Mongabay.co.id

Predikat Kawasan Strategis Nasional Tidak Ampuh Lindungi KEL dari Kerusakan

 

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tetap saja mengalami kerusakan meski wilayah ini telah dimasukkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN).

Manager   Geographic Information System (GIS) Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Agung Dwinurcahya pada 23 Juli 2018 menjelaskan kerusakan hutan di KEL periode Januari sampai Juni 2018 mencapai 3.290 hektar.   Angka ini relatif menurun dibandingkan periode yang sama pada 2017 yaitu 3.780 hektar.

Tiga besar kabupaten tingkat kerusakan terbesar adalah Nagan Raya (627 hektar, Aceh Timur (559 hektar) dan Gayo Lues    (507 hektar). “Penyebab utamanya adalah pembersihan lahan untuk perkebunan serta pembukaan jalan baru yang memotong atau membelah kawasan hutan. Khusus di Nagan Raya, kerusakan cukup mencolok berada di Gambut Rawa Tripa,” jelasnya.

Jika dirinci berdasarkan status, kerusakan KEL terluas berada di hutan lindung (615 hektar), hutan produksi (525 hektar), Taman Nasional Gunung Leuser (368 hektar), hutan produksi terbatas (263 hektar), suaka margasatwa (96 hektar), dan taman buru (24 hektar).

Agung menambahkan, cara atau metode yang digunakan untuk memantau tutupan hutan adalah dengan memanfaatkan   citra satelit Landsat 8 dari USGS NASA: scene   dengan   pathrow     129057, 129058, 130057 dan 130058.

Data mentah diunduh pada web USGS GloVis   (Global Visualization Viewer),   diolah menggunakan   software   ENVI untuk dibuat komposit semu   band   654. Lalu ditajamkan menjadi resolusi 15 meter dari   band   pankromatik.

Baca: Komitmen Menjaga Leuser Sebagai Situs Warisan Dunia Harus Dibuktikan

 

Ranger, ujung tombak penjaga hutan Leuser, terlihat tengah membersihkan jerat yang dipasang pemburu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Interpretasi citra satelit dilakukan dengan cara digitasi visual di layar komputer menggunakan   software   ArcGIS, ESRI. Lalu, dibandingkan citra Desember 2017 dengan citra Juni 2018 untuk dilihat berapa besar tutupan hutan yang hilang. “Analisis spasial dilakukan untuk diketahui kabupaten mana saja dan kawasan hutan apa saja yang rusak,” jelasnya.

Selama proses digitasi data peringatan clearing mingguan bernama   Global Land Analysis & Discovery (GLAD) dan alerts dari Global Forest Watch (GFW) periode data 1 Januari 2018 hingga 30 Juni 2018 digunakan. Peringatan clearing GLAD sebagai konfirmasi pertama interpretasi citra Landsat dan panduan area   clearing   lain yang tidak terdeteksi secara teknik visual manual. Saat ini kami telah memiliki akses citra satelit dari Planet Labs dengan resolusi 3 – 5 m dan   update-nya setiap hari. “Kombinasi teknik dan data tersebut, menghasilkan informasi kehilangan tutupan hutan semester 1 tahun 2018,” terangnya.

Agung menambahkan, monitor titik api juga dilakukan menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk semester pertama 2018, titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 688 titik. “Areal penggunaan lain (APL) paling banyak terdeteksi yaitu 440 titik, diikuti hutan produksi (100 titik) dan di suaka margasatwa (66 titik).”

Baca: Kawasan Ekosistem Leuser, Mengapa Penting Dimasukkan Dalam Rencana Tata Ruang dan Pembangunan Aceh?

 

Sawit ini ditebang karena berada di Taman Nasional Gunung Leuser wilayah Desa Alur Baning, Kecamatan Babul Rahman, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Perambahan

Manager Database Forum Konservasi Leuser (FKL) Ibnu Hasyim mengatakan, hasil monitoring perambahan dan pembalakan masih terjadi di 13 kabupaten/kota di Aceh yang masuk KEL.  “Total 1.582 kasus. Terbanyak di Aceh Selatan (204 kasus) tetapi kayu terbesar ada di Aceh Timur yaitu 619.8 meter kubik.”

Ibnu Hasyim menambahkan, perambahan meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Bila Januari – Juni 2017 terjadi 740 kasus, Juli – Desember 2017 ada 628 kasus, pada Januari – Juni 2018 menjadi 779 dengan luas kawasan yang dirambah 3.623 hektar.   “Perambahan terluas di Kabupaten Aceh Tamiang (873 hektar).   Untuk pembangunan jalan, terdata 105,5 km pembangunan di dalam KEL,” ungkapnya.

Monitoring Coordinator FKL, Tezar Fahlevi mengatakan, Januari – Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 389 kasus perburuan dengan 497 jerat dan 124 camp.   Perburuan dilakukan terhadap burung, rusa, kijang, kambing hutan, landak, gajah, harimau, dan beruang.   “25 pemburu dikeluarkan dari hutan dan sembilan diproses hukum.”

Perburuan terbanyak di Kabupaten Aceh Selatan. Pemburu lokal, sendiri atau bekerja sama dengan pendatang dari Sumatera Barat aktif mencari gaharu, memasang perangkap satwa, dan menembak burung terutama rangkong. Peningkatan kasus saat Mei dan Juni 2018.

“Satwa yang paling dicari adalah landak, sebanyak 244 jerat ditemukan. Patut diketahui, meski kecil perangkapnya bisa melukai atau membunuh satwa besar seperti harimau karena terbuat dari kawat besi,” jelas Tezar.

Baca: Hutan Leuser yang Selalu di Hati Salman Panuri

 

Ibrahim, ahli tumbuhan dan satwa liar di Leuser. Pegiat dan peneliti di Leuser menjulukinya Profesor karena kemampuannya yang pilih tanding. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan menambahkan, pembangunan jalan merupakan salah satu ancaman terbesar terhadap kelestarian KEL. Beberapa ruas yang membelah KEL masih ditemukan.

“Januari – Juni 2018, ditemukan 65 ruas jalan baru. Pantauan tim, pembangunan jalan di dalam hutan berkontribusi besar meningkatnya kegiatan ilegal kehutanan,” sebut Badrul.

Salah satu ruas besar yang dibangun semester 1 tahun 2018 adalah jalan tembus Lesten, Kabupaten Gayo Lues – Pulau Tiga, Kabupaten Aceh Tamiang. Kegiatan ini termonitor pada Mei 2018. Pantauan citra satelit Juli 2018 menunjukkan, jalan ini berada di dalam kawasan hutan lindung dan produksi di KEL.

“KEL adalah sumber air sekaligus sumber kehidupan rakyat Aceh. Deforestasi harus ditekan demi masa depan generasi mendatang,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version