Mongabay.co.id

Pembangunan Kota yang Tak Selalu Indah di Mata

 

Kamis sore, di kolong jembatan Taman Sari, sekelompok anak muda duduk manis menghadap jembatan yang telah difungsikan sejak 2005. Pandangan mereka lepas tanpa halangan. Bara konflik masih merekah di Taman Sari, Kecamatan Bandung Wetan, Bandung ini.

Masyarakat pernah digiring untuk segera pindah. Alasannya, Pemkot Bandung mengklaim kuasa atas lahan tersebut yang rencananya akan dibangun proyek rumah deret demi penataan kota. Lahan yang puluhan tahun diabaikan yang kemudian ditinggali masyarakat hingga beranak-pinak. Rumah masyarakat pun rata dengan tanah.

Hingga kini, masyarakat Taman Sari tetap melawan. Teguhnya sikap itu tergambar pada mural sindiran dan kritikan kepada pemerintah. Mereka menilai, keadilan adalah kata yang paling sulit di mengerti di kehidupan ini.

Dari balik tembok roboh terdengar suara polos seorang anak membacakan puisi karya Wijhi Tukhul. “Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki tumbuh. Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah.”

 

Warga Taman Sari yang tetap melawan pembangunan rumah deret yang menggusur kehidupan mereka. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menurut Eva Eryani yang sudah 48 tahun tinggal di Taman Sari, isu pembanguanan rumah deret merupakan rencana lama. Setidaknya, setelah pengerjaan jembatan Pasupati selesai. Pembanguan rumah deret dicanangkan, tujuannya adalah estetika kota.

“Rencana (rumah deret) bukan hal baru. Kami ingin membuktikan kebenaran, ada aturan tidak asal gusur. Kami mengambil sikap tidak mau diperlakukan demikian,” jelasnya.

Kasus ini bergulir ke meja Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Di sini ada hak kami yang diperjuangkan. Ada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar Pokok Pokok Agraria. Kami diminta pindah begitu saja, tanpa bukti kuat atas kuasa lahan,” lanjut Eva, baru-baru ini.

 

Mural kritikan warga dibuat sebagai bentuk sindiran pembangunan yang tidak memperhatikan kehidupan warga Taman Sari. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Perlawanan dan solidaritas

Hari makin sore. Lampu-lampu rumah mulai dinyalakan, tetapi hanya 16 rumah yang terlihat. Prabowo Setyadi, pemilik satu dari sejumlah rumah itu, sibuk memajang foto-foto keluarga pada tembok rumah tersisanya.

Dengan tema “Kami Bahagia, Kami Bertahan” Bowo sapaan akrabnya, jeli merekam kegigihan warga memperjuangkan tanah dan rumah mereka.

 

Potret kehidupan warga yang ditunjukkan Prabowo Setyadi, warga Taman Sari yang masih bertahan. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ada 60 foto ditampilkan, sebagai bagian peringatan satu tahun Taman Sari Melawan. Hasil jepretannya itu, seperti mengusik memori kebahagian dan kehangatan keluarga yang telah tercipta, lalu dipaksa berpisah untuk alasan pembangunan.

 

Pembangunan yang menyisakan potret kebahagian masyarakat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Dikatakan dia, pameran ini sebagai sikap kritis terhadap pemerintah yang memperlakukan rakyatnya tanpa sandaran aspek kemanusiaan. Padahal, Pemkot Bandung mengklaim, indeks kebahagian sudah mencapai 80 persen dan tertinggi skala nasioal.

“Justru perlu dipertanyakan indeks kebahagian itu. Bagaimanapun, tidak bisa dibenarkan merampas hak rakyat,” jelas fotografer freelance ini.

 

Sebagian warga masih menyimpan bara perlawanan atas penggusuran rumah mereka. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Menuju pembangunan keliru

Sesungguhnya, rencana tata ruang Bandung pertama kali dibuat tahun 1825. Plan der Nagorij atau tata ruang Bandung selesai 15 tahun setelah Daendels memerintahkan pemindahan Kota Bandung ke bagian utara sejauh 11 kilometer. Dengan maksud, diapit Jalan Raya Pos dan Sungai Cikapundung.

Kota berjuluk Paris Van Java ini berbenah diri sejak 1915. Bangunan-bangunan monumental didirikan, misalnya Gedung Sate (1920), Technische Hoogeschool sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (1920), dan Artilerie Inrichtingen (1922) atau PT. Pindad. Bandung pernah diusulkan menjadi ibu kota Hidia Belanda sekitar abad ke-20.

 

Sisa puing perumahan warga Taman Sari yang terlihat dari rencana penataan kota di Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Berikutnya, pada 1930, Thomas Karsten membangun Bandung dengan konsep “Kota Taman” atau Garden City. Dia pula yang mendesain Bandung hanya untuk menampung 750.000 penduduk dalam jangka waktu 25 tahun ke depan. Ditambah udara Bandung yang sejuk dan asri.

Semisal kawasan Braga, karena indahnya, dijuluki De meest Eropeesche Winkelstraat van Indie atau kompleks pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda. Ataupun sisi-sisi lain Kota Bandung masa itu.

 

Hanya sekitar 16 rumah yang bertahan di Taman Sari dari rencana penataan kota untuk pembangunan rumah deret. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Namun, tengok lah Bandung kini. Taman-taman yang membuat Bandung terkenal sebagai Kota Taman hampir tak ada jejaknya lagi: Taman Ganesha, Maluku, dan Cilaki. Taman Sari, yang dulu lapang, kini dipenuhi rumah. Saat ini, taman-taman itu hanya berlebel tematik.

Pertumbuhan kota yang merangsek ke utara, menyebabkan area resapan air berkurang. Bahkan, pertumbuhan lebih tak padat terlihat di Bandung selatan. Perumahan baru mengonversi lahan pertanian, tanpa disertai drainase memadai membuat daerah ini sering banjir.

 

Warga Taman Sari membawa kasus penggusuran wilayahnya ini ke PTUN Bandung. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Bandung yang baru dibuat dan direncanakan, hanya melayani 2,9 juta jiwa pada 2013. Rencananya, pusat kota baru itu berada di kawasan Bandung timur, yang sebagian kondisinya berupa lahan pertanian produktif.

“Dalam prosesnya, RTRW terus diubah mengikuti kepentingan pemodal,” ujar Dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB Denny Zulkaidi saat dihubungi terpisah.

 

 

Exit mobile version