Mongabay.co.id

Nasib Danau Malili Kini, Ikan Endemik pun Nyaris Hilang…

Tumpukan sampah di Dermaga Sorowako. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Komplek Danau Malili berusaha diperkenalkan sebagai salah satu destinasi wisata di Sulawesi Selatan. Faktanya, komplek danau itu sedang sekarat, beragam masalah mendera, dari sampah sampai sedimentasi. Ikan-ikan endemik pun nyaris hilang…

Bagaimana cara melihat kompleks danau itu? Dengan angkutan umum, bus selama 12 jam dari Makassar menuju Luwu Timur, wilayah paling timur Sulawesi Selatan. Bus berhenti tiga kali, sekali untuk buang air kecil, untuk makan, dan salat subuh.

Kala menapak kaki di terminal kota kecil bernama Sorowako, mata akan tertuju pada danau dengan air jernih. Namanya Matano. Danau terdalam di Indonesia, dengan palung mencapai 587 meter. Air biru, tebing curam, dan ombak menggulung pelan.

PT Vale–sebelumnya PT Inco-sejak 1979 menambang Nikel di sekitar sisi danau membangun perumahan untuk karyawan. Rumah panggung, taman asri, ada rumah pembibitan, hingga penataan pesisir danau.

Di dekat perumahan karyawan itu, ada Yacht Club. Spot yang menyediakan sewa kano dan pelampung. Di bagian lain, ada Pantai Ide yang jadi tujuan wisatawan. Di luar kompleks perumahan, ada dermaga penyeberangan pakai ketinting dan raft, menuju Nuha, menembus Sulawesi Tengah.

Danau pada masa lalu jadi halaman depan, berbalik jadi halaman belakang. Tahun 1990-an beberapa rumah-rumah warga dengan tiang menancap di atas permukaan danau, bahkan jadikan danau kakus besar. Kini, tak ada lagi membuang kotoran manusia ke danau. Masalah lain muncul, salah satu sampah tak tertangani.

Aliran sungai kecil yang menghubungkan dari Pasar Sorowako,  tetap bermuara ke danau. Aliran limbah dari perusahaan pun, tetap ke danau–meski perusahaan mengatakan sudah membuat normalisasi.

Pembukaan lahan perkebunan juga jadi ancaman serius. Sedimentasi sangat tinggi.

 

Louhan, ikan pendatang dan merupakan spesies invasif di Kompleks danau Malili. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Pada 2015, saya berada di antara banyak orang menyaksikan persiapan Festival Danau Matano. Pemerintah Daerah mendatangkan penyanyi solo Daniel Sahuleka hingga Duo Macan. Panggung berdiri, di pinggiran Matano. Sound system menggetarkan ribuan orang untuk bersenandung dan berjoget. Setelah pagelaran itu usai, Matano kembali sepi.

Tahun 2018, ada lagi Jelajah Tiga Danau. Kali ini, hiburan tak begitu besar. Melainkan mengundang ratusan rider motor trail untuk memacu gas dan menikmati alam Luwu Timur. Sebelum deru knalpot meraung di dalam hutan, para penunggang aksi pungut sampah di sekitaran Pantai Ide. Kamera menyorot mereka. Setelah itu,  muncul hastag di media sosial tentang rider peduli lingkungan.

 

 Tak peduli danau

Senin (11/6/18), tampak seseorang sedang membuang kail di pantai impian pesisir Danau Matano. Dia sendiri menikmati semilir angin sambil menunggu buka puasa. Tangannya, cekatan menyentak cepat, seekor ikan memakan umpan,  louhan. “Kalau louhan di danau ini banyak sekali. Dagingnya tidak enak dibanding butini,” katanya.

Louhan adalah ikan pendatang. Tak ada yang mengerti sejak kapan ikan itu memasuki perairan Matano. Menemukan ikan ini sangat mudah. Jika Anda  turun ke pesisir danau dan berdiam sejenak, anakan lohan akan datang mendekati kaki. Ikan-ikan ini perlahan menyeberang ke Mahalona, kemudian ke Danau Towuti.

Di Luwu Timu, ada empat danau yang disebut sebagai Kompleks Danau Malili. Danau ini terhubung secara “kaskade,” di mana air Danau Matano mengalirkan air ke Danau Mahalona melalui Sungai Petea, air dari Danau Mahalona mengalir ke Danau Towuti melalui Sungai Tominanga, selanjutnya mengalir ke Teluk Bone melalui Sungai Larona.

 

Keramba rusak dan dibiarkan begitu saja di Danau Matano. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Danau Wawantoa, mengalirkan air ke Danau Towuti melalui Sungai Lantoa dan Danau Masapi memiliki aliran sungai tersendiri yang akan menyatu dengan Sungai Larona,  sebelum bermuara ke Teluk Bone.

Kompleks danau ini sedang terkepung aktivitas yang membahayakan ekosistem. Hamparan lahan merica sangat luas, dengan penyemprotan pestisida, mengalir ke danau. Karamba warga juga tersusun rapi di pesisir danau membuat introduksi ikan makin tinggi.

Pada 2009, Konferensi Nasional Danau Indonesia diselenggarakan di Bali. Kesepakatan bersama sembilan kementerian yakni, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Menteri Riset dan Teknologi. Mereka berkomitmen bersama, mendukung keseimbangan ekosistem dan daya dukung lingkungan.

Akhirnya, konferensi menetapkan 15 danau prioritas untuk diselamatkan. Danau Tempe dan Matano di Sulawesi Selatan,  masuk dalam status kritis itu. Akhirnya,  Kementerian Kehutanan—sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan–meluncurkan program Gerakan Penyelamatan Danau (Germadan).

Matano adalah danau tektonik purba, terbentuk pada akhir pliosen sekitar 2-4 juta tahun lalu, luas permukaan 16.410 hektar. Ia 10 besar danau terdalam di seluruh dunia dan terdalam di Asia Tenggara.

Dalam Germadan Matano, melalui analisis mutu air, ternyata danau dalam kondisi tercemar. “Tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan jadi tercemar atau lebih dari itu di masa mendatang, tergantung beban pencemaran yang diterimanya atau yang memasuki perairan Danau Matano dari ekosistem sekitar,” begitu tertulis dalam dokumen Germadan.

Padahal, lebih 90% spesies yang hidup di Matano, adalah endemik. Penelitian pada 2013 menyebutkan,  ancaman kompleks danau ini tak hanya dari daratan, melainkan invasi ikan asing. Ditemukan 14 jenis ikan ikan asing telah menginvasi, seperti, lele dumbo (Clarias gariepinus), Nila (Oreochromis niloticus), Lauhan (Amphilophus sp), bawal (Colossoma macropomum) hingga ikan sapu-sapu (Hypostomus plecostomus).

 

Pemandangan Matano dengan perumahan padat di sempadan danau . Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Daniel Nathanael Lumbantobing, pernah jadi peneliti ikan LIPI, sekarang di Smithsonian National Museum of Natural History, Washington DC, mengatakan, Kompleks Danau Malili adalah surga biota ekuatik endemik di dunia. Dalam dunia ilmiah internasional, kompleks danau itu sudah sangat terkenal. “Secara evolusioner peranan danau ini sangat penting. Banyak fenomena alam bisa dikuak dan dipelajari,” katanya. “Seperti biasa, danau ini kurang dihargai.”

Kajian lain dari, Henny T.C. Palemmai dari Fakultas Perikanan Universitas Andi Djemma Palopo, menyebutkan, perubahan bentuk ikan juga jadi konsen dalam penelitian mengenai kompleks danau itu dalam dua tahun terakhir.

“Dulu butini–ikan endemik–di Kompleks Danau memiliki gigi kuat, sekarang hampir dikata ompong. Kepala juga lebih besar, sudah tidak proporsional,” katanya.

Butini, salah satu ikon endemik. Hidup di kedalaman antara 100-200 meter. Dia menghindari sinar matahari. “Jadi kalau ikan ini mencapai matahari, akan cepat mati. Masih susah membudidayakan. Tentu saja, jalan keluarnya menjaga ekosistem danau ini,” kata Henny.

Di Danau Towuti, misal, ada pangkilang, jenis ikan kecil yang tak ada di danau lain. Butini di Towuti memakan ikan ini. Keberadaan pangkilang mulai berkurang, antara lain karena over fishing dan perubahan lingkungan.

“Kompleks danau ini sudah diambang kritis.”

 

Nila dari Danau Matano. Nila jugaj enis ikan pendatang yang invasif. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Kembangbiak terhambat, sidat hilang?

Danau Masapi, danau kecil di antara tiga danau besar dalam Komplek Danau Malili. Danau kecil dan terpisah dengan danau besar lain. Aliran danau ini menuju Sungai Larona. Di Masapi inilah, beberapa warga desa sekitar jadikan tempat berburu ikan masapi (sidat).

Sidat ukuran besar, mudah ditemukan, sampai 1990-an. Vale mulai mengoperasikan Bendungan Larona untuk PLTA pada 1979,  di batang Sungai Larona, perlahan-lahan sidat mulai berkurang.

Pada 1999,  perusahaan kembali mengoperasikan Bendungan Balambano dan Bendungan Karebbe pada 2011. Tiga bendungan ini, serupa palang pintu yang menutup akses migrasi sidat, dari hulu menuju hilir.

Menurut Daniel, di beberapa negara maju, membangun bendungan biasa disiapkan jalur khusus migrasi untuk biota air. Sidat, kata Daniel, adalah jenis ikan diadromous yang mempunyai dua siklus hidup, laut dan perairan tawar.

“Sidat ini tumbuh besar di air tawar dan berpijah di laut, lalu balik lagi ke air tawar setelah berpijah,” katanya. “Parahnya, banyak jenis ikan-ikan di Sulawesi termasuk diadromous atau hidup dalam dua siklus itu.”

Dari penelitian dia, di danau sudah tak mendapatkan lagi sidat. “Sudah hilang. Saya kira ini alarm tentang ekosistem lingkungan ini. Apakah kita akan berdiam diri dan membiarkan, atau bergerak mengurangi risikonya?” kata Henny.

 

Keterangan foto utama: Tumpukan sampah di Dermaga Sorowako. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Sungai Larona yang mengalirkan air dari kompleks danau Malili menuju laut di Teluk Bone. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia
Pangkilang, ikan endemik di Pasar Dermaga Timampu, Danau Towuti. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version