Mongabay.co.id

Sapi Doyan Makan Sampah, Apa Risiko bagi Pengkonsumsi?

Puluhan sapi yang lepas di TPA di Bantul. Mereka memakan sampah-sampah di sana. Penelitian menyebut, binatang ternak makan sampah terkontaminasi zat berbahaya dan bisa berisiko ketika dikonsumsi manusia. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Menggembalakan sapi di TPA mendorong binatang ternak itu doyan makan sampah. Hasil penelitian, memperlihatkan, binatang-binatang itu terkontaminasi zat-zat berbahaya dan berisiko bagi orang yang mengkonsumsinya. Jelang Idul Adha ini, masyarakat diminta berhati-hati dan pastikan membeli binatang kurban sehat dan bersertifikat sehat.

 

Di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, Piyungan, Bantul, Yogyakarta, puluhan sapi dan kambing berkeliaran dan memakan sisa-sisa sampah. Pantauan Mongabay beberapa bulan lalu, terpantau sampah organik sampai anorganik jadi santapan ternak-ternak ini.

Menanggapi itu, Edi Suryadi, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada kepada Mongabay mengatakan, masyarakat tak usah membeli sapi yang dipelihara dari lingkungan sampah karena kemungkinan besar terkontaminasi berbagai macam penyakit.

“Sapi pemakan sampah banyak sumber penyakitnya,” katanya.

Sapi pemakan sampah kemungkinan daging terkontaminasi penyakit. Daging sapi bisa mengandung logam berat hingga berbahaya. Daging konsumsi, katanya harus sehat dan higienis.

Selain terkontaminasi logam berat, sapi pemakan sampah berisiko terkena penyakit infeksi bakteri dan virus.

Dia bilang, konsumsi daging sapi mencapai 2,56 kg per kapita per tahun. Konsumsi makan daging Indonesia masih kalah dengan Malaysia 15 kilogram per kapita setahun.

Tak lama lagi, Idul Adha, yang dikenal juga Hari Raya Kurban. Warga banyak berkurban dengan menyembelih binatang ternak, seperti sapi dan kambing.

Sebelum berkurban, dia menyarankan warga menghubungi Dinas Peternakan atau dokter hewan untuk pemeriksa hewan.

“Untuk mengetahui kondisi kesehatan hewan sebelum dan setelah disembelih. Lakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem pada dokter hewan,” katanya.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret Solo dalam penelitian tahun 2015,  menemukan zat kimia plumbum atau timbal melebihi ambang batas aman pada sapi-sapi pemakan sampah.

 

Puluhan sapi di TPA Piyungan, Bantul, tampak makan sampah plastik. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Dihubungi Mongabay pengajar Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Pranoto mengatakan, dalam  penelitiannya daging sapi pemakan sampah dikonsumsi manusia, bisa menyebabkan gangguan pencernaan dan jangka panjang mengakibatkan kanker, penuaan dini, dan menurunkan daya tahan tubuh.

“Kandungan timbal di seluruh bagian tubuh sapi, paling mudah terkena dampak anak-anak,” katanya, minggu lalu.

Dalam penelitian itu dia menemukan kandungan timbal (Pb) tinggi dalam daging sapi yang memakan sampah di TPA Putri Cempo, Mojosongo, Surakarta. Sapi-sapi yang digembalakan di sana tak layak konsumsi, terutama untuk jadi hewan kurban.

Hasil penelitian Pranoto berdasarkan sampel sapi yang digembalakan di Putri Cempo,  medio Januari-Februari 2017 itu sama dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan kandungan timbal tinggi, melebihi ambang batas.

Sementara ambang batas kandungan Pb ditentukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah 1 ppm (part per million).

Penelitian Pranoto menunjukkan, hasil 13-17 ppm untuk sapi pengonsumsi sampah lama dan 1,46-1,7 ppm untuk sapi pemakan sampah baru.

Berbeda dengan hasil penelitian 2016, menunjukkan, kandungan timbal 15 ppm untuk pemakan sampah lama. Pemakan sampah baru, kadar timbal 1,4 ppm.

Dia bilang, penggunaan metode beda. Awalnya metode UV-VIS (ultra violet visible spectophotometry), sebelumnya metode AAS (atomic absorbtion spectophotometry.

Dia menyarankan, sapi di TPA Puteri Cenpo tidak layak konsumsi karena mengandung timbal tinggi, membahayakan kesehatan antara lain penurunan tingkat kecerdasan (IQ) anak-anak, hingga menimbulkan pembengkakan hati dan kemungkinan merusak organ tubuh lain. “Masyarakat diminta waspada dalam memilih daging sapi atau hewan kurban,” kata Pranoto.

Namun demikian, katanya, kadar timbal tinggi pada sapi pemakan sampah sebenarnya bisa turun, dengan karantina selama tiga bulan sebelum potong. Selama karantina, sapi harus mendapat pakan rumput hijau. Kandungan protein rumput bisa menetralisasi timbal dan meluruhkan melalui kotoran atau urine.

“Sapi karantina harus mendapat minum cukup dan nutrisi serta protein baik,” ucap Pranoto.

Pulung Haryadi, Kepala Dinas Pertanian Pangan Kelautan dan Perikanan, Bantul, meminta masyarakat waspada membeli sapi untuk kurban. Pasalnya, ratusan sapi di Bantul memakan sampah di TPST Piyungan.”Jika (daging sapi pemakan sampah) dikonsumsi dalam waktu lama, bisa menimbulkan kanker,” katanya.

Dia mengaku sulit memantau penjualan hewan kurban di 2.000 titik di Yogyakarta, hingga mengimbau masyarakat mengetahui asal usul sapi kurban. Meskipun demikian, dia memastikan tak ada hewan kurban dari daerah endemi antraks, seperti dari Kulonprogo.

Dia meminta, masyarakat bisa membedakan sapi pemakan sampah dengan sapi pemakan rumput. “Pastikan sapi atau kambing kurban ada sertifikat sehat. Agar layak konsumsi, sapi pemakan sampah harus karantina selama enam bulan dengan konsumsi makanan alami dan ada sertifikat sehat.”

 

Keterangan foto utama: Puluhan sapi yang lepas di TPA di Bantul. Mereka memakan sampah-sampah di sana. Penelitian menyebut, binatang ternak makan sampah terkontaminasi zat berbahaya dan bisa berisiko ketika dikonsumsi manusia. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version