Mongabay.co.id

Menyoal Kelaparan di Mausu Ane dan Rencana Relokasi

Bantuan Kesehatan oleh tenaga medis di Puskesmas Pasahari, Kabupaten Maluku Tengah kepada warga Suku Mausu Ane. Foto: Dinas Kesehatan Maluku

 

 

Kelaparan di Komunitas Adat Mausu Ane, Desa Maneo Rendah, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, yang menyebabkan setidaknya empat orang meninggal dunia jadi tragedi kemanusiaan memilukan. Krisis pangan terjadi karena kebun terserang hama babi hutan dan tikus, salah satu penyebab, kebakaran hutan 2015 yang meludeskan hutan bambu dan beragam tanaman keras mereka.

Respon Pemerintah Maluku Tengah dinilai lamban. Bahkan protes muncul kala di tengah isu kelaparan ini, muncul rencana relokasi. Mereka menilai, relokasi bukan solusi tepat. Bahkan, ada dugaan lain di balik niatan pemindahan warga Mausu Ane ini.

Baca juga: Kelaparan di Komunitas Mausu Ane di Maluku, Tiga Warga Tewas

Haradji Patty, Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Maluku Tengah kepada Mongabay, Senin (23/7/18) mengatakan, pada 12 Juli Bupati Maluku Tengah, Abua Tuasikal, lakukan pengkajian dan pantauan lapangan terhadap Suku Mausu Ane, karena terkena krisis pangan.

Instruksi ini tindaklanjut perihal surat Kepala Desa (Raja) Maneo Rendah kepada Pemerintah Malteng, 10 Juli lalu.

Kabar kelaparan pun menarik perhatian berbagai elemen baik instansi pemerintah, TNI/Polri, akademisi, organisasi masyarakat sipil maupun masyarakat umum. Bantuan pun mengalir kepada warga Suku Mausu yang berdiam di Maneo Rendah.

Pada 24 Juli 2018, Pemerintah Maluku melalu Dinas Sosial berkirim surat ke Kementerian Sosial soal bencana kelaparan dan tindakan yang sudah mereka lakukan.

Pemerintah Pusat melalui Kementerian Sosial juga mengirimkan logistik untuk warga di Negeri Maneo yang alami krisis pangan ini awal pekan lalu.

Idrus Marham, Menteri Sosial dalam rilis kepada media mengatakan, bantuan sudah dihimpun tim Dinas Sosial Maluku Tengah dan Dinas Sosial Maluku.

Bantuan yang disalurkan, katanya,  berupa satu ton beras, 190 matras, 225 selimut, 35 paket anak-anak, 60 paket lansia, 45 kids ware, lauk pauk 90 paket. Lalu, peralatan dan perlengkapan memasak (panci, wajan, piring, gelas), 45 tenda gulung, 45 selimut woll.

“Bantuan awal ini semoga cukup memenuhi kebutuhan 45 keluarga dengan 170 jiwa yang bermukim di Negeri Maneo Rendah,” katanya, awal pekan lalu.

Selanjutnya, kata Idrus, akan turun tim penilai yang akan melihat kondisi warga di sana.. Sebanyak 10 Taruna Siaga Bencana (Tagana) Maluku terjun bersama dengan tim Dinas Sosial Maluku dan Maluku Tengah, serta pendamping komunitas adat.

Berdasarkan laporan tim Kemensos di lapangan, katanya, rawan pangan ini karena perkebunan warga terserang babi hutan dan tikus. Kondisi ini,  menyebabkan mereka tak memiliki cukup makanan yang biasa tercukupi dari hasil kebun.

“Nanti kita lihat bagaimana hasil penilaian. Kita akan pantau, keperluan seperti apa, kita akan berikan rekomendasi. Saya berharap kementerian dan lembaga terkait bersinergi dalam mengatasi rawan pangan ini,” katanya.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyebutkan, babi hutan dan tikus menyerang salah satu penyebab kebakaran hutan pada 2015 yang menghanguskan tanaman kayu dan bambu di hutan sekitar pemukiman orang Mausu Ane.

Kayu dan bambu biasa untuk membuat pagar agar melindungi kebun mereka sulit hingga mereka gunakan kayu-kayu kecil, namun tak mampu melindungi tanaman dari serangan babi dan tikus.

 

Suku Mausu Ane Negeri Maneo Rendah di pedalaman Gunung Murkele, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Tampak petugas sudah datang memberikan bantuan. Foto: BPBD Maluku Tengah

 

Korban bertambah

Data BPBD Malteng, korban bertambah jadi empat orang. Kepala BPBD Maluku, Farida Salampessy melalui rilis, Jumat (27/7/18) menyebutkan, korban bertambah jadi empat orang, masing-masing, Lasirue (50), Asoka (2), Aiyowa (4), dan Laupia (60)– baru dilaporkan meninggal 26 Juli.

Rosdian Perau, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Maluku membenarkan,  ada warga meninggal lagi. Melalui Puskesmas Pasahari, mereka turun memberikan bantuan dan pelayanan kesehatan kepada Suku Mausu Ane.

“Tim medis di Puskesmas Pasahari identifikasi warga meninggal dunia. Yang kami data dua orang. Itu karena mereka di sana hidup terpisah-pisah,” katanya, seraya bilang, tim mereka hanya menemukan 13 orang, dengan lima balita.

Dia bilang, suku ini meninggal bukan karena busung lapar tetapi krisis pangan.

Dinas Kesehatan, katanya,  akan terus memantau kondisi warga, termasuk menyuplai obat-obatan, bantuan kesehatan dan pemberian makanan tambahan.

Harapan L Gaol, Direktur Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, Kementerian Sosial mengatakan, Dinas Sosial Maluku dan Maluku Tengah mengambil langkah-langkah penanganan dengan mengirim bantuan berupa makanan dan perlengkapan tidur. Dinas Sosial bekerjasama dengan BPBD menangani masalah ini.

Kepala Dinas Sosial, katanya, menyatakan, sampai sekarang kumunitas adat itu belum terpetakan dalam KAT hingga belum termasuk dalam pemberdayaan KAT Maluku.

Sejumlah petugas juga masih disiagakan di pedalaman Pulau Seram. Mereka terus memantau kondisi kesehatan warga setempat.

 

Warga Suku Mausu Ane, di tenda-tenda bantuan sosial yang dibangun TNI/Polri dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Foto: Dinas Kesehatan Maluku

 

Curigai wacana relokasi

Bupati Maluku Tengah, Abua Tuasikal seperti dikutip dari Kompas.com Selasa (24/7/18), mengatakan, Pemerintah Malteng berencana merelokasi ratusan warga Mausu Ane yang mendiami pedalaman Pulau Seram, di Pegunungan Morkele ke tempat lebih aman dan mudah terjangkau.

Rencana relokasi warga suku itu, katanya, telah disampaikan kepada Kepala Desa Maneo untuk disampaikan kepada warga. “Saya sudah sampaikan rencana kepada Raja Maneo agar warga itu mau dipindahkan,” katanya.

Pada 2015, saat kebakaran melanda Pulau Seram dan membakar hutan Mausu Ane, Pemerintah Malteng, meminta agar relokasi.

“Namun mereka menolak pindah dengan alasan tak mau meninggalkan tanah-tanah mereka. Mereka juga takut jangan sampai ada perusahaan masuk mengelola tanah mereka,” katanya.

Relokasi, katanya,  akan dilakukan jika warga menyetujui. Jika mereka setuju relokasi, Pemerintah Malteng akan membuka kesehatan dan perumahan bagi warga.

AMAN Maluku mengkritisi karena pemerintah dinilai abai dalam mengantisipasi hingga terjadi kelaparan sampai telan korban jiwa ini. Laporan lapangan, tiga warga meninggal dunia terjadi sejak 7 Juli, sedang upaya penanggulangan bencana baru 23 Juli.

Setelah pengkajian terhadap bencana kelaparan ini, AMAN merasa ada yang janggal. Setelah berita kelaparan itu, tiba-tiba muncul isu Pemerintah Maluku Tengah akan merelokasi 170 warga adat Suku Mausu Ane, dari Pegunungan Pulau Seram ke kawasan lebih aman dan mudah terjangkau.

“Kami janggal dengan peristiwa ini. Dugaan kami, ada rencana besar di balik niat pemerintah daerah merelokasi Suku Mausu Ane yang mendiami hutan di pegunungan ini,” kata Lenny Patty, Ketua AMAN Maluku, Rabu (25/7/18).

Dia bilang, hasil analisa AMAN sejak isu ini muncul ke permukaan, kemungkinan besar akan ada investor yang ingin masuk membuka perkebunan baru di kawasan itu. Terlebih rencana relokasi masyarakat adat bukan hal baru.

Lenny mengatakan, relokasi Suku Mausu Ane, telah dicanangkan sejak 2015 silam «oleh Pemerintah Malteng, menyusul kebakaran di situ. Meskipun begitu, warga menolak dengan alasan hutan itu tempat hidup paling layak.

“Menjaga hutan bagi Suku Mausu Ane, sama dengan menghormati Yalahatala atau Sang Pencipta,” katanya.

Dia bilang, ada keterkaitan antara peristiwa kebakaran hutan pada Oktober 2015 dengan bencana krisis pangan serta rencana relokasi saat ini.

Pulau Seram, katanya, menjadi incaran para investor mencari wilayah baru untuk membuka perkebunan. Dia menduga, ada hubungan antara kasus ini.

 

Maluku Tengah sudah banyak perusahaan masuk dari perkebunan sampai perusahaan kayu. Rencana relokasi ditentang khawatir membuka peluang lahan-lahan yang ditinggalkan bakal jadi kelola perusahaan. Foto: Tiar Heluth

 

Kawasan hutan Maleo Rendah, sebagian juga sudah jadi konsesi perusahaan. Dari peta analisis Maleo Rendah, kesimpulan awal lebih dari 65% dari sekitar 20.351 hektar wilayah sudah terbebani izin HPH PT Waroeng Batok Industries. “Ini data HPH 2017, tetapi tidak mencantumkan nomor SK HPH. Batas HPH juga batas penetapan kawasan hutan SK.2819/Menhut-VII/KUH/2014,” kata Farid W, Manajer Data Base PB AMAN.

AMAN pun, kata Lenny, akan berkoordinasi dengan Angkatan Muda Gereja Protestan Maluku (AMGPM), mencari soal kematian warga Mausu Ane dan rencana relokasi Pemerintah Malteng.

Syafsudin Syafsuha, pegiat lingkungan Malteng, pernah menelusuri jejak kehidupan suku di pedalaman hutan Pulau Seram menceritakan, pertengahan Maret 2018, enam orang perwakilan suku, yakni Koa-koa, Mainkem, Yamalise, Fond, Kamu-kamu, dan Bati mendatangi Koramil dan Polsek Wahai, meminta didata sebagai penduduk Malteng. Sampai sekarang, mereka belum terdata dalam catatan negara sebagai warga Indonesia.

“Suku Mausu Ane dan belasan suku lain dengan ratusan keluarga belum terdata dalam administrasi kependudukan di Maluku Tengah, Seram Bagian Timur maupun Maluku. Mereka juga jauh dari akses kesehatan dan pendidikan. Rumah mereka tak berdinding, hanya beratap rumbia dan berlantai tanah,” katanya.

Dinas Kesejahteraan Sosial Malteng pada 2017, bertatap muka dengan salah satu suku yakni Yamalise,  terkait program relokasi ke daratan rendah, namun kebijakan itu bertolak belakang dengan kebiasaan mereka yang hidup nomaden.

Pada 2015, katanya, terjadi bencana kebakaran, mengakibatkan hutan sebagai sumber utama pangan mereka lenyap. Aneka logistik yang disalurkan pemerintah dan pihak terkait tak bertahan lama. Mereka berpindah ke daerah pinggiran perkebunan masyarakat.

“Proses perpindahan dari daratan tinggi ke daratan rendah itulah salah satu faktor minimnya bahan makanan dan sumber air. Mereka seakan merosot dari akar kebudayaan.”

Sisi lain, katanya, Maluku termasuk gugusan pulau-pulau kecil. Karena itu, sangat tidak tepat investasi perkebunan dan pertambangan raksasa. Kawasan hutan di Seram Utara, misal, sudah jadi perkebunan raksasa seperti sawit dan sawah.  Belum lagi izin pemanfatan kayu oleh beberapa perusahaan.

Jika digambarkan, Seram Utara Barat sampai ke Seram Utara, sudah ada kebun sawit.  Perusahaan kayu dari Liang Aweya sampai ke Seram Utara Barat. Dari arah selatan sedang terjadi penebangan oleh salah satu perusahaan dengan masa konsesi 45 tahun.

 

Bantuan yang dikirimkan Kementerian Sosial ke Suku Mausu Ane, 25 Juli lalu. Foto: Kementerian Sosial

 

Relokasi bukan solusi tepat

Jondry Paays,  Sekretaris Pengurus Besar AMGPM Maluku, menegaskan, menolak rencana pemerintah Malteng merelokasi warga Mausu Ane dari wilayah mereka.

“Relokasi bukan solusi menyelesaikan problem kekurangan bahan makanan yang melanda Mausu Ane. Kala krisis pangan, pemerintah harusnya bertindak cepat memasok kebutuhan makanan. Atau kalau perkebunan tradisional mereka diserang hama babi dan tikus, harusnya memberikan bantuan pengendalian hama,” katanya.

Bisa juga, katanya, turunkan pendampingan, pelatihan dan pemanfaatan teknologi sederhana tepat guna kepada warga.

Dia meminta, Pemerintah Malteng, mengkaji ulang rencana relokasi warga Mausu Ane. Merelokasi 45 keluarga dengan 170 jiwa, katanya, hanya akan memaksa mereka memulai hidup dengan cara baru.

Suku Mausu Ane adalah warga yang turun temurun mendiami hutan di Pulau Seram. Mereka hidup bergantung hutan dan tanah petuanan adat.

Relokasi saat itu juga, katanya, jadi pintu masuk perusahaan menguasai sumber daya alam masyarakat adat.

Jondry mengingatkan, relokasi Suku Noaulu pada 2010 tak berhasil. Warga memilih kembali ke hutan dan menyatu dengan alam.  “Ini bukti, mereka sulit menyesuaikan dengan kehidupan baru, dan tetap mempertahan budaya dan adat istiadat,” katanya.

Pengurus Besar AMGPM lewat Jemaat Siahari di Maluku Tengah dan Jemaat Rumah Tiga, katanya, lebih dulu melakukan pendampingan. Mereka ikut memberi sejumlah bantuan seperti bahan makanan, sabun dan pakaian layak pakai kepada suku itu.

Mereka mengidentifikasi, dari tiga kelompok warga adat Mausu Ane yang mendiami Petuanan Maneo Rendah, hanya dua kelompok yaitu Leilaha dan Yamalise,  yang turun dari gunung menemui Keluarga Maihatekesu, di Kaki Air Tihuhu untuk menerima bantuan. Kelompok Teluba, tak ikut turun. Dia juga masih belum mendapat jawaban mengapa Teluba tak turun.

Senada dikatakan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Maluku. Benedictus Sarkol, Kepala Kantor Komnas HAM Maluku menilai, rencana Pemerintah Malteng,  merelokasi masyarakat adat bukan solusi tepat.

Benedictus Sarkol, Kepala Kantor Komnas HAM Maluku, mengatakan,  memaksa masyarakat adat yang terbiasa hidup berpindah-pindah untuk menetap di satu tempat, melanggar HAM. “Bagi saya relokasi ini bukan solusi. Sangat keliru.”

Pemerintah Malteng, katanya, lalai dalam memenuhi hajat hidup masyarakat adat di pedalaman Pulau Seram. Sebab, penanggulangan oleh Pemerintah Malteng pasca peristiwa kekurangan bahan makanan masyarakat adat Mausu Ane terkesan lambat.

 

Petugas medis lakukan pemeriksaan kepada balita Suku Mausu Ane. Foto: Dinas Kesehatan Maluku

 

Informasi yang dihimpun, tiga Suku Mausu Ane meninggal sejak 7 Juli, baru diketahui pada 19 Juli setelah BPBD mengidentifikasi. Bantuan tersalur ke lokasi bencana, baru 23 Juli.

“Bahkan itu pun oleh TNI/Polri, bukan Pemerintah Malteng. Sudah terjadi, baru pemerintah ambil langkah. Saya katakan, Pemerintah Malteng sudah melanggar HAM,” katanya.

Pelanggaran HAM Pemerintah Malteng, katanya, lantaran tak ada upaya cepat menangani berbagai masalah kemiskinan ini. Padahal, Badan Pusat Statistik setiap bulan merilis angka kemiskinan.

Sementara dari Pemerintah Maluku, tampaknya akan ikut saja kebijakan Pemerintah Meluku tengah. Sartono Pinning, Kepala Dinas Sosial Maluku bilang, mendukung kebijakan Pemerintah Malteng, karena program itu salah satu model penanganan yang baik. Meskipun begitu, katanya, relokasi sendiri memiliki syarat dan sesuai prosedur.

“Relokasi adalah salah satu model penanganan terbaik. Sebelum melangkah ke tahapan itu, lebih awal kita harus mengidentifikasi suku terasing itu. Kita perlu petakan dulu. Misal, orang miskin belum tentu komunitas adat, tapi komunitas adat sudah pasti miskin,” katanya, Kamis (26/7/18).

Dia bilang, jika masyarakat Mausu Ane dikategorikan Komunitas Adat Terpencil (KAT), pola penanganan dengan relokasi. Namun, katanya, kalau mereka memilih berdiam di tempat itu, pola penanganan harus menggunakan in-situ atau penanganan dalam pemberdayaan komunitas adat terpencil pada lokasi setempat.

Sebaliknya, jika mereka memilih relokasi, harus pola penanganan ex-situ. Di mana, dari tempat asal mereka pindah ke tempat lebih baik.

“Relokasi ada syaratnya. Penanganan komunitas adat terpencil, salah satu syarat harus ada lahan yang disiapkan pemerintah. Tentu harus didukung  dokumen. Maka kita dalam memberikan penanganan KAT harus ada rekomendasi tentang lokasi yang akan digunakan,” katanya.

Dia merinci, syarat penanganan masyarakat kategori KAT, terdiri atas tiga tahapan, yakni, persiapan dari penjajakan awal, studi kelayakan dan studi semi lokal.

Menurut Pinning, kalau relokasi dilakukan mungkin lebih baik bagi warga hingga persoalan wilayah yang sulit terjangkau bisa teratasi. Dia bilang, kalau memberikan penanganan jauh, biaya juga paling tinggi.

“Kita menghindari itu, jangan sampai biaya tinggi tidak mampu melaksanakan penanganan secara baik. Kalau relokasi, mungkin satu pola yang jauh lebih baik.”

 

Sumber: AMAN

 

Nikoleus Boiratan, Raja Desa Maneo mengatakan, mendorong relokasi, yang penting disiapkan lokasi tak jauh dari hutan tempat mereka tinggal. Karena mereka sudah terbiasa dengan alam dan sulit beradaptasi dengan kalau keluar dari hutan.

Dia ingin, warga Mausu Ane bisa mendapatkan penghidupan layak. “Beta (saya) mendukung kebijakan pemerintah, tetapi untuk relokasi jangan terlalu jauh dari tempat mereka tinggal. Intinya untuk kebaikan dan kesejahteraan warga Mausu Ane, saya setuju,” katanya, Sabtu (28/7/18).

Dari 45 keluarga, katanya, 26 sepakat relokasi, sementara yang lain menolak dan belum mau menentukan sikap. Dia berharap, mereka setuju relokasi.

Masyarakat Mausu Ane yang hidup nomaden ini menempati bantaran tiga sungai,  yakni, Sungai Kobi, Tilupa dan Lailaha. Lokasi mereka ada di Dusun Maneo Rendah dengan jarak tempuh tiga jam gunakan kendaraan dari arah Wahai, Kecamatan Seram Utara atau delapan jam dari Masohi, ibu kota Malteng. Kemudian lanjut berjalan kaki selama delapan jam menuju desa terdekat.

Suku ini tinggal dan berpindah-pindah sejak turun temurun di Hutan Maneo Rendah, Pulau Seram.

Suku ini punya tradisi, kalau ada anggota keluarga meninggal, mereka akan meninggalkan tempat, dan mencari hunian baru.

Tradisi pemakaman warga suku ini, jenazah diletakkan di tempat tidur terbuat dari anyaman bambu. Setelah itu, mereka kemudian pergi, namun tak jauh dari tempat itu. Jenazah yang ditinggalkan konon tak mengeluarkan bau busuk. Kerangka jenazah akan dipindahkan dan dibawa ke gunung atau goa sesuai wasiat sebelum mereka meninggal dunia.

Suku ini, berbahasa Maluku dan tak bisa berbahasa Indonesia. Warga Mausu Ane juga berhati-hati dalam beradaptasi dengan masyarakat lain. Jika ada orang asing, mereka memilih menghindar dan mencari tempat persembunyian.

Orang-orang Mausu Ane memiliki kepercayaan dengan Sang Pencipta yang mereka sebut Yalahatala.

 

Keterangan foto utama:

Bantuan Kesehatan oleh tenaga medis di Puskesmas Pasahari, Kabupaten Maluku Tengah kepada warga Suku Mausu Ane. Foto: Dinas Kesehatan Maluku

Kebun terserang hama, hingga Suku Mausu Ane Negeri Maneo Rendah di pedalaman Gunung Murkele, kelaparan. Foto: BPBD Maluku Tengah

 

 

Exit mobile version