Mongabay.co.id

Dapatkah Mangrove Tetap Bertahan Terhadap Kenaikan Muka Air Laut?

Tanggal 26 Juli diperingati sebagai Hari Mangrove Internasional, yang dicetuskan dalam pertemuan Konferensi Umum Badan PBB untuk Pendidikan UNESCO. Untuk memperingatinya, Mongabay Indonesia menerbitkan tulisan tentang mangrove dan hubungannya dengan ancaman kenaikan muka air laut akibat pemanasan global (pengantar redaksi).

 

Indonesia tidak hanya memiliki hutan mangrove terluas di dunia, namun juga terkaya dengan jenis mangrove dan keanekaragaman hayatinya. Berada di wilayah tropis, luas mangrove Indonesia mencakup hampir 25% total mangrove dunia. Dari sekitar 70 spesies mangrove tercatat di dunia, 43 jenisnya dapat dijumpai di Indonesia [1].

Meski demikian, keberadaan mangrove saat ini terancam oleh dampak perubahan iklim, khususnya akibat adanya kenaikan muka air laut.

Menurut definisi yang dikeluarkan oleh Rencana Aksi Nasional – Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) [2], kenaikan muka laut atau disebut Sea Level Rise (SLR) adalah pertambahan ketinggian permukaan air laut secara kontinyu relatif terhadap suatu level yang tetap atau rata-rata jangka panjang tahunan.

Fenomena SLR termasuk dalam proses lambat (slow onset) yang dapat terjadi akibat pemanasan global (global warming). Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan kenaikan muka laut pada akhir abad 21 mencapai 10-20 cm. Para peneliti bahkan memperkirakan skenario yang lebih mencengangkan, SLR bisa mencapai 100 cm bila pemanasan air laut terus meluas dan gunung es di kutub terus mencair [3].

 

Sistem perakaran mangrove yang mengikat sedimen. Foto: Frida Sidik

 

Lalu, apa yang hubungan yang terjadi antara kenaikan permukaan air laut dengan hutan mangrove?

Secara esensial, sebagai ekosistem pesisir yang dinamis mangrove memiliki kemampuan daya adaptasi untuk merespon perubahan lingkungan. Saat permukaan air naik, mangrove akan bergerak ke arah darat dan membentuk zonasi baru.

Salah satu bentuk adaptasi mangrove adalah kemampuannya dalam mengikat sedimen tanah (trapping sediment). Sistem perakaran mangrove yang kompleks dapat mengikat sedimen yang datang, baik sedimen dari hulu maupun yang terbawa air pasang. Sedimen ini lambat laun akan menambah tinggi elevasi permukaan tanah.

Kemampuan ini pun dimiliki jenis-jenis mangrove yang rentan terhadap salinitas tinggi atau yang hidup pada penggenangan pasang yang singkat. Jika terjadi SLR, mangrove tersebut akan berusaha pindah ke habitat baru yang sesuai. Namun, bangunan buatan manusia menjadi kendala bagi proses ini karena umumnya akan membatasi ruang gerak mangrove untuk berpindah ke arah darat.

Terkait dengan SLR, jika kecepatan kenaikan elevasi permukaan tanah lebih tinggi dari laju SLR, maka diperkirakan mangrove dapat bertahan hidup. Sebaliknya, jika kecepatan untuk berpindah lebih lambat daripada laju SLR, maka keberadaan mangrove akan terganggu, bahkan perlahan akan menuju kepunahan.

Dengan asumsi laju SLR Indonesia sekitar 0.7 cm/tahun, kecepatan kenaikan elevasi permukaan tanah harus melebihi nilai tersebut agar mangrove tetap bertahan hidup.

Lalu bagaimana cara kita mengetahui apakah hutan mangrove di sekitar kita dapat bertahan dengan adanya SLR?

Hasil kajian elevasi permukaan tanah yang dilakukan sejak tahun 2011 oleh Tim Penelitian Mangrove Balai Riset dan Observasi Laut (BROL), Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin oleh Frida Sidik, didapatkan bukti ilmiah bahwa mangrove memiliki mekanisme khusus untuk merespon SLR lewat pengikatan sedimen.

Dengan demikian, input sedimen yang terus-menerus akan menambah volume tanah sehingga elevasi permukaan tanah naik. Laju elevasi ini akan lebih tinggi saat musim hujan, di mana input sedimen menjadi lebih banyak.

Selain sedimen, faktor lainnya adalah pertumbuhan akar halus mangrove yang turut menambah volume tanah. Pertumbuhan akar lebih cepat di musim hujan daripada saat musim kemarau, disebabkan air hujan yang terserap ke dalam tanah akan memacu pertumbuhan mangrove.

 

Rod Surface Elevation Table (RSET). Foto: Frida Sidik

 

Setiap hutan mangrove memiliki kapasitas yang berbeda-beda dalam merespon SLR dikarenakan perbedaan geomorfologi, hidrologi, dan karakteristiknya. Dinamika mangrove dalam merespon SLR dapat diketahui melalui pengukuran perubahan elevasi permukaan tanah dengan menggunakan alat Rod Surface Elevation Table (RSET)

Hingga saat ini, BROL telah melakukan monitoring kenaikan elevasi permukaan mangrove dengan menggunaan RSET di Porong, Nusa Lembongan, Perancak, dan Dumai. Teknik ini juga telah banyak digunakan di hutan mangrove maupun rawa asin (salt marsh) di berbagai belahan dunia, seperti Amerika, Australia, Karibia, dan Asia Tenggara.

Kemampuan mangrove untuk beradaptasi terhadap SLR dapat menjadi bukti tingkat kesehatan mangrove. Mangrove yang memiliki resiliensi baik dapat dikatakan sebagai mangrove yang sehat dan memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik.

Mari bersama kita jaga mangrove Indonesia sehingga tetap sehat dan dapat bertahan hidup menjelang perubahan iklim.

 

Referensi:

[1] FAO. The world’s mangroves 1980-2005. Rome; 2007.

[2] BAPPENAS. Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Jakarta; 2014.

[3]  Rahmstorf S. A semi-empirical approach to projecting future sea-level rise. Science (New York, NY) [Internet]. 2007 Jan 19 [cited 2014 Nov 20];315(5810):368–70. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17170254

Foto utama: mangrove dapat punah karena SLR. Foto: Frida Sidik.

 

* Dr  Frida Sidik, penulis adalah peneliti mangrove pada Balai Riset Dan Observasi Laut, Kementerian Kelautan & Perikanan.

 

Exit mobile version