planula yang menempel pada media bioreeftek dari waktu ke waktu.

baca : Bagaimana Kesehatan Terumbu Karang di Perairan Nusa Penida Bali?

 

Dalam rangka memperingati Hari Bumi 2018, sebanyak 15 unit bioreeftek ditenggelamkan pada kedalaman 8 meter di Pantai Penimbangan, Singaraja, Buleleng, Bali. Foto: E.E. Ampou

 

Teknologi terumbu buatan bioreeftek saat ini telah diaplikasikan dan diadopsi oleh berbagai pihak untuk kegiatan rehabilitasi dan konservasi terumbu karang di Indonesia, di antaranya:

baca juga : Kelompok Ini Sukses Tumbuhkan Kembali Terumbu Karang. Bagaimana Ceritanya?

 

Bioreeftek, terumbu karang buatan dari tempurung kelapa yang telah ditumbuhi karang keras saat dimonitoring pada Maret 2018 di perairan dekat Adirama Beach Hotel, Pantai Lovina, Buleleng, Bali. Bioreeftek itu ditenggelamkan pada 2014. Foto: E.E. Ampou

 

Bioreeftek di Lovina, Buleleng, Bali

Pada kesempatan ini penulis akan mengulas secara singkat hasil monitoring bioreeftek pada tanggal 14 Maret 2018 di Pantai Lovina. Lokasi bioreeftek tersebut berdekatan dengan Adirama Beach Hotel yang peduli terhadap ekosistem terumbu karang.

Sejak tahun 2014, bioreeftek telah ditenggelamkan lewat kegiatan Iptekmas (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk Masyarakat) di Provinsi Bali. Kegiatan ini melibatkan pemangku kepentingan daerah serta pemerhati lingkungan lokal, antara lain: tenaga penyuluh lapangan-KKP, Universitas Pendidikan Ganesha (Undhiksa) Singaraja,  Kelompok Pecinta Lingkungan Nak Buleleng Maritime Squad-NMS, dan True Scuba Dive Center. Penulis didampingi oleh Gede Iwan Setiabudi, M.Si (staf dosen Undhiksa), dan I Putu Mangku Mariasa (PADI-SCUBA Instructor) beserta tim.

Monitoring tersebut memperoleh hasil yaitu karang dominan yang menempel pada 14 unit bioreeftek merupakan jenis Acropora digitata (ACD), atau biasa dikenal dengan istilah life form.

menarik dibaca :  Kondisi Terumbu Karang di Bali Utara Makin Membaik

 

Bioreeftek, terumbu karang buatan dari tempurung kelapa yang telah ditumbuhi karang keras saat dimonitoring pada Maret 2018 di perairan dekat Adirama Beach Hotel, Pantai Lovina, Buleleng, Bali. Bioreeftek itu ditenggelamkan pada 2014. Foto: E.E. Ampou

 

Lebih dari 60 persennya terdiri dari jenis Montipora sp., Pocillopora damicornis, Acropora humilis, Porites sp dan Acropora sp. Sedangkan 40% sisanya adalah Acropora submassive (ACS) = Isopora/Acropora palivera; Coral massive (CM) = Porites sp, Platygyra sp & Pavona sp; Coral Millepora (CME); Alga hijau = Halimeda sp; serta kategori lainnya Other (OT) = Sponge dan Ascidian.

Penulis berharap teknologi bioreeftek akan dapat memberikan wacana tersendiri kepada konservasi terumbu karang di Indonesia. Bioreeftek diharapkan akan menjadi model penting rehabilitasi terumbu karang, dengan biaya yang relatif murah dan bersifat ramah lingkungan.

 

*Eghbert Elvan Ampou, Ph.D, penulis adalah peneliti pada tim penelitian Dinamika Pesisir di Balai Riset dan Observasi Laut, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Negara, Jembrana, Bali, Indonesia. http://bpol.litbang.kkp.go.id/

 

 

Exit mobile version