Mongabay.co.id

Lumpur di Danau Ini Mengungkap Misteri Runtuhnya Peradaban Suku Maya

 

Suku Maya adalah salah satu peradaban kuno paling fenomenal yang pernah ada di dunia. Kurang lebih 3.000 tahun dominasi mereka tampak di kawasan Mesoamerika yang kini dikenal sebagai Meksiko, Guatelama, Honduras, Belize, dan El Salvador. Bangsa ini membangun struktur arsitektur rumit dengan masyarakat berteknologi maju.   Bangunan-bangunan piramida, penguasaan matematika juga literatur, astronomi, sistem kalender, dan seni adalah fenoma mengesankan yang mereka tunjukkan saat itu.

Peradaban Maya dibagi empat periode utama: Pra-Klasik (2000 SM – 250 M), Klasik (250 SM – 800 M), Klasik Terminal (800 – 1000 M), dan Pos-Klasik (1000 SM – 1539 M). Periode Klasik ditandai pembangunan arsitektur monumental, perkembangan intelektual dan artistik, serta pertumbuhan negara-kota besar.

Abad ke-6 Masehi,   kekaisaran Maya mencapai puncaknya. Namun, kejayaan itu runtuh pada abad 8-9 Masehi.   Bahkan,  di tahun 900-an Masehi tidak ada satu monumen pun yang dibangun oleh peradaban ini terlihat.

Sejak lama, para ilmuwan berdebat untuk mengetahui penyebab keruntuhan kilat peradaban tersebut. Teori umum penyebab hilangnya Suku Maya yang muncul adalah karena penyakit, perang, atau konflik sosiopolitik.

 

Pirámide de los Cinco Pisos yang merupakan piramida 5 lantai setinggi 31 meter buatan Bangsa Maya, berlokasi Great Plaza. Kredit foto: Nick Evans via The Phys.org

 

Dalam studi terbaru, para ilmuwan menemukan petunjuk yang terkubur jauh di dalam lumpur Danau Chichancanab, di ujung Semenanjung Yucatan, Meksiko. Sebagaimana dikutip dari dari Phys.org, penelitian ini menunjukkan bahwa peradaban suku ini kemungkinan besar runtuh dalam waktu singkat disebabkan satu hal, yakni  kekeringan yang parah.

Dampak kekeringan ini membuat Suku Maya kesulitan mengumpulkan air minum dan mengairi tanaman mereka, yang akhirnya membuat mereka meninggalkan kawasan tersebut.

 

Topeng Dewa Hujan Maya ‘Chaac’ di sebuah bangunan di Labná di wilayah Puuc di Semenanjung Yucatán bagian utara. Kredit foto: Mark Brenner (co-author) via The Phys.org

 

Peneliti dari University of Cambridge (Inggris) dan University of Florida (AS) sebagaimana dijelaskan dalam Journal Science mengembangkan metode untuk mengukur berbagai isotop air yang terperangkap dalam kristal mineral gipsum (kalsium sulfat). Mineral yang terbentuk selama masa kekeringan ketika jumlah air menurun, di Danau Chichancanab, wilayah Suku Maya menetap diteliti. Hal ini untuk mengetahui secara akurat curah hujan, kelembaban relatif, dan penguapan yang terjadi waktu itu.

 

Danau Chichancanab, tempat penelitian. Chichancanab berarti “Laut Kecil” di Yucatec Maya, mencerminkan airnya yang relatif asin, didominasi kalsium dan sulfat. Kredit foto: Mark Brenner (co-author) via The Phys.org

 

Selama kekeringan, air akan lebih banyak menguap dari danau. Dikarenakan isotop lebih ringan, atau varian kimia dari air menguap lebih cepat, proporsinya yang lebih tinggi menunjukkan kekeringan. Menurut Nick Evans dari Universitas Cambridge, peran perubahan iklim dalam kepunahan peradaban Maya amat kontroversial. Ini lebih karena minimnya catatan, misalnya apakah kondisi cuaca saat itu basah atau kering.

“Studi kami mewakili sebuah kemajuan, karena memberikan perkiraan curah hujan dan level kelembaban cuaca di masa-masa kepunahan Bangsa Maya,” jelasnya.

 

Gambar yang menunjukkan sedimentasi yang terjadi dalam penelitian dibandingkan dengan kedalaman dasar danau. Kredit: Sediment density profile from Hodell et al. (2005) via The Phys.org

 

Dibandingkan hari ini, para peneliti menemukan curah hujan tahunan menurun antara 41-54 persen. Kekeringan tersebut diprediksi terjadi selama beberapa dekade dan membuat mereka hilang dari peradaban. Curah hujan ini makin menurun lagi saat puncak kemarau, hingga 70 persen. Tim peneliti juga menemukan, kelembaban relatif di kawasan itu turun antara 2 hingga 7 persen dibandingkan iklim saat ini.

“Peran perubahan iklim dalam keruntuhan peradaban Maya memang kontroversial, sebagian karena catatan sebelumnya terbatas pada rekonstruksi kualitatif. Misalnya, apakah kondisi lebih basah atau lebih kering,” tambah Evans.

 

 

Penelitian sebelumnya menunjukkan penggundulan hutan turut berperan dalam musnahnya suku kuno itu. Rusaknya lingkungan tersebut menurunkan jumlah uap air dan mengguncang tanah. Ini menjadi teori tambahan penyebab kekeringan. Nick Evans berharap, temuannya bisa membantu para arkeolog memahami bagaimana kekeringan purba berdampak pada pertanian Maya di masa kritis mereka. (Berbagai sumber)

 

 

Exit mobile version