Mongabay.co.id

32 Tahun Ledakan Reaktor Nuklir Chernobyl, Ini Kondisi Terkini Lingkungan Sekitarmya

32 tahun lalu, tepatnya pada 26 April 1986 jam 14.00 waktu setempat, salah satu reaktor di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobhyl, di Uni Soviet, meledak. Ledakan reaktor yang terletak sekitar 100 km sebelah utara kota Kiev (kini ibukota negara Ukraina) tersebut melepaskan debu partikel radioaktif ke atmosfer.

Menurut data resmi setelah kecelakaan, sekitar 60% materi radioaktif jatuh di Belarusia. Hujan beracun merusak tanaman dan menyebabkan mutasi hewan di sana. Akibatnya, ratusan ribu penduduk di dekat reaktor nuklir di kota Pripyat, harus dievakuasi.

Efeknya bahkan  dirasakan di negara-negara Skandinavia, Swiss, Yunani, Italia, Prancis dan Inggris.  Besarnya radiasi dari bencana ini, 100 kali lebih besar dibanding bom atom yang dijatuhkan AS di Nagasaki dan Hiroshima, Jepang.

Tak terbayangkan dampak jangka panjang pada kawasan pusat ledakan di Chernobyl yang bahayanya masih ada hingga kini. Kawasan seluas 2.600 km2 ditetapkan sebagai Zona Ekslusi yang dibuat untuk membatasi akses ke daerah berbahaya, serta mengurangi penyebaran dan pencemaran materi radioaktif.

baca : Tak Perlu Nuklir, Optimalkan Energi Aman dan Ramah Lingkungan

 

Bangunan instalasi reaktor nuklir Chernobyl. Foto : Gleb Garanich/reuters/pri.org

 

Apa yang terjadi sekarang?

32 tahun kemudian, zona ekslusi seolah menjadi semacam cagar alam. Data sensus menunjukkan, populasi satwa liar meningkat tajam tanpa kehadiran manusia di sekitarnya.

Namun, studi bertahun-tahun mengenai ekosistem di zona ekslusi juga menunjukkan banyak kehidupan yang terancam radiasi karena tidak mampu beradaptasi. Penemuan ini membuka wacana tentang dampak organisme-organisme di daerah seperti Chernobyl dan Fukushima, Jepang.

Berikut kondisi ekosistem di sekitar Chernobyl yang diketahui peneliti hingga saat ini:

 

Jamur hitam dan matinya pengurai

Banyak mikroba yang mengambil ‘keuntungan’ dari bencana ini. Jamur kaya melanin seperti Cladosporium sphaerospermum, Cryptococcus neoformans, dan Wangiella dermatitidis telah menjadi raja di Chernobyl. Ini semua karena efek radiasi pada pigmennya. Sebuah penelitian menunjukkan, jenis jamur ini tidak hanya bertahan dari radioaktif, namun bahkan  tumbuh karenanya.

Hal ini berdampak serius bagi ekosistem di sekitarnya. Sebuah studi yang dilakukan pada 2014 menemukan terjadinya penurunan signifikan pada proses pembusukan sampah daun di setidaknya pada 20 hutan di sekitar Chernobyl.

baca : Ayo Tolak Pembangunan PLTN Dari Sekarang!

 

Bangunan reaktor 4 Chernobyl tempat terjadi ledakan. Foto : wikimedia commons

 

Pinus merah dan kedelai

Jika terjadi  bencana nuklir yang seringkali kita bayangkan adalah lahan tandus berdebu serta rumput dan pohon kering. Namun, foto-foto di Chernobyl justru menunjukkan pohon yang ditumbuhi dedaunan.

Tentu saja tiidak semua tanaman mampu tumbuh normal di Chernobyl.

Sekitar 10.000 m2 hutan pinus rusak akibat radiasi ‘Red Forest’, yang membuat daun-daun pohon tersebut berubah warna menjadi cokelat kemerahan. Banyak pohon yang kemudian dihancurkan dengan buldoser dan diratakan bersama tanah.

Meski begitu, secara mengejutkan tumbuhan-tumbuhan di wilayah lain berhasil menemukan cara untuk bertahan dari serangan radiasi.

Sebuah studi pernah membandingkan kedelai yang tumbuh di zona eksklusi Chernobyl dengan tanaman yang jaraknya 100 kilometer. Hasilnya menunjukkan bahwa kedelai hasil radiasi ini memang tidak berkembang normal, akan tetapi  mampu bertahan hidup dengan cara memompa protein.

 

Penurunan Volume Otak, dan Burung yang Berwarna Cerah

Populasi burung adalah yang terkena dampak paling besar dari bencana nuklir Chernobyl ini. Sebuah studi yang dilakukan terhadap  550 spesimen burung yang mencakup 50 spesies menemukan bahwa radiasi mempengaruhi perkembangan saraf mereka, dengan penurunan volume otak mereka secara signifikan.

Meskipun populasi burung berkurang drastis setelahnya, namun tidak semua spesies merasakan hal sama. Misalnya, lebih banyak burung betina yang tewas, dibanding burung  jantan. Selain itu, burung dengan bulu berwarna cerah ternyata lebih menderita. Para peneliti menemukan fakta bahwa penurunan populasi terjadi pada burung yang memiliki pigmen karotenoid dan massa tubuh yang lebih besar.

Biokimia yang digunakan untuk memproduksi pheomelanin dalam jumlah besar, menghabiskan pasokan antioksidan dalam tubuh. Ini membuat tubuh tak mampu menangani kerusakan akibat radiasi.

 

Seekor serigala memandang kamera di desa yang ditinggalkan di di Orevichi, Belarusia yang merupakan zona ekslusi Chernobyl. Foto : Vasily Fedonsenko/Reuters/newsweek

 

Tikus dan mamalia yang kembali

Penemuan paling mengejutkan dari zona eksklusi Chernobyl adalah jumlah mamalia yang cepat kembali ke hutan.

Studi yang dilakukan pada hewan-hewan kecil  seperti tikus di pertengahan tahun 1990-an menemukan bahwa tidak ada perbedaan mencolok dari jumlah populasi di zona tersebut, dari sebelum dan sesudah ledakan.

Mamalia lain yang lebih besar, seperti rusa dan babi hutan juga telah  kembali ke area tersebut beberapa tahun terakhir. Yang paling banyak adalah serigala yang bahkan jumlahnya di Cernobyl 7x lebih tinggi dibanding di luar zona eksklusi.

“Hal ini tentu bukan berarti bahwa radiasi bagus bagi perkembangan jumlah populasi  mereka. Fenomena ini menunjukkan bahwa kehadiran manusia beserta aktivitasnya seperti berburu dan menebang hutan, ternyata dampaknya jauh lebih buruk bagi para hewan,” kata Jim Smith, peneliti dari University of Portsmouth, Inggris.

 

Babushka dari Chernobyl

Manusia memang tidak diperbolehkan masuk ke dalam zona ekslusi ini. Meski begitu, beberapa bulan setelah ledakan Chernobyl, sekitar 1000 orang kembali ke rumah-rumah mereka, yang kebanyakan adalah wanita lanjut usia, yang dijuluki “Babushka dari Chernobyl”.

Hari ini, kurang dari 100 orang dari mereka yang tersisa, sedangkan lainnya sudah meninggal dimakan usia, dan bukan karena konsekuensi langsung dari lingkungan mereka yang beracun.

 

Sumber : sciencealert.com, pri.org dan newsweek.com

 

Exit mobile version