Mongabay.co.id

Begini Cara Mereka Tumbuhkan Cinta Lingkungan

Pengunjung Pasar Papringan Ngadiprono melewati peneduh dari anyaman bambu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Setiap Rabu sore, puluhan anak-anak berkumpul di rumah warga bernama Sulis, di RW06, Kampung Jetisharjo, di sekitar Sungai Code. Yogyakarta.

Mereka belajar bahasa Inggris dari para relawan. Sekolah Sungai, sebutan untuk nama kegiatan belajar itu, mengajak anak-anak mencintai lingkungan, dan perilaku hidup sehat.

“Kurikulumnya kita kembangkan sendiri. Materi infant English, berisi pelajaran tentang lingkungan dan practical healt. Karena sangat penting bagi anak-anak yang tinggal di bantaran sungai, yang berhubungan langsung dengan alam, memiliki pemahaman lingkungan,” kata Surayah Ryha, salah satu pendiri Project Child Indonesia.

Kemungkinan besar, katanya,  di lingkungan sekolah atau rumah masalah itu tak banyak tersentuh. Jadi kelas-kelas ekstra seperti Sekolah Sungai sangat penting buat anak-anak.

Septian Fajar, manajer program Project Child Indonesia menjelaskan,  Sekolah Sungai menggunakan metode pembelajaran project based learning. Anak-anak itu didampingi relawan merancang proyek yang diinginkan. Misal, membuat kompos, memilah sampah organik dan anorganik, dan pengelolaan sampah sekitar tempat tinggal.

Sekolah Sungai,  tak hanya diselenggarakan di Code, juga di Sungai Winongo, Kelurahan Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Di kampung ini,  Sekolah Sungai,  sudah ada sejak 2011 di Code pada 2015.

”Karakter anak-anaknya mirip. Lokus juga TK, SD sampai kelas 6. Materi pelajaran sama. Bedanya, kalau di Kricak orang tua kan sibuk. Bapak ibunya pemulung atau tukang becak, jadi jarang di rumah. Anaknya biasa butuh perhatian lebih sebelum kelas dimulai,” kata Aya, panggilan akrab Surayah.

Kondisi di bantaran Sungai Code, rata-rata mereka berjualan, atau petugas kebersihan. Hingga jam kerja jauh lebih teratur. Anak-anak Code pun relatif lebih mendapat perhatian orang tua.

Agar tak jemu, materi pelajaran biasa dikemas dalam bentuk permainan. Jadi anak-anak bermain sambil belajar bahasa Inggris, dengan muatan pengenalan lingkungan sendiri.

 

Jembatan Sarjito yang melewati Sungai Code di Jetisharjo. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Tak hanya lingkungan sungai juga laut, karena sungai-sungai mereka akhirnya mengalir hingga ke laut.

Pelan tetapi pasti, ada perubahan kebiasaan warga di bantaran sungai terkait membuang sampah.

“Setelah tujuh tahun berjalan, kalau yang di Kricak sebelumnya mereka buang sampah di sungai, sekarang sudah ada larangan dari kampung sendiri. Orang tua sudah mengambil bagian yang aktif untuk tak sembarangan membuang sampah di sungai.”

Hal yang menarik, tingkat pemahaman anak terhadap materi pelajaran tentang lingkungan juga meningkat, misal, di Code, anak sudah bisa menjelaskan hubungan antara plastik dan penyu. Dulu,  mereka belum pernah mendengar kata konservasi atau kepunahan. Kini,  mereka bahkan sudah bisa menjelaskan hubungan antara sungai dan laut.

Dulu,  katanya, kalau ditanya sampah di sungai depan rumah ke mana, ada yang menjawab tenggelam, atau ke pinggir sungai. Jangkauan pemahaman mereka, katanya,  belum sampai ke titik bahwa sungai akan berpengaruh ke sungai selanjutnya, dan berakhir ke laut.

“Nah,  sekarang anak-anak sudah bisa menjawab, sampah kalau ke laut nanti bisa dimakan penyu karena satwa ini mengira itu sebagai makanan.”

Project Child juga mencoba mengintegrasikan program dengan pengembangan kampung wisata Code, antara lain memfasilitasi warga membuat tur kampung, kelas memasak, dan pentas seni budaya.

“Peminat wisata umumnya mahasiswa pertukaran dan turis mancanegara. Mereka tertarik dengan kehidupan di pinggir sungai di Yogyakarta,” kata Fajar.

 

Pendekatan kreatif

Pasar Papringan, di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Temanggung,  adalah contoh lain keberhasilan pendekatan kreatif merawat lingkungan, terutama kebun bambu.

Lokasi terbilang cukup terpencil dari pusat kota Temanggung. Untuk tiba di lokasi, pengunjung harus menempuh perjalanan lewat jalan kabupaten sekitar 10 km, lalu jalan kecamatan lima km, dan jalan desa sekitar dua km.

Pada saat gelaran Pasar Papringan, jalan desa itu kadang macet oleh pengunjung. Baik yang memakai sepeda motor, mobil, maupun jalan kaki karena tak sabar segera tiba di lokasi.

Pada Minggu, 8 Juli lalu, seperti biasa, pasar selalu ramai pengunjung. Pasar Papringan Ngadiprono, dibuka mulai pukul 6.00 pagi dan dagangan habis dibeli pengunjung pukul 12.00 siang. Sebulan digelar dua kali, menurut hari pasaran Jawa: Minggu Wage dan Pon.

“Kalau yang kemarin itu gelaran ke-20, pengunjung stabil di angka 3.500. Sekarang, kami tak ingin pengunjung terlalu tinggi, agar yang lain bisa menikmati, biar lebih nyaman. Tapi tetap tidak dibatasi,” kata Imam Abdul Rofiq, kepada Mongabay.

Dia ketua Komunitas Mata Air, pengelola gelaran Pasar Papringan Ngadiprono. “Omzet di angka 30.000 sampai 40.000 koin.”

 

Pasar Papringan Ngadiprono selalu dibanjiri pengunjung. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Koin yang dimaksud adalah pring, “mata uang” yang hanya berlaku di Pasar Papringan. Nilai satu Pring kini Rp2.000. Itu berarti omzet setiap gelaran di kisaran Rp60 juta hingga Rp80 juta. Jumlah pelapak mencapai 70 orang, merupakan warga Ngadiprono dan sekitar.

Imam bilang, setelah ada gelaran Pasar Papringan, bertahap warga mulai memahami bentuk perilaku yang mendukung lingkungan.

Untuk keperluan Pasar Papringan, sejak awal Spedagi sebagai tim pendamping melarang pemakaian plastik, bahan pewarna buatan, MSG. Pengunjung dilarang merokok di area kebun bambu. Sabun untuk mencuci peralatan makan pun terbuat dari lerak, bahan cuci alami.

“Kita sudah mulai pengomposan daun bambu. Setiap seminggu sekali warga kerja bakti menyapu kebun bambu. Daun-daun dibuat kompos. Semoga melebar ke pengelolaan sampah dalam skala dusun.”

Dalam waktu dekat, kebun bambu sebagai lokasi Pasar Papringan diperluas. Dari semula 2.500 meter persegi jadi 3.500 meter persegi.

“Nanti kita kembangkan jadi destinasi baru yang bisa dikunjungi setiap hari. November kita ada konferensi internasional revitalisasi desa, ada tiga proyek pra konferensi. Salah satu Jelajah Tambu Jatra.”

Tambu Jatra adalah singkatan dari Taman Bambu Jalan Trasah, dua hal yang selama ini jadi ikon Pasar Papringan.

Kelak pengunjung bisa menikmati keindahan kebun bambu sembari berjalan-jalan di jalan berbatu khas pedesaan. Selain itu, pengunjung juga bisa mendapat edukasi tentang bambu melalui laboratorium bambu, juga contoh jalan trasah di Indonesia.

Agar tak muncul konflik sebagaimana sering terjadi dalam pengelolaan wisata berbasis masyarakat, sejak awal membangun Pasar Papringan,  sudah ada sosialisasi dan kesepakatan.

“Misal, berapa untuk parkir nanti yang masuk kas dusun, kas kelompok, kas desa. Di pelapak ada untuk operasional dan pengembangan, ke mereka langsung, dan tabungan. Jadi sudah disepakati dari awal.”

Selain friksi bisa diredam, mereka kini bahkan saling mendukung karena keberhasilan Pasar Papringan dirasakan sebagai keberhasilan kelompok. Warga bisa melihat sendiri hasilnya.

“Lingkungan jadi lebih baik, sumber daya manusia meningkat, ada tambahan penghasilan, infrastruktur di sini juga makin baik.”

Meski berhasil mendatangkan wisatawan, Imam menolak disebut pendekatan wisata untuk konservasi lingkungan.

“Pendekatannya bukan wisata, karena niatnya bukan bikin wisata. Ini konservasi bambu dengan pendekatan kreatif,” ucap Imam.

 

Keterangan foto utama: Pengunjung Pasar Papringan Ngadiprono melewati peneduh dari anyaman bambu. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Warga berjalan-jalan kampung pinggir Sungai Code. Terlihat rapi dan tidak kumuh. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version