Mongabay.co.id

Mengenal Kampung Wisata Sungai Code

Pengunjung Pasar Papringan berjalan menyusuri jalan trasah di kebun bambu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Kampung di Bantaran Sungai Code, di bawah Jembatan Sarjito, Yogyakarta, terus berbenah. Sejumlah polibag berbunga warna warni kini menghiasai jalanan kampung.

Ada taman kecil dekat sebuah warung angkringan. “Welcome to Kampung Code Riverside.” Begitu bunyi plang tertera di bagian depan.

Kandang burung berukuran besar berisi jalak uren, merbah cerukcuk, dan gelatik Jawa dibangun di bawah jembatan. Burung-burung itu bisa terbang dalam jarak pendek di dalam kandang, dan hinggap di pohon yang tumbuh di sana. Suaranya meningkahi deru kendaraan yang lalu lalang di atas kandang.

“Kita masih perlu memperbaiki dan mempercantik rute tracking karena baru beberapa ruas yang rindang dan hijau. Mungkin baru 40% greenary dan ada bunga. Masuk ke Gondolayu ke utara hampir tak ada pohon perindang,” kata Totok Pratopo, dihubungi Mongabay, Kamis, (12/7/18).

Totok adalah inisiator dan pegiat Pemerti Code, kelompok pelestari Sungai Code berbasis budaya. Pemerti Code dibentuk November 2009, menghimpun anggota masyarakat di tepian sungai yang punya kepedulian akan kelestarian sungai ini. Pria ini penerima penghargaan Kalpataru 2015 kategori pembina lingkungan juga mantan Ketua RW/07 Jetisharjo.

Dia juga mengembangkan Kampung Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis, Yogyakarta.  Di bantaran Sungai Code itu jadi kampung wisata.

“Saya sebenarnya sudah lama menanam tanaman keras. Saat ada isu angin ribut, pemerintah justru menyarankan tak menanam atau merekomendasikan ditebang. Itukan repot.”

Pohon yang ditanam gayam, ketapang, dan jambu air. Jadi tetap ada tanaman peneduh.  “Memakai tanaman keras musuhnya warga sendiri juga.”

 

 

Magnet wisatawan

Pengelolaan lingkungan agar tetap lestari bisa ditempuh lewat pendekatan kreatif sektor ekowisata. Sungai Code, berupa sungai membelah Kota Yogyakarta, cukup diminati wisatawan. Mereka tertarik menyusuri sungai, blusukan di kampung pinggiran kali, bahkan menginap di sana.

“Sekolah sungai dan jelajah Kampung Code paket yang kita buat. Menempuh jarak tiga kilometer, membutuhkan waktu sekitar 100 menit,” kata Totok.

Dia diundang jadi pembicara dalam diskusi dan buka bersama yang diselenggarakan Mongabay bekerja sama dengan Harian Jogja, Selasa, 12 Juni lalu. Penulis jadi pembicara pembanding. Diskusi berlangsung di Kantor Harian Jogja bertema “Pariwisata untuk Menjaga Lingkungan dan Memakmurkan Warga.”

Menurut Totok, tahun lalu kunjungan wisata ke Sungai Code ada 2.700 orang. Umumnya, mahasiswa, pegawai pemerintahan daerah, dan peneliti.

Homestay di Kampung Code Jetisharjo ada enam buah. Sejauh ini jumlah tamu menginap 120 orang, baik wisatawan domestik maupun asing.”

 

Lingkungan di Bantaran Sungai Code di Jetisharjo terlihat rapi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Diapun menerangkan paket-paket wisata andalan itu.

“Sekolah sungai itu lebih ke edukasi. Kalau mereka menghendaki kurikulum yang lengkap, termasuk jelajah sungai. Biasa yang menghendaki fieldtrip kita ajak jelajah. Untuk yang serius termasuk jelajah sungai kita tawarkan menginap dua sampai tiga hari.”

Peminat paket Sekolah Sungai, jika dari pemerintah daerah atau aktivis, diberikan lengkap tiga hari. Peserta mendapat materi teoritis dan praktis.

“Kami sediakan homestay. Kalau lengkap satu hari penuh di kelas, memanfaatkan Aula Masjid Assalam. Dua hari ke lapangan termasusk tracking.”

 

Akses air bersih

Materi di kelas, misal, tentang pengelolaan sungai ekologis, berbasis ekosistem. Tentang regulasi sungai, menyangkut masalah peraturan daerah, UU Sungai. Berikutnya tentang kebencanaan berbasis metereohidrologi. Pemateri, katanya,  dari akademisi.

“Di lapangan nanti kita tunjukkan sistem pengelolaan mata air yang berbasis masyarakat. Kami ada tiga praktik baik tentang pengelolaan air bersih skala kampung,” katanya.

Di sana,  ada sumber mata air yang sejak lama dimanfaatkan warga sekitar bantaran sungai di Cokrokusuman dan Jetisharjo. Untuk mandi dan keperluan lain warga dalam bentuk pancuran, belik, atau sendang. Bahkan, katanya,  ada mata air yang punya sejarah dipakai putri-putri keraton untuk mandi. Nama tempat itu jadi Jetis Pasiraman, atau tempat mandi.

“Dulu tempat mandi terbuka, sekarang tidak. Orang banyak lalu lalang, hingga secara etika dan estetika tak mungkin terbuka. Mata air itu dikelola. Kita tampung, dipompa, dinaikkan, lalu didistribusikan ke rumah-rumah penduduk.”

Di Kampung Jetisharjo,  sudah bisa melayani 152 rumah, dengan memanfaatkan tiga titik sumber. Debit kurang lebih enam liter per detik.

“Secara teoritik satu liter per detik bisa untuk 1.000 jiwa. Sementara ini enam liter per detik itu bisa melayani 152 rumah. Dalam satu rumah kadang-kadang ada dua sampai tiga keluarga.”

Selain pemanfaatan mata air, wisatawan juga dikenalkan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Mulai dari pemilahan sampah, hingga pengomposan. Lalu model-model penanganan kebencanaan, seperti sistem peringatan dini, evakuasi, dan bagaimana inisiatif masyarakat membangun dapur umum. Kegiatan ini melibatkan warga sekitar. Di bantaran Sungai Code ada beberapa Kampung Tangguh Bencana dilibatkan.

Paket tawaran mereka, katanya, masih jelajah kampung, belum mengeksplorasi badan sungai. “Belum ke palung sungai, tubing dan rafting. Belum berani.”

Penyebabnya, kata Totok, sebagian warga masih membuang limbah ke sungai lewat pipa. Selain itu,  ada saja warga membuang limbah lewat saluran air hujan (SAH).

Mereka, katanya, belum punya solusi karena perlu peran pemerintah. Pertama, karena beberapa instalasi pengolah air limbah (IPAL) di pinggiran sungai dengan kapasitas terbatas. Kedua, tak banyak ruang bisa dibangun hingga masalah ini masih memerlukan pembahasan intens.

 

Pengunjung Pasar Papringan Ngadiprono melewati peneduh dari anyaman bambu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Sekolah Sungai

Bersebelahan dengan wilayahnya, di RW/06, sebuah lembaga swadaya masyarakat menyelenggarakan pengajaran bernama sama, “Sekolah Sungai.”

Project Child Indonesia menginisiasi Sekolah Sungai di Code sejak 2015. Program ini menyasar anak-anak TK hingga SD.

Ada sekitar 40 anak terlibat. Sifatnya sukarela,  si anak bisa datang atau tidak ke Sekolah Sungai, asal memberitahu ke pengasuh. Kelas diadakan seminggu sekali di setiap Rabu, empat kali dalam sebulan. Jam pertemuan sore hari setelah sekolah. Lokasi di rumah warga.

“Warga sangat kolaboratif. Mereka mempersilakan kita menggunakan rumahnya,” kata Surayah Ryha, pendiri Project Child Indonesia.

Daya tarik Sungai Code untuk wisata juga menggugah inisiatif warga lain di sana. Surayah, menerangkan, kegiatannya beberapa kali bersinggungan dengan wisata di Code. Mereka selalu bekerja sama dengan warga bantaran sungai.

“Kalau wisata, kita banyak kerjasama denga Ketua RW/06, seperti mancing bareng. Itu event tahunan, mereka punya ide untuk mengubah kampung menjadi kampung wisata. Kita sudah kedatangan tamu dua tahun berturut-turut,” kata Aya, panggilan akrabnya, kepada Mongabay, Kamis, (12/7/18).

Para wisatawan itu menginap di Kampung Code, RW/06. Rombongan berjumlah sekitar 20 orang, datang dan menginap di rumah-rumah warga belajar kearifan lokal masyarakat Code.

“Ada pelajaran bahasa Inggris praktis untuk ibu-ibu. Juga apa saja hal dasar yang harus dipersiapkan di rumah, untuk menyambut tamu.”

Menurut Aya, tahun depan rombongan Princeton University dari Amerika tertarik menginap. “Itu akan kita buat sebagai event tahunan di Code, di RW sama, di Kelurahan Jetisharjo.”

 

Keterangan foto utama: Pengunjung Pasar Papringan berjalan menyusuri jalan trasah di kebun bambu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Seorang pengunjung menikmati makanan tradisional yang dijajakan Pasar Papringan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version