Mongabay.co.id

Mereka Tetap Menunggu RUU Masyarakat Adat Disahkan

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

Kampung Muser, di Kecamatan Muara Samu, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur (Kaltim) adalah satu dari sekian banyak kampung yang menunggu disahkannya RUU Masyarakat Adat.

Terjepit antara sawit dan tambang, warga adat kampung ini tetap mempertahankan kearifan lokalnya dalam keseharian. Bahkan, mereka sukses menyelenggarakan Jambore Nasional (Jamnas) Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), sebagai tuan rumah, di penghujung April 2018 lalu.

Kepala Lembaga Adat Paser (LAP) Muara Samu Kampung Muser, Repan, menjelaskan RUU Masyarakat Adat adalah harapan di tengah keterbatasan. Tidak hanya sebagai instrumen penyelesaian konflik lahan dan hutan, tapi juga pemulihan hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas tanpa persetujuan.

“Sejak lama, kami menanti disahkannya RUU Masyarakat Adat. Ini harapan kami terutama untuk penyelesaian konflik, rehabilitasi wilayah serta lahan dan sumber daya alam yang diambil alih hingga dirusak tanpa persetujuan kami,” jelasnya, Kamis (19/7/2018).

Repan menjelaskan, ruang gerak masyarakat adat terutama di Kabupaten Paser sangat terbatas. Terkungkung industri pertambangan dan sawit, membuat hidup masyarakat dalam tekanan ekonomi. Hutan adat tidak ada begitu pula lahan pertanian sebagai sumber penghidupan. Yang tersisa hanya tawaran kerja dari perusahaan tambang raksasa, dengan syarat pendidikan tinggi dan keahlian mumpuni.

“Hanya sedikit masyarakat adat yang memiliki pendidikan tinggi. Kalaupun ada yang bekerja, mungkin hanya sebagai bawahan,” ujarnya.

Baca: Pemerintah-DPR Sepakat Lanjut Bahas RUU Masyarakat Adat

 

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

Dulu, lanjut dia, sumber penghidupan masyarakat adat Paser adalah bercocok tanam. Tidak hanya kopi dan padi, tapi juga palawija. Seiring berkembangnya industri batubara dan perkebunan sawit, lahan pertanian menyempit.

“Kami punya hutan yang kami sebut hutan adat, tapi hanya sebatas pengakuan. Jika nantinya RUU Masyarakat Adat disahkan, kami berupaya menjaganya dengan legalitas agar tidak dikuasai perusahaan,” jelasnya.

Kepada Presiden Joko Widodo, Repan menyampaikan harapannya. Saya harap Pak Presiden mampu memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat. “Semoga Pak Presiden mendengar harapan kami.”

Kampung Muser terbentuk sejak 1962, sekitar 90 persen penduduknya adalah warga adat Paser. Rata-rata penduduknya bertani dan berladang dengan cara berpindah. Karena lahan sudah tidak ada, warga memutuskan menjadi petani sawit dan menetap di kampung terisolir.

Baca juga: Akhirnya, Kemendagri Dukung Pembahasan RUU Masyarakat Adat Lanjut

 

Masyarakat adat yang tinggal di Kabupaten Jayapura. Danau Sentani dan Cycloop menjadi bagian dari identitas kultur masyarakat. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia

 

Kampung yang hilang

Selain Kampung Muser yang terancam hilang, ada pula kampung adat yang benar-benar hilang. Namanya Kampung Biu, yang dulunya terletak di tepi Sungai Biu, Kecamatan Muara Samu. Air sungai yang tercemar limbah batubara dan kerap meluap, membuat masyarakatnya terpaksa pindah ke hutan. Begitu masyarakat pindah, hutan di kampung mereka ikut raib. Hutan yang dulunya diklaim sebagai hutan adat, dibuka untuk konsesi tambang.

“Dulu kami hidup di tepi Sungai Biu. Kami berkebun di kiri dan kanan sungai. Tiba-tiba air sungai keruh, dijadikan aliran pembuangan limbah batubara,” terang Ketua Adat Kampung Biu, Ambriansyah.

Kampung kami ternyata memiliki batubara kualitas tinggi. Kami harus angkat kaki. “Meski ini tanah kami, tapi masuk lahan konsesi PKP2B milik perusahaan Kideco. Kesimpulannya, kami terusir dari tanah kami sendiri,” jelasnya.

Adanya RUU Masyarakat Adat, Ambriansyah berharap, keadilan bagi masyarakat adat Paser segera datang. Tanah leluhur yang tergerus tambang dapat direhabilitasi kembali. “Saya sering menangis, seperti anak kecil, menghadapi perusahaan tambang. Saya mohon agar kehidupan adat di Kabupaten Paser tidak diganggu. Sebagai masyarakat adat yang kecil, kami butuh tanah leluhur dan hutan. Kami tidak pernah mengganggu seperti yang sering dituduhkan hingga berujung kriminalisasi,” paparnya.

 

Hutan adalah sumber kehidupan masyarakat adat Dayak Tomun yang harus dilestarikan. Foto: Indra Nugraha/Mongabay Indonesia

 

 

Penantian panjang

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, mengatakan, RUU Masyarakat Adat adalah langkah tepat untuk melindungi masyarakat adat di Indonesia. Banyaknya adat dan budaya hilang, tidak mendapat perhatian penuh pemerintah karena itu RUU Masyarakat adat harus segera disahkan untuk menjaga kebhinekaan.

“Kita harus ingat, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila itu ada karena masyarakat adat. Indonesia dibangun dari adat dan budaya yang kuat. Tapi seiring waktu, tidak ada lagi perhatian khusus untuk masyarakat adat. Tergerus perkembangan zaman,” kata Rukka.

Sejak Presiden Jokowi menyatakan komitmennya mendukung dan mendorong RUU Masyarakat Adat, masyarakat adat berkesempatan mensinergikan aturan-aturan mereka berkaitan dengan produk hukum. “Memang benar, sudah ada pasal-pasal yang mengatur masyarakat adat, tapi itu tidak lengkap karena masih terpotong. Bahkan, ada pasal yang bertentangan dengan RUU ini, untuk itu harus diselaraskan demi kelestarian masyarakat adat,” jelasnya.

 

Hutan Lindung Wehea yang begitu dijaga oleh masyarakat adat Dayak Wehea. Hutan adalah sumber kehidupan dan bagian penting masyarakat Wehea. Foto: Yovanda

 

Rukka berharap, proses RUU Masyarakat Adat tidak terlalu lama. Adanya pengakuan, tentunya akan mengembalikan segala hak-hak masyarakat adat. “Inilah sulitnya kita, aturan masyarakat adat terganjal peraturan. Atau, ada juga kota dan kabupaten yang memang sudah sepemahaman dengan masyarakat adat, tapi terganjal peraturan. Prosesnya lambat sekali dan sulit,” terangnya.

Rukka meminta pemerintah untuk lebih menyederhanakan proses pengakuan masyarakat adat. “RUU Masyarakat adat ini akan memudahkan pemerintah dalam menyelesaikan segala bentuk permasalahan. Tidak perlu berbelit, karena sejatinya Indonesia dibentuk dari masyarakat adat yang tersebar di penjuru Nusantara,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version