Mongabay.co.id

Cagar Alam Leuweung Sancang Tanpa Mangrove, Apa Jadinya?

 

Debur ombak pagi menyambut langkah kaki Asep Beny menuju muara Sungai Cibaluk, di Pantai Cijeruk, Desa Sagara, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Minggu (22/7/2018). Dibantu kelompok mahasiswa pencinta alam Biocita Formica Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dia menanam bibit mangrove jenis Rhizophora   spp untuk pelestarian lingkungan pesisir.

Asep tak canggung berbaur, meski rentang usia antara dia dan mahasiswa itu terpaut jauh. “Saya senang bekerja sama dengan generasi muda yang peduli lingkungan,” kata pria 36 tahun kepada Mongabay Indonesia.

Penanaman mangrove merupakan rangkaian kegiatan Sancang Conservation Service Camp di Cagar Alam (CA) Leuweung Sancang. Bagi Asep yang berdomisili di Jakarta, arti konservasi sangat penting digalakkan. Terlebih, sebagai relawan kebencanaan, ia paham betul upaya merawat lingkungan memang harus terus dilakukan.

“Sebetulnya, melalui cara sederhana ini bisa meminimalisir potensi bencana. Mencegah lebih murah ketimbang memulihkan lingkungan,” ucap Asep yang tergabung dalam Relawan Semesta Hijau Dompet Dhuafa. Ia juga tanpa sungkan mengajak beberapa rekannya asli Garut untuk ikut belajar.

Pandangan senada juga dituturkan Asyifa, 19 tahun. Mahasiswi Biologi UPI Bandung itu terpaksa meninggalkan zona nyamannya menikmati libur kuliah. Dia mengatakan, berkegiatan di alam sangat menyenangkan, meski tidak semua orang tertarik.

“Saya ingin meneliti kekayaan alam Indonesia, semoga bisa terwujud,” ujar gadis asal Bogor yang baru pertama kali menanam mangrove.

Baca: Mongabay Travel: Sisa Penjarahan dan Absennya Simbol Keberadaan Negara di Cagar Alam Leuweung Sancang

 

Mangrove tidak hanya penting bagi sebagai pencegah abrasi tetapi juga bermanfaat bagi kehidupan satwa liar dan manusia. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Terabaikan

CA Leuweung Sancang merupakan hutan alami dengan luas sekitar 2.157 hektar. Hutan mangrove mendominasi kawasan ini. Namun, keberadaan wilayah konservasi ini mulai kurang asri akibat dijamah manusia. Untuk itu, komposisi vegetasi hutan mangrove sangat dibutuhkan sebagai upaya pemulihan.

“Saya sudah lama tidak lagi melihat bakau tumbuh di sekitar pantai Cijeruk. Dulu memang pernah ada,” ungkap Yayan warga sekitar.

Fenoma degradasi kawasan konservasi di selatan Kabupaten Garut ini diamini Dosen Biologi UPI Yusuf Hilmi. “Leuweung Sancang sudah banyak perubahan,” kata Yusuf yang sudah 30 tahun meneliti dan melakukan pengamatan lapangan ini.

Ia menjelaskan, dari segi visibilitas, hutan Sancang memiliki tingkat pandang yang bebas dengan panorama alam indah dan eksotis. Namun, akan jauh berbeda ketika kita berada di dalam hutan, sulit untuk melihat ke arah pantai. Ini dikarenakan susunan pepohonan di Sancang begitu rapat.

Baca juga: Habitat Kedua Untuk Badak Jawa, Kapan Diwujudkan?

 

Menanam mangrove merupakan cara memulihkan lingkungan di sekitar CA Leuweung Sancang, Garut. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kata Yusuf, Leuweung Sancang memiliki keunikan. Salah satunya adalah topografi yang landai dengan menjorok ke pantai. Hal ini mendukung Leuweung Sancang memiliki beragam ekosistem seperti terumbu karang, padang lamun, hingga mangrove.

Pada ekosistem mangrove, misalnya, Leuweung Sancang memiliki Avicennia alba, Rhizophora dan kendeka (Bruguiera spp.) serta kaboa (Aegiceras corniculata) yang dinilai sudah sulit dilihat. Leweung Sancang merupakan satu-satunya wilayah di pesisir pantai selatan yang masih ditemukan mangrove.

“Di pantai selatan mangrove sudah hilang. Sangat disayangkan bila hal serupa juga terjadi di sini. Maka, penting sekali untuk direboisasi kembali,” tegas Yusuf.

 

Mangrove di CA Leuweung Sancang mulai kurang asri akibat dijamah manusia. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Asa pemulihan

Analis Data Direktorat Kemitraan Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Habibi mengatakan, kepedulian generasi muda ini harus diapresiasi. “Meskipun kewenangan pengelolaan kawasan berada di wilayah Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem,” jelasnya.

Habibi menuturkan, pihaknya tidak memilki program khusus perihal penanaman jutaan mangrove. Salah satu alasanya, reboisasi mangrove tidak gampang. Diperlukan perawatan intensif pada masa pertumbuhan 1 – 3 tahun pasca-penanaman, sehingga butuh konsistensi tinggi perawatannya. “Mereka yang sudah diberikan pemahaman dan pelatihan ini, mungkin kedepannya bisa menjadi solusi. Diharapkan, menjadi inspirasi bagi masyarakat dan lingkungan sekitar,” urainya.

 

Apa jadinya andai mangrove hilang dari CA Leuweung Sancang? Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Kepala Resot CA Leuweung Sancang Ade Syamsuli mengakui bahwa hilangnya sebagian mangrove tidak lepas dari intervensi masyarakat yang masuk cagar alam. Dia mengatakan, persoalan itu sudah lama terjadi di wilayah kerjanya. Pihaknya mengaku sudah melakukan berbagai upaya agar masyarakat tidak masuk, akan tetapi kalah dengan masyarakat yang berkilah untuk urusan ekonomi.

“Kegiatan ini membantu kami menumbuhkan kepedulian, sekaligus ketika pulihnya ekosistem mangrove menghadirkan jawaban bahwa untuk mendapatkan keuntungan ekonomi ada acara lain,” imbuh Ade.

 

Pemulihan mangrove di CA Leuweung Sancang harus terus dilakukan agar ekosistem kembali seperti semula. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Ketua Pelaksana Muhammad Haekal berujar, mangrove yang ditanam akan terus dipantau berkala setahun. “Kegiatan ini murni swadaya rekan-rekan yang peduli lingkungan. Ini pengalaman sekaligus pembelajaran bagi kami, segala sesuatu ada prosesnya,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version