Gempa bumi kekuatan 6,4 SR mengguncang Lombok pada Minggu (29/7/18), sekitar pukul 06:47 waktu setempat. Sampai 31 Juli 2018, korban tewas 17 jiwa, 401 orang luka-luka, 10.062 mengungsi dan 47.361 jiwa terdampak. Sekitar 1.200 pendaki baik mancanegara maupun warga Indonesia, berhasil dievakuasi dari Gunung Rinjani. Lombok termasuk daerah rawan tinggi gempa, hingga perlu ada kesiagaan bencana seperti membuat bangunan tahan gempa.
Siti Nur Iesmawida Istamil, satu dari 17 orang rombongan pendaki ke Gunung Rinjani. Warga Malaysia ini mendaki bersama 17 orang rekannya. Mereka turun dari Rinjani melalui pintu Sembalun Sabtu (28/7/18), sehari lebih cepat dari rencana turun pada Minggu (29/7/18). Mereka menginap di rumah Saaddudin, porter mereka, di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur.
Sesampai di rumah Saaddudin, 18 wisatawan Malaysia ini menginap semalam sebelum melanjutkan perlalanan keliling Lombok. Tepat Minggu pagi, seusai Subuh, rombongan menyiapkan perlengkapan. Tuan rumah memanaskan mesin mobil dan mengisi bensin. Berselang beberapa menit, gempa mengguncang.
Saaddudin saat itu berada di pinggir jalan berlari ke rumah. Di rumah masih ada anak dan istrinya. Tamu berhamburan keluar saat gempa pertama mengguncang. Rumah batako Saaddudin tak kuat menahan gempa. Ambruk. Bagian belakang rata dengan tanah. Enam tamu luka, Siti paling parah.
“Saat sampai di sini, sudah meninggal,’’ kata Erma, perawat Puskesmas Sembalun yang Mongabay temui di pos kesehatan darurat persis di depan Puskesmas Sembalun, sekitar lima km dari rumah Saaddudin.
Selain Siti, warga Lokok Puteq, Sembalun, Papuq Marinah (80), juga meninggal di pos kesehatan darurat. Dari rumah, Papuq masih sadar. Dia bersama enam anggota keluarga jadi korban.
“Saya baru mulai ngopi langsung ambruk tembok,’’ kata Amaq Naim (60), putera Papuq, alami luka pada kaki tertimpa tembok.
Satu keluarga besar ini jadi korban. Mereka adalah Muhsan (putra Amaq) terluka parah, Zainal Abidin (putra Amaq) luka ringan, Minerah (istri) luka ringan, Aris (cucu) patah kaki.
“Korban luka parah langsung kami rujuk ke rumah sakit, yang masih bisa dirawat di sini, kami siapkan tempat lebih bagus lagi,’’ kata Asrul Sani, Kepala Dinas Kesehatan Lombok Timur.
Di Desa Sajang, hampir setengah rumah warga di pinggir jalan utama retak. Sebagian roboh, bahkan ada beberapa rumah rata dengan tanah. Warga dengan rumah rata dengan tanah maupun rusak parah diungsikan ke lapangan desa.
Warga yang tempat tinggal terpencar di beberapa kampung, berinisiatif membangun tenda dengan terpal. Mereka takut ada gempa susulan. Rumah sudah retak.
Pengamatan Mongabay di Kecamatan Sambalia, desa paling parah tingkat kerusakan adalah Desa Madain. Di Kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut ini, ada tiga desa terdampak gempa, yaitu Desa Belanting, Obel-obel, dan Desa Madain.
“Rumah terdampak baik rusak berat maupun rusak ringan lebih 500 rumah,’’ kata Harun, Kepala Desa Obel-obel ditemui di pengungsian di SDN 1 Obel-obel.
Selain di Lombok Timur, gempa juga merusak ratusan rumah di Kecamatan Bayan, Lombok Utara.
“Logistik utama sudah disalurkan ke lokasi, mudah-mudahan data lengkap dan detail bisa segera didapatkan,’’ kata H Ahsanul Khalik, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB.
Gempa bumi berkekuatan 6,4 SR dengan dengan kedalaman 24 km ini menguncang beberapa daerah. Ia dirasakan antara lain di Lombok Utara, Lombok Timur, Mataram, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Sumbawa Besar. Juga di Bali seperti, Denpasar, Kuta, Nusa Dua, Karangasem, Singaraja, dan Gianyar.
Laporan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), sampai 31 Juli 2018, korban tewas 17 jiwa, 401 orang luka-luka, 10.062 mengungsi dan 47.361 jiwa terdampak.
Presiden Joko Widodo, pun turun langsung ke Lombok pada 30 Juli 2018. Dia mengunjungi tempat-tempat pengungsian warga korban gempa.
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika menyebutkan bahwa masih ada ancaman gempa susulan meski intensitas dan magnitude lebih kecil.
Hasil analisa BMKG, gempa bumi di Lombok merupakan gempa bumi akibat sesar naik flores (Flores back arc thrust) dan dipicu deformasi batuan dengan mekanisme pergerakan naik (thrust fault).
Laporan BNPB, sampai 31 Juli 2018 pagi, tak kurang terjadi gempa susulan 346 kali dengan kisaran kedalaman dangkal 5-10 kilometer.
Gubernur Nusa Tenggara Barat, Zainul Majdi telah menetapkan waktu tanggap darurat, selama lima hari terhitung 29 Juli-2 Agustus 2018.
Evakuasi pendaki berhasil
Berdasarkan data Taman Nasional Gunung Rinjani, pendaki di Gunung Rinjani saat kejadian 829 jiwa, terdiri dari 637 warga asing dan 192 warga Indonesia.
Setelah pencocokan data dari berbagai pihak terkait jumlah pengunjung atau pendaki yang keluar, TNGR telah mengeluarkan data resmi. Jumlah seluruh pengunjung berhasil dievakuasi 1.226 orang, 696 warga asing, dan 530 warga Indonesia selama Minggu (29/7/18) hingga Selasa (31/7/18). Satu korban tewas pendaki asal Makassar, Sulawesi Selatan, M. Ainul Taslim, telah berhasil dievakuasi tim gabungan.
“Sebanyak 1.226 pengunjung dievakuasi dalam kondisi selamat,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB.
Evakuasi dilakukan selama tiga hari. Minggu (29/7/18) sebanyak 669 orang, 507 WNA dan 162 WNI. Senin (30/7/18) ada 543 pengunjung, 189 WNA dan 354 WNI. Semua evakuasi gunakan jalur darat. Pada Selasa (31/7/18) dievakuasi 14 WNI dan Ainul.
Laporan BTNGR, katanya, saat ini kawasan taman nasional kosong dari pengunjung. “Artinya sudah tak ada pengunjung di TNGR. Semua telah dievakuasi dengan selamat.”
Hingga kini, TNGR masih dinyatakan tertutup untuk pendakian dan wisata. PVMBG bersama BTNGR akan memantau lapangan terkait ancaman longsor di jalur pendakian Sembalun dan Senaru.
“Gempa-gempa susulan masih berlangsung khawatir memicu longsor.”
Rawan tinggi gempa
Sutopo mengatakan, Lombok dan Sumbawa merupakan daerah rawan tinggi gempa. Ancaman gempa itu, katanya, berasal dari Sesar Flores yang memanjang dari Laut Arafuru hingga Selat Lombok, di bagian utara dan jalur subduksi.
Jalur subduksi ini, katanya, merupakan pertemuan lempeng Hindia Australia dan Eurasia di selatan yang bergerak rata-rata tujuh cm per tahun dan sesar-sesar di daratan.
Gempa susulan masih mungkin terjadi. “Gempa itu tak bisa diprediksi di mana titiknya dan kapan. Kalau dibilang masih mungkin atau tidak ada gempa, ya, masih mungkin. Tapi, dari yang kejadian-kejadian yang sebelumnya biasa gempa susulan tidak akan lebih besar dari gempa induk,” katanya.
Dia menyarankan, bagi masyarakat jangan menempati bangunan-bangunan rusak karena gempa utama. Menurut dia, penataan ruang pada daerah rawan gempa bukan penyebab timbul korban, tetapi kualitas bangunan.
Peta gempa dan antisipasi
Danny Hilman, ahli gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, gempa ini merupakan informasi baru dari peta gempa lama.
Peta gempa lama, katanya, potensi gempa besar hanya berada di laut, ternyata sampai ke darat. ”Lombok itu memang belum dipetakan (secara menyeluruh) hingga wajar jika belum tahu karena belum ada studi detail,” katanya.
Dengan temuan jalur gempa di darat ini, peta gempa pun akan berubah. Untuk itu , katanya, perlu lebih detil kalau ada daerah gempa baru. Kesiagaan bencana harus dilakukan. Upaya antisipasi, katanya, antara lain, bangunan tahan gempa di seluruh Indonesia mengikuti kerentanan wilayah.
Saat ini, katanya, regulasi hanya mewajibkan bangunan tahan gempa untuk yang besar dengan tingkat minimal lima. Sedangkan rumah penduduk belum wajib. Kondisi ini, katanya, harus jadi perhatian.
Eko Teguh Paripurno, Direktur Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional berpandangan, di Lombok ini jarang gempa meski rawan erupsi gunung api.
Data BNPB, gempa besar bersumber dari Sesar Flores, pernah terjadi di Lombok 30 Mei 1979 (6,1SR), 20 Oktober 1979 (6,2SR), 17 Desember 1979 (6,3SR). Di Sumbawa, 1 Desember 2006 (6,3SR), 25 November 2007 (6,5SR), 8 November 2009 (6,6SR)
”Jarang gempa, orang jadi tidak siap. Perlu dilihat, apa tipikal bangunan di sana bangunan di tempat aman (dari gempa), tidak ada tulangan?”
Meskipun, katanya, bangunan adat di sana secara konstruksi lebih kuat karena pakai kayu tetapi menyebabkan dampak lebih besar karena runtuhan bangunan tak tahan gempa.
Dia menyarankan, untuk penanganan gempa ini semua elemen mulai merapat dengan sumber daya masing-masing dan perlu koordinasi baik.
Keterangan foto utama: Korban gempa bumi di tenda di halaman Puskesmas Belanting, Kecamatan Sambalia. Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia