Mongabay.co.id

Kerja Keras, Solusi Keluarkan Situs Warisan Dunia Berstatus Bahaya

Andatu yang kini telah berusia 5 tahun di SRS, Way Kambas, Lampung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatera atau Tropical Rainforest Heritage of Sumatera   (TRHS) dari status Bahaya harus dibuktikan. Pasalnya, Komite Warisan Dunia UNESCO masih mempertahankan status tersebut untuk tiga taman nasional yang ditunjuk pada 2004 itu: Gunung Leuser, Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan Selatan.

Direktur Yayasan Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC), Panut Hadisiswoyo mengatakan, penetapan keputusan tersebut telah dilakukan pada pertemuan Komite Warisan Dunia ke-42 di Bahrain, 26 Juni 2018.

“Komite Warisan Dunia telah memperbarui langlah-langkah penanganan ancaman seperti perburuan, penebangan liar, perambahan, dan pembangunan jalan yang terjadi di wilayah Situs warisan Dunia. Terlebih di Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), tempat hidup terakhir gajah, harima, badak, dan orangutan sumatera,” jelasnya mewakili masyarakat sipil yang bekerja untuk perlindungan KEL.

Keputusan ini mempertegas bahwa KEL merupakan bagian dari hutan tropis Sumatera yang penting bagi kehidupan kita bersama. Keputusan komite ini juga menuntut adanya kajian dampak pembangunan jalan dan bendungan, terutama yang diusulkan atau direncakanan dalam KEL.

“Termasuk, harus dilakukan evaluasi terhadap proyek-proyek yang berimbas pada kelestarian tiga taman nasional tersebut. Artinya, Pemerintah Indonesia harus menanggapi serius dampak pembangunan infrastruktur, terutama yang mengganggu jalur pergerakan satwa dilindungi dan langka,” terangnya baru-baru ini.

Khusus perlindungan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), daerah-daerah penyangganya harus dikelola secara tepat. Dengan begitu, daerah penting dataran habitatnya orangutan, harimau, badak, dan gajah, terlindungi.   “Kami akan terus mendukung dan berkolaborasi dengan Pemerintah Indonesia untuk memastikan nilai-nilai kehidupan di KEL terlindungi sepenuhnya,” terangnya.

Baca: Komitmen Menjaga Leuser Sebagai Situs Warisan Dunia Harus Dibuktikan

 

Penutupan jalan liar yang berada di batas Taman Nasional Gunung Leuser. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

Sementara itu, pertengahan Juli 2018, Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) bersama Kepolisian, TNI, dan LSM lingkungan telah menutup jalan ilegal yang dibuka di dalam hutan Leuser.

Kepala BPTN Wilayah I Tapaktuan, Buana Darmansyah mengatakan, penutupan jalan tersebut berlokasi di Desa Ujung Mangki, Kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan.   “Kami tutup dengan kanal   blocking dan parit sebagai tanda batas TNGL dengan masyarakat sekitar,” jelasnya.

Kanal   blocking   selain   sebagai   sekat bakar juga dapat mengembalikan fungsi kawasan gambut sebagai daerah resapan air, pengendalian banjir   di musim hujan dan sumber air saat kemarau. “Penutupan jalan lair dilakukan dengan menggali empat lubang yang panjangnya sekitar 700 meter,” jelasnya.

Baca juga: Predikat Kawasan Strategis Nasional Tidak Ampuh Lindungi KEL dari Kerusakan

 

Perambahan, pembalakan, dan pembukaan jalan liar merupakan masalah yang ditemui di wilayah TNGL. Foto: Forum Konservasi Leuser

 

Data yang dikeluarkan   Yayasan   Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menunjukkan, kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) periode Januari hingga Juni 2018 seluas 3.290 hektar. Dari jumlah itu, 368 hektar berada di Taman Nasional Gunung Leuser. Penyebab utamanya adalah perambahan dan pembalakan liar.

“Rinciannya, di Kabupaten Gayo Lues kehilangan tutupan hutan mencapai 226 hektar, Aceh Tenggara (128 hektar), dan Aceh Selatan (14 hektar),” jelasnya Agung Dwinurcahya, Manager Geographic Information System   HakA.

 

Badak sumatera, satwa langka dilindungi yang hidup di Leuser. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Forum Konservasi Leuser (FKL) juga merilis data kejahatan kehutanan yang terjadi di TNGL dari Januari – Juni 2018. Selama enam bulan, terjadi 451 aktivitas ilegal di kawasan tersebut.

“Pembalakan liar ada 189 kasus, perburuan (141 kasus), perambahan (115 kasus), dan pembangunan jalan (6 kasus),” jelas Manager Database FKL, Ibnu Hasyim.

 

 

Exit mobile version