Mongabay.co.id

Kisah Pilu Evakuasi Duyung di Sulawesi Utara

Jumat (27/72018), Balai Taman Nasional Bunaken bersama warga dan pejabat setempat, melepasliarkan seekor anakan duyung (Dugong dugon) di perairan desa Tinongko, Minahasa Utara. Sebelum dilepasliarkan, anakan duyung ini sempat ‘nginap’ satu malam di styrofoam box. Di lokasi berbeda, Sabtu (28/7/2018), seekor duyung terperangkap jaring nelayan di perairan desa Barangka, kabupaten kepulauan Sangihe. Nasibnya lebih sial. Mamalia laut ini mati dan dikubur di pantai sekitar desa itu.

Kejadian pertama bermula ketika Cornelis Ma’ati dan Manede Ma’opo sedang mencari ikan. Saat itu, Kamis (26/7/2018), keluarga nelayan ini menyaksikan seekor duyung di sekitar rataan terumbu karang desa Tinongko, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Karena khawatir air surut, mereka mengarahkan duyung itu ke tengah laut.

“Satwa ini sering cari makan di sekitar nyare (rataan terumbu karang) yang ditumbuhi lamun. Jangan sampai kelupaan, kalau air surut dia bisa terdampar,” terang Cornelis Ma’ati dalam rilis yang diterima Mongabay.

Menjelang sore, di hari yang sama, warga desa Tinongko kembali menemukan duyung terdampar. Mereka yakin, dari ukuran dan lokasi terdampar, mamalia laut itu adalah anakan duyung yang sempat dilihat Cornelis dan Manede.

baca : Duyung dan Penyu Hijau Terperangkap Jaring Nelayan. Bagaimana Akhirnya?

 

Seekor anakan duyung (Dugong dugon) yang terdampar di perairan desa Tinongko, Minahasa Utara, Sulut ditempatkan di styrofoam box pada Jumat (27/72018). Foto : Balai TN Bunaken/Mongabay Indonesia

 

Karena air laut semakin surut, yang dikhawatirkan dapat membuat anakan duyung terluka, warga kemudian membopong dan meletakkannya dalam styrofoam box. Setelah itu, mereka melaporkan pada otoritas Balai Taman Nasional Bunaken (BTNB) dan pemerintah desa Tinongko.

Mendengar informasi warga, pihak BTNB sebenarnya berniat melepas anakan duyung itu pada malam hari ketika air pasang. Namun, pemerintah desa punya pertimbangan lain. Duyung itu akan dilepas keesokan harinya, Jumat (27/7/2018), untuk disaksikan jajaran pemerintah kabupaten Minahasa Utara.

“Kami siap berkoordinasi dengan pihak Balai Taman Nasional Bunaken bila menemukan kejadian serupa ataupun terkait dengan kawasan taman nasional,” terang Steri Adrian, hukum tua (kepala desa) Tinongko.

Arma Janti, kepala seksi pengelolaan taman nasional wilayah I TN Bunaken mengatakan, duyung merupakan satwa langka yang status perlindungannya tertuang dalam PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

“Kami menghimbau kepada masyarakat untuk bersama-sama menjaga kawasan dan satwa duyung apabila menemukan lagi,” himbau Arma Janti ketika melepasliarkan duyung di perairan desa Tinongko.

baca juga : Miris…Dugong Mati Terdampar di Polman, Malah Dijual untuk Konsumsi

 

Seekor anakan duyung (Dugong dugon) yang terdampar di perairan desa Tinongko, Minahasa Utara, Sulut dilepasliarkan di kawasan perairan Taman Nasional Bunaken pada Jumat (27/72018). Foto : Balai TN Bunaken/Mongabay Indonesia

 

Kemunculan duyung di sekitar perairan desa Tinongko, diyakini sebagai tanda bahwa perairan itu merupakan wilayah jelajah, bermain ataupun beraktifitas mencari makan. Fenomena itu juga menjadi tanda terjaganya lamun di lokasi rataan terumbu karang.

Duyung, kata Arma, sering mencari makan pada area yang banyak ditumbuhi lamun terutama di sekitar rataan terumbu karang. “Sering kemunculannya pada bulan gelap dan bulan terang. Kebetulan saat ini adalah bulan purnama, sehingga satwa tersebut nampak, sekaligus mencari makan.”

Anakan duyung yang dilepasliarkan di perairan desa Tinongko, memiliki panjang 135 cm, lebar dada 30 cm dan lebar ekor 26 cm. Pelepasliaran dilakukan pukul 14.49 Wita, dan disaksikan hukum tua desa Tinongko, Babinkamtibmas, anak-anak sekolah dan masyarakat pulau Mantehage.

 

Terperangkap Jaring Nelayan

Pada Sabtu (28/7/2018), seekor duyung mati setelah sempat terperangkap jaring nelayan. Ketika hendak dilepaskan, duyung yang terlihat lemah ini kembali ke jaring. Setengah jam kemudian, satwa itu mati ketika dibawa nelayan menuju darat.

Mamalia laut dengan panjang 2,30 meter, lebar 66 cm dan lingkar pinggang 1,70 meter, kemudian dikubur warga di sekitar pantai Barangka, kabupaten kepulauan Sangihe.

“Kata nelayan, sebelum dibawa ke darat, duyung sudah tidak bergerak. Biasanya mereka lepas. Tapi (ketika akan dilepas), duyung itu tidak muncul, ada di dalam air. Mungkin karena jaringnya cukup dalam, dan tidak diperiksa. Nelayan kira sudah tidak ada duyung di jaring itu,” terang Taufiq Onthoni, staf Perkumpulan Sampiri ketika dihubungi Mongabay, Sabtu (28/7/2018).

Setelah mengetahui duyung yang terperangkap jaring telah mati, mereka menariknya ke pantai untuk dikuburkan. Taufiq yang saat itu berada di lokasi mengatakan, tidak ada perlakuan khusus ketika mengubur duyung. “Hanya diangkat, seperti kubur orang saja,” ujarnya. “Setelah duyung dikubur, ada petugas yang menggali untuk melakukan pengukuran duyung.”

baca : Kisah Para Pemburu Dugong di Teluk Bogam

 

Seekor duyung (Dugong dugon) yang terperangkap jaring nelayan kemudian mati di perairan desa Barangka, kabupaten kepulauan Sangihe, Sabtu (28/7/2018). Duyung itu kemudian dikubur di pesisir pantai itu. Foto : Stevenly Takapaha/Stasiun PSDKP Tahuna/Mongabay Indonesia

 

Menurut Taufiq, pengetahuan masyarakat terbilang minim khususnya mengenai status perlindungan duyung. Informasi tentang itu, hanya disampaikan lewat komunikasi pada orang-orang terdekat. Maka, lewat peristiwa ini, pihaknya berencana melakukan sosialisasi pada masyarakat sekitar.

“Dulu, duyung di konsumsi. Tapi, teman-teman, khususnya dari Perkumpulan Sampiri menjelaskan bahwa duyung merupakan satwa yang dilindungi. Jangan dikonsumsi, biar sudah mati, nanti bisa kena hukuman,” jelas Taufiq.

  

Prosedur Evakuasi Duyung

 Billy Gustafianto Lolowang, Manager Wildlife Rescue & Endangered Species Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki mengatakan, proses evakuasi duyung harus dilakukan secara cepat dan hati-hati. Sebab, mamalia laut ini dinilai rentan terhadap dehidrasi dan paparan panas matahari.

“Jadi memang proses evakuasi kalau masih hidup, secepatnya harus dinaungi dengan payung untuk meminimalisir sengatan cahaya matahari, juga perlu dibasahi dengan air untuk menjaga kelembaban kulit. Memang, kadang rentan kematian juga, kalau agak lama terpapar panas, dehidrasi, bisa mati. Tapi untung, yang di perairan Bunaken selamat. Walaupun agak khawatir karena menunggu lama.”

Billy merasa prihatin, ketika mengetahui bahwa satwa itu diletakkan dalam styrofoam box yang terbilang sempit dan membuat duyung sulit bergerak. “Kalau masih bayi, sangat rentan. Perlu dicarikan orang tuanya, apakah masih di perairan sekitar atau tidak. Duyung anakan masih cukup bergantung pada induknya, karena mereka masih menyusui.”

baca juga : Jokowi : Ikan Putri Duyung Hanya Cerita. Begini 20 Fakta Sebenarnya Tentang Duyung

 

Seekor duyung (Dugong dugon) sedang memakan lamun di perairan Filipina. Foto : Jürgen Freund/WWF/Mongabay Indonesia

 

Dalam “Panduan Penanganan Mamalia Laut Terdampar”, yang diterbitkan Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan KKP tahun 2012, disebutkan bahwa masyarakat harus berhati-hati ketika menangani mamalia laut terdampar dalam keadaan mati.

Menyentuh mamalia laut yang mati, tidak disarankan bagi perempuan yang sedang hamil, anak-anak atau orang yang sedang mengalami luka di tubuhnya, karena banyaknya virus dan bakteri.

Panduan itu menyebut, cara terbaik melakukan disposal bangkai mamalia laut yang mati adalah dengan mengembalikannya ke laut. Misalnya, tutupi bangkai mamalia laut tersebut dengan jaring, pindahkan ke laut lepas dengan kedalaman minimum 20 meter.

“Semua orang yang sempat menyentuh bangkai mamalia laut tersebut diharapkan melakukan pembersihan diri dengan mandi karbol (alkohol) untuk membersihkan bakteri dari tubuhnya,” demikian tertulis dalam Panduan Penanganan Mamalia Laut Terdampar.

 

Bentuk Tim Khusus

Gustaf Mamangkey, koordinator Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi mengatakan perlunya membentuk sebuah tim khusus untuk menangani mamalia laut yang terdampar. Sebab, jika dilihat dari frekuensi dan variasi spesies, perairan Sulawesi Utara terbilang tinggi sebagai daerah mamalia laut terdampar.

Tim itu bertugas sesegara mungkin menyelamatkan mamalia laut jika melihat tanda-tanda kehidupan seperti adanya gerakan dan suara. “Kalau mamalia laut sudah mati, ambil sampel DNA, ukur tubuh, tafsir bobot, kemudian catat tanda-tanda kematiannya.”

Sayangnya, tim yang disebut first responder itu belum terdapat di Sulawesi Utara. Ketersediaan dana dan tenaga ahli menjadi beberapa persoalan yang belum terselesaikan. Namun, solusi lain yang bisa dipilih untuk meminimalisir ketiadaan first responder adalah dengan melakukan sosialisasi terkait perlindungan dan prosedur penanganan mamalia laut yang terdampar.

“Yang paling baik adalah edukasi pada masyarakat di kampung-kampung untuk menyelamatkan mamalia terdampar. First responder, kadang perlu waktu yang lama untuk menjangkau wilayah-wilayah yang jauh,” terang Gustaf.

 

Exit mobile version