Pandan duri atau pandan samak, yang disebut juga pandan pudak (Pandanus tectorius) merupakan sejenis tumbuhan anggota suku Pandanaceae yang biasa ditemui di sekitar kita. Tersebar tumbuh pada rentang ketinggian antara 0–610 m dpl di seluruh pantai dan pulau di kawasan Asia Selatan dan Timur sampai ke Polinesia.
Tetapi bagi masyarakat Bali, pandan duri mempunyai arti yang sangat mendalam.
Umumnya, pandan digunakan untuk membuat tikar karena daunnya yang cukup kuat dan lembut. Tetapi bagi masyarakat Bali, pandan digunakan untu membuat anyaman tempat sesajen setiap upacara adat dan juga banyak digunakan untuk upacara adat besar.
Bahkan, untuk masyarakat Tenganan, yang merupakan masyarakat Bali age (orang Bali asli, bukan keturunan Majapahit), tanaman pandan ini merupakan salah satu unsur utama dalam suatu upacara adat besar tahunan Perang Pandan, yang diadakan di Desa Tenganan Penggrisingan dan Dauh Tukad, kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.
baca : Melihat Aneka Ritual Kesadaran Lingkungan di Desa Sosialis Tenganan Pegringsingan
Menurut Putu Ardana, mantan kepala adat Desa Tenganan Dauh Tukad, upacara adat Perang pandan biasanya digelar antara bulan Mei dan Juni setiap tahunnya, bertujuan untuk menghormati Dewa Indra, dewa masyarakat adat Tenganan. Mereka percaya bahwa desa yang mereka tempati merupakan hadian dari Dewa Indra.
Awal mula Perang Pandan dikisahkan ketika jaman dahulu daerah Tenganan dipimpin oleh seorang raja yang kejam bernama Maya Denawa, yang menganggap dirinya sebagai seorang Dewa. Maya Denata melarang masyarakat Tenganan untuk melakukan ritual keagamaan.
Pengakuan Maya Denata sebagai dewa membuat murka para Dewa, kemudian mengutus dewa perang yaitu Dewa Indra untuk melawan Maya Denata. Peperangan itu dimenangkan oleh Dewa Indra. Peperangan itu kini diperingati masyarakat Desa Tenganan dengan upacara perang pandan.
baca juga : Foto : Metekruk, Cara Orang Asli Bali Menghargai Alam Sekitarnya
Ritual perang ini berbentuk semacam pertarungan antar lelaki dengan menggunakan daun pandan berduri dan sebuah tameng, yang kemudian saling digosokan ke punggung lawannya. Dinamakan pandan berduri karena mengacu pada duri-duri yang tumbuh di ujung-ujung daunnya.
Walaupun sampai berdarah-darah, tetapi seakan-akan para pelaku perang pandan tidak merasakan kepedihan yang ditimbulkan akibat gesekan daun pandan berduri itu. Darah yang keluar selain merupakan peringatan pertarungan antara Dewa Indra dan Raja Maya Denawa, juga dianggap mampu membawa kesejahteraan dan keseimbangan alam di bumi Tenganan.
menarik dibaca : Menikmati Suasana Sakral Hutan Bambu Panglipuran Tanpa Takut Tersesat
Hampir seluruh lelaki desa terlibat dalam ritual perang pandan ini. anak-anak, remaja, dewasa, sampai orang tua, terlihat mengantri untuk melakukan ritual ini. Dan yang lebih menakjubkan lagi, mereka tidak menggunakan obat-obatan modern untuk mengobati luka sehabis perang pandan itu. Orang tenganan menggunakan campuran kunyit dan bahan alami lainnya untuk mengobati luka akibat perang pandan. Luka itu akan hilang setelah 3 sampai 7 hari ritual selesai.
Ritual perang pandan Tenganan ini sangat terkenal sampai mancanegara. Banyak wisatawan asing yang menantikan ritual ini untuk mengabadikannya.
baca juga : Merehatkan Mata dan Jiwa di Desa Sidemen