Mongabay.co.id

Para Ahli Hukum Angkat Bicara Soal Kasus Kallista Alam

Sisa-sisa hutan yang terbakar di konsesi PT Kalista Alam, seluas 1.605 hektar. Foto: Chik Rini/ Mongabay Indonesia

 

Para pengajar hukum di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta,  menyampaikan keprihatinan atas pengabulan gugatan perusahaan sawit,  PT Kallista Alam,  terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh April lalu. Mereka merasa aneh dan tak habis pikir dengan putusan hakim yang menyidangkan kembali perkara sudah putus di Mahkamah Agung.

Baca juga: Kasus Pembakar Rawa Tripa: Aneh, Pengadilan Negeri Meulaboh Batalkan Putusan Mahkamah Agung

Hasrul Halili,  pengajar Hukum Acara Universitas Gadjah Mada (UGM) kepada Mongabay mengatakan, mengabulkan gugatan baru dengan substansi perkara sama merupakan upaya penyelundupan hukum yang bertentangan dengan semangat pelestarian lingkungan hidup.

Sebelumnya,  perusahaan sudah putus bersalah sampai Mahkamah Agung (MA) hingga terbukti melawan hukum karena pembukaan lahan dengan membakar dan berdampak pada lingkungan.

“Seharusnya,  hakim punya semangat penegakan hukum bidang lingkungan dan kelestarian alam,” katanya.

Pengadilan Meulaboh, katanya, tak mengikuti tren positif semangat negara dalam penegakan hukum lingkungan. Hal ini,  melawan hukum acara dan pidana.

BacaTidak Terima Putusan Pengadilan, PT Kallista Alam Balik Gugat Pemerintah

Dia tak habis pikir, ada putusan hakim menyidangkan kembali perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap MA.

“Putusan hakim PN ini tidak memperhatikan unsur rasa keadilan masyarakat, namun mementingkan perusahaan,” katanya.

Laras Susanti, dosen Hukum Acara Perdata UGM mengatakan, putusan inkrah lalu masuk gugatan baru lagi dengan mempermainkan yurisprudensi tak menghilangkan pokok perkara. Dia mengharapkan, pada tingkat pengadilan tinggi hakim bisa menolak putusan.

Alasan hakim menerima gugatan Kallista masuk pakai yurisprudensi No 102K/Sip/1972, padahal dalam yurisprudensi 1226/K/Pdt/2001 menyatakan, walaupun kedudukan subyek berbeda tetapi obyek sama dengan perkara yang putus lebih dulu dan berkekuatan hukum tetap maka gugatan ne bis in idem (tak boleh gugatan kedua kali untuk perkara sama).

Baca: Eksekusi Kasus PT. Kallista Alam Tak Kunjung Dilakukan, Kenapa?

Laras bilang, gugatan Kallista jelas mengandung subyek hukum dan obyek sama, meskipun kedudukan subyek berbeda. “Seharusnya tidak diterima.”

Mahkamah Agung, katanya,  menolak permohonan kasasi Kallista. Dalam pertimbangan MA, putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 50/pdt/2014/PT. BNA menyatakan Kallista bersalah atas perbuatan melanggar hukum pembukaan lahan dengan pembakaran adalah tak bertentangan dengan hukum.

Putusan Pengadilan Tinggi itu, menguatkan PN Muelaboh Nomor 1164K/pdt/2014. Dalam putusan, pengadilan menghukum Kallista harus membayar ganti rugi materil Rp114, 303.419 miliar. Juga harus menghentikan pembukaan perkebunan sawit, pemulihan lingkungan hidup terhadap lahan terbakar sekitar 1.000 hektar dengan biaya Rp251, 765.250 miliar dan uang paksa Rp5 juta per hari atas keterlambatan melaksanakan putusan. Sita jaminan atas tanah dan bangunan milik Kallista. Kallista mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan MA.

“April 2017, MA menolak PK. Saat eksekusi belum dilaksanakan, Kallista mengajukan gugatan baru yang diputus dengan putusan Nomor 16.pdt.g/2017/PN MBO. Ini aneh,” kata Laras.

Dari awal, pengadilan menerima gugatan Kallista saja sudah keliru. “Kekeliruan sampai amar putusan,  tidak masuk akal.”

Kalau dianggap dua perkara berbeda, jadi heran karena amar putusan PN malah mencabut putusan MA, selaku putusan lebih tinggi.

“MA harus eksekusi putusan kasasi. MA juga harus mengkaji penggunaan yurisprudensi majelis hakim yang menyidangkan gugatan Kallista.”

I Gusti Agung Made Wardana, dosen Hukum Lingkungan UGM, mengatakan, sepanjang pengetahuan dalam penindakan perusahaan sawit pembakar hutan, baru kali ini ada perusahaan melawan dengan mengajukan gugatan baru meski sudah dihukum.

Baca juga: Desakan Publik Menguat, Kapan Eksekusi Kallista Alam Dilakukan?

Seharusnya, kata Agung,  putusan MA sudah eksekusi, namun ada celah kesalahan penulisan titik koordinat (lokasi), jadi pintu masuk mereka menyampaikan surat gugatan.

“Meski hanya menyampaikan letak lokasi yang menurutnya salah ketik dalam penulisan putusan oleh MA, bukan substansi yang jadi putusan batal.”

Dalam pokok perkara MA,  berdasarkan pelanggaran hukum pidana dan perdata yakni pembiaran pembukaan lahan dengan cara membakar. “Soal gugatan baru dengan kesalahan penulisan angka titik koordinat bukan termasuk obyek perkara, pembakaran hutan di konsesi itu pokok perkara.”

 

 

Setop Buka hutan untuk sawit

Hutan di Indonesia, terus terancam salah satu menjadi perkebunan sawit. Tjut Sugandawaty Djohan, pakar lingkungan UGM mendesak setop buka hutan untuk kebun sawit guna melindungi hutan tersisa hanya 33% (43 juta hektar) dari luas hutan 130 juta hektar.

“Di Sumatera, hutan tinggal 30%. Paling banyak berada di Aceh. Kerusakan hutan ini karena untuk sawit,” katanya.

Dia contohkan, Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, sekitar 60% sudah jadi kebun sawit. Peneliti ekologi dan konservasi dari Fakultas Biologi UGM ini mengatakan, tak mudah mengembalikan lahan perkebunan sawit jadi hutan.

Satu-satunya jalan, katanya,  menutup peluang pembukaan lahan untuk kebun sawit baru. Sikap dan tindakan tegas, katanya,  perlu dilakukan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dia mengapresiasi langkah Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, yang mengambil langkah tegas menyelamatkan kekayaan laut dengan melarang kapal-kapal asing mengambil ikan ilegal. Tjut berharap,  Siti meniru langkah serupa dalam bidang kehutanan.

Guru Besar Kehutanan UGM, Ahmad Maryudi mengatakan,  kondisi hutan dunia terus memburuk walaupun ada rezim kehutanan internasional mengatur mekanisme pengelolaan hutan dari level global dan nasional.

Katanya, meski banyak ragam aturan dan mekanisme berkenaan dengan pengelolaan hutan, faktanya hutan tidak makin membaik.

“Deforestasi terus terjadi. Bahkan, 10-13 juta hektar hutan dunia hilang setiap tahun. Belum lagi hutan terdegradasi,” katanya.

Deforestasi dan degradasi membuat hutan Indonesia makin berkurang. Deforestasi terparah terjadi rentang waktu 2000-2005, sekitar 1,8 juta hektar hutan hilang setiap tahun.

Kehutanan Indonesia, katanya, masih menghadapi tantangan persaingan dengan sektor pertanian, terutama perkebunan sawit. Ekspansi lahan sawit besar-besaran.

“Saat ini, ada 12 juta hektar sawit, ditargetkan bisa membuka lahan hingga 20 juta hektar,”kata Maryudi.

Beragam masalah muncul seputar kebun sawit, dari tumpang tindih regulasi antara kehutanan dan tata ruang, seperti di Riau dan Kalimantan Tengah,  belum ada padu serasi antara tata ruang kehutanan dengan tata ruang kedua provinsi itu.

Pemerintah, katanya, telah menunjukkan komitmen memperbaiki tata kelola hutan. Berbagai kebijakan perlindungan hutan keluar.

“Hanya pelaksanaan kebijakan acapkali kalah oleh tujuan pembangunan perekonomian yang berdampak pada kerusakan hutan.”

Dia menyarankan, penting sinergi dan kerja sama dari berbagai pihak dalam penyelamatan dan pengelolaan hutan. Individu dan masyarakat, katanya,  diharapkan meningkatkan kepedulian terhadap pengelolaan hutan yang terimplementasi dalam langkah nyata.

“Negara diharapkan tegas menegakkan peraturan perlindungan hutan dan melaksanakan kebijakan dalam program-program mendukung kelestarian hutan,” katanya,

 

Hutan gambut Tripa yang ada di areal konsesi PT. Kalista Alam. Foto : Yayasan Alam Lestari

 

Keterangan foto utama: Sisa-sisa hutan yang terbakar di konsesi PT Kalista Alam, seluas 1.605 hektar. Foto: Chik Rini/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version