Mongabay.co.id

Harimau Sumatera Terus Diburu Memang Nyata

 

Polres Aceh Selatan, Provinsi Aceh, menangkap dua penadah kulit harimau sumatera beserta barang bukti satu kulit harimau utuh yang belum sempat dijual, Senin (23/7/2018). Dua pelaku bernama Sarkawi (41 tahun) dan Sabaruddin (45 tahun), yang merupakan warga Simpang Kiri, Kota Subulussalam, diringkus berkat laporan masyarakat.

Kapolres Aceh Selatan, AKBP Dedy Sadsono, mengatakan kedua pelaku ditangkap di Desa Kapeh, Kecamatan Kluet Selatan, Kabupaten Aceh Selatan, yang merupakan rumah orangtua Sabaruddin. “Saat diperiksa, mereka mengaku membelinya dari masyarakat Trumon dan disimpan dalam karung di pintu belakang rumah,” jelasnya.

Kepada penyidik, kedua tersangka mengatakan sedang menunggu pembeli yang nantinya akan menjual kulit loreng itu ke luar negeri. Polres juga mendalami keterlibatan pihak lain.   “Kami memburu juga yang menangkap harimau, penting sebagai penjual pertama,” terangnya.

Dedy mengatakan, kedua tersangka dikenai pasal 21 ayat 2 huruf (b) Undang-undang Nomor   5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya   Alam Hayati dan Ekosistemnya. “Ancaman penjara 5 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta menanti.”

Baca: Pemburu dan Penjual Kulit Harimau Sumatera Hanya Divonis 34 Bulan Penjara

 

Perburuan harimau sumatera di Kawasan Ekosistem Leuser dan wilayah lain di Sumatera memang terus terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dwi Adhiasto, Program Manager Wildlife Crime Unit (WCU) mengatakan, perburuan harimau sumatera dan satwa lainnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) juga daerah lain di Indonesia dilakukan sistematis. Para pemburu berhubungan satu dengan lainnya. Mereka bukan mencari peruntungan, tapi sudah berjejaring.   “Ada permintaan di Indonesia maupun dari luar terutama kulit dan taring harimau.”

Di Indonesia, kelompok-kelompok pemburu dan penampung juga pedagang, saling membantu. Meski kadang mereka beda kelompok, tapi tidak berkompetisi malahan kerja sama.   Memberantas kelompok terorganisir ini harus dengan menangkap satu persatu. Mulai dari pemburu, pembeli, pengepul, pedagang, pemodal, hingga petinggi di jaringan itu harus ditangkap. “Agak sulit memang menangkap pelaku di level provinsi karena pemburu lokal tidak mengenalnya, jaringan mereka rapi.”

Dwi menambahkan, putusan hukum saat ini belum memberi efek jera. Pelaku yang telah divonis penjara, setelah bebas akan melanjutkan lagi hobinya memburu harimau sumatera. “Seperti yang terjadi di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, ada pelaku yang divonis dua tahun, setelah bebas kembali berburu dan tertangkap lagi. Ini bukti, risiko yang mereka terima lebih ringan dibanding keuntungan yang diperoleh,” jelasnya.

Baca juga: Mereka Melindungi Harimau Sumatera Berpegang Kearifan Lokal 

 

Jerat satwa liar yang dipasang pemburu di Kawasan Ekosistem Leuser ini dibersihkan oleh Forum Konservasi Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Apresiasi

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo mengapresiasi pengungkapan kasus tersebut. “Ini murni dilakukan Polres Aceh Selatan, saya sangat berterima kasih. Harus diakui, perburuan satwa liar, terutama harimau masih terjadi di Aceh,” jelasnya.

Sapto menambahkan, wilayah yang diproteksi agar perburuan tidak terjadi adalah hutan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser, Cagar Alam Jantho, Taman Buru, dan Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

“Kami juga mengamankan wilayah lainnya bersama mitra, tapi kita tidak keseluruhan. Di luar wilayah konservasi, ada juga habitat satwa liar bernilai ekonomi tinggi. Tanpa ada kesadaran masyarakat serta penegakan hukum yang konsinten, perburuan satwa liar dilindungi akan terus terjadi,” jelasnya.

Terkait hukum, Sapto mengatakan masih cukup rendah. Belum memberikan efek jera pelaku, meski ada juga mantan pemburu yang tobat. Jika pemburu, penjual, dan pembeli diganjar 15 tahun penjara bisa jadi orang yang akan berbuat kejahatan berpikir ulang. “Efek jera bukan hanya untuk pelaku tapi juga mencegah orang berbuat jahat,” terangnya.

 

Inilah barang bukti satu lembar kulit harimau sumatera yang diamankan Polres Aceh Selatan dari dua pelaku. Foto: Dok. Forum Konservasi Leuser

 

Berdasarkan data Forum Konservasi Leuser (FKL), perburuan satwa liar di dalam Kawasan Ekosistem Leuser termasuk di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), memang terus terjadi.

Monitoring Coordinator   FKL, Tezar Fahlevi, sebelumnya mengatakan, Januari – Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 389 kasus perburuan dengan 497 jerat dan 124 camp. Perburuan menyasar burung, rusa, kijang, kambing hutan, landak, gajah, harimau, dan beruang. “25 pemburu dikeluarkan dari hutan dan sembilan diproses hukum.”

Kasus perburuan terbanyak ada di Kabupaten Aceh Selatan. Pemburu lokal, sendiri atau bekerja sama dengan pendatang dari Sumatera Barat aktif mencari gaharu, memasang perangkap satwa, dan menembak rangkong. Peningkatan kasus terjadi pada Mei dan Juni 2018 kemarin. “Ada 244 jerat kami temukan,” tandasnya.

 

Perburuan harimau sumatera tetap terjadi dikarenakan permintaan yang tinggi dari pasar gelap baik dalam bentuk awetan maupun organ tubuh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Harimau benggala lahir

Dua bayi harimau benggala lahir di Medan Zoo, Kamis (12/7/2018), dari induk bernama Wesa (9 tahun) setelah dikandung 115 hari. Tim medis belum berani memeriksa jenis kelamin keduanya, karena sang induk masih agresif dan sensitif.

Kepala Urusan Kesehatan dan Konservasi Medan, drh. Sucitrawan, mengatakan kedua bayi ini sehat dengan berat badan masing-masing satu kilogram. Ini merupakan kelahiran ketiga dari pasangan Wesa dan Avatar. Rinciannya, lahiran pertama di 2014 (2 ekor), 2016 (2 ekor, namun satu ekor mati karena tidak menyusui dengan baik), dan di 2018 ini. Total, 7 harimau benggala di sini.

“Avatar dan Wesa merupakan harimau benggala dari Kebun Binatang Ragunan, Jakarta yang masuk ke Medan Zoo pada 31 Mei 2013 lalu,” jelasnya, Rabu (24/7/2018).

 

Wesa, induk harimau benggala tengah menyusui dua bayinya yang lahir di pertengahan Juli 2018. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Direktur Utama PD. Pembangunan Kota Medan, Putrama Alkhairi, yang bertanggung jawab pengelolaan Medan Zoo, menjelaskan, sampai saat ini pihaknya belum memiliki kandang khusus untuk harimau yang melahirkan. “Namun, dalam waktu dekat akan dibuat kandang khusus agar tidak terganggu satwa lain saat akan melahirkan.”

Selain tujuh ekor harimau benggala, saat ini Medan Zoo juga memiliki sembilan ekor harimau sumatera. Semuanya dalam kondisi sehat. Putrama mengatakan, dalam waktu dekat akan ada pertukaran dengan Kebun Binatang Ragunan antara dua ekor harimau sumatera dengan satu individu orangutan sumatera, kapibara dan burung pelikan.

 

Di Medan Zoo, saat ini terdapat 7 individu harumau benggala. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pertukaran dilakukan mengingat kandang harimau di Medan Zoo sudah penuh. Walau ada kebanggan Medan Zoo bisa menambah populasi harimau sumatera dan harimau benggala dengan proses kelahiran setiap tahun, namun ketiadaan kandang menjadi alasan pertukaran ini. Apalagi, dalam waktu dekat akan lahir lagi harimau sumatera di lembaga konservasi milik Pemko Medan ini.

“Komunikasi sudah dilakukan, hanya menunggu keputusan BBKSDA Sumatera Utara,” jelasnya.

 

 

Putrama mengatakan, saat ini Medan Zoo, Sumatera Utara, tengah merancang pulau buatan untuk satwa agar lebih efisien. Tidak tertutup seperti sekarang. Harapannya, satwa lebih bebas bergerak dan pengunjung tidak akan terlalu lelah menempuh perjalanan dari satu kandang ke kandag lain untuk melihat koleksi satwa.

“Lahan cukup luas dan memenuhi syarat. Jalan akan diperbaiki agar pengunjung lebih nyaman. Pertukaran satwa juga dilakukan untuk melengkapi koleksi yang belum ada,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version