Mongabay.co.id

Inpres Moratorium Sawit Makin Tak Jelas, Pemerintah Tak Serius?

Hutan hancur, berganti kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

April 2016. Ya, bulan itu, Presiden Joko Widodo, melontarkan rencana membuat kebijakan menyetop sementara (moratorium) izin perkebunan sawit dan batubara. Belakangan, moratorium sawit jadi fokus, setelah itu katanya bakal lanjut ke batubara. Beberapa kali, pernyataan dari pemerintah bilang, segera terbit, target terbit bulan ini, bulan itu. Berulang-ulang, kata segera dan rencana terbit,  keluar. Nyatanya, sudah memasuki akhir Juli 2018, masih juga belum ada kejelasan soal aturan yang akan berbentuk Instruksi Presiden ini.

Baca juga: Menanti Moratorium Sawit, Berikut Alasan Mengapa Kebijakan Ini Urgen

Kalangan organisasi masyarakat sipil pun mempertanyakan keseriusan pemerintah melakukan perbaikan dan pembenahan tata kelola kebun sawit.

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch di Bogor,  mengatakan, Inpres Moratorium izin sawit ini sangat penting.

Data Sawit Watch, luas perkebunan sawit di Indonesia sudah sekitar 20 juta hektar. Angka ini, yang baru terverifikasi, belum ditambah data yang belum terverifikasi, bisa sampai 23 juta hektar!

“Dengan luas itu,  belum optimal. Kita mendorong setop dulu izin baru dan perbaikan tata kelola perkebunan, agar produktivitas lebih bagus,” katanya, baru-baru ini.

Sawit Watch, katanya, menekankan perbaikan tata kelola perkebunan sawit agar lebih berkelanjutan, baik sisi sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan.

Baca juga: Aturan Moratorium Sawit Bakal Terbit September?

Berbagai organisasi masyarakat sipil, katanya,  beberapa kali diskusi membahas draf Inpres ini. Kalangan aktivis juga membuat “draf tandingan” inpres moratorium sawit.

Dia berharap, ketika inpres keluar, draf yang dibuat koalisi masyarakat sipil bisa jadi acuan guna melihat dan memantau inpres ini.

“Itu ke depan ingin kita lakukan. Jadi organisasi masyarakat sipil terlibat aktif dalam memastikan inpres jalan,” katanya, seraya bilang, walau hingga kini belum ada kejelasan soal inpres ini.

Dia mendesak, inpres sawit segera terbit.

Baca juga: Apa Kabar Kebijakan Moratorium Sawit?

Arie Rompas, aktivis Greenpeace Indonesia mengatakan, moratorium sawit sudah lama, dan jalan cukup lama.  Sudahlah lama, katanya, aturan berupa inpres ini tak akan kuat mendorong perbaikan tata kelola.

“Padahal,  moratorium itu kan harusnya dua tahun-lah, setelah moratorium, masuk proses perbaikan tata kelola. Baik konflik sosial, penegakan hukum, termasuk produktivitas. Sampai sekarang, inpres ini  juga tak ada kabar,” katanya.

Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB)  mengatakan, moratorium merupakan bagian instrumen perbaikan tata kelola. Perlu diingat, katanya, terpenting proses atau agenda perbaikan tata kelola pasca penetapan inpres.

“Perubahan tata kelola jadi agenda tersendiri di luar mendorong terbitnya Inpres Moratorium.”

Moratorium,  bersifat penundaan memiliki jangka waktu berakhir. Untuk itu,  perlu penekanan ada program prioritas guna memastikan perbaikan tata kelola berjalan dalam inpres ini.

Hariadi bilang, Inpres Moratorium masih banyak kelemahan. Jadi perlu memetakan problem ini kembali hingga dapat melihat bentuk kebijakan apa yang paling tepat didorong di luar usaha inpres. “Jangan sampai terjebak pada momen menunggu Inpres Moratorium.”

Menurut dia, perlu masuk dalam policy brief mengenai tolak ukur moratorium. “Bukan hanya patokan waktu lama moratorium melainkan hal berkenaan dengan perbaikan tata kelola yang perlu evaluasi.”

Hariadi menduga, penerbitan Inpres lambat bukan semata-mata karena perihal administratif melainkan ada kepentingan politis.

“Dari sudut pandang pengusaha perbaikan tata kelola perkebunan sawit justru merugikan mereka. Mereka menolak dibenahi serta menolak moratorium itu.”

Abetnego Tarigan, Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan, sawit jadi nomor satu baik luasan dan maupun produksi. Tak dipungkiri, katanya, sejumlah permasalahan seperti produktivitas, replanting petani, konflik, tumpang tindih, deforestasi, dan ketimpangan penguasaan lahan antara grup besar dan masyarakat.

“Memang sejak dari awal, cara berpikir presiden telah memberikan arahan bahwa sektor perkebunan diarahkan pada peningkatan produktivitas dan pengembangan industri hilir. Dalam beberapa kesempatan, soal isu produktivitas sawit, secara simbolik presiden hadir dalam replanting sawit, misal.”

Soal rancangan Inpres Moratorium, katanya, sudah diajukan kepada presiden. Sejumlah kementerian terlibat sudah setuju dan membubuhkan paraf.

“Diharapkan dalam waktu dekat dapat ditandatangani presiden. Perlu dipikirkan pasca inpres, karena kebijakan ini perlu pengawalan. Pengawalan tak bisa diberikan pada institusi pemerintah. Bagaimana memantau prosesnya nanti.”

 

Keterngan foto utama: Hutan hancur, berganti kebun sawit. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version