Mongabay.co.id

Setelah Gelaran Dieng Culture Festival, Sampahnya Bagaimana?

Udara di dataran tinggi Dieng wilayah perbatasan antara Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng) cukup dingin. Tercatat 9-10 derajat Celcius pada Sabtu (4/8) malam. Di kawasan dengan ketinggian di atas 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) itulah, ribuan pengunjung larut dalam pagelaran musik malam.

Acara itu merupakan bagian dari Dieng Culture Festival (DCF) 2018 yang dihelat selama tiga hari. Malam kian larut, panitia mengumumkan supaya pengunjung mulai menyalakan api dan menerbangkan lampion. Satu per satu nyala api lampion terlihat. Ada sekitar 5.000 lampion yang kemudian diterbangkan bersama-sama. Indah memang. Langit yang gelap dan dingin mulai berhiaskan lampion yang terbang ke udara.

Satu per satu lampion mati dan jatuh dan langit malam kembali gelap. Keesokan harinya, bekas-bekas lampion jatuh ke mana-mana. Di sekitar tempat pagelaran, begitu banyak sisa lampion yang tercecer. Tak hanya itu, bekas lampion juga tampak di sejumlah titik areal pertanian kentang milik para petani.

baca : Embun Beku Bisa Terjadi Lagi di Dieng, Petani Kentang Rugi. Kenapa?

 

Pelepasan 5.000-an lampion pada gelaran Dieng Culture Festival (DCF) 2018, Sabtu (4/8/2018) malam di kawasan dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Pagi yang masih dingin, tetapi sekelompok anak muda sudah turun ke lapangan. Dengan membawa bak sampah berkeliling di sekitar lokasi pertunjukan untuk mengambil sampah-sampah. Mereka memisahkan sampah anorganik dengan organik. “Kami adalah para relawan Aksi Dieng Bersih (ADB) yang bertugas mengumpulkan sampah. Pada pagi hari, kami berkeliling ke sekitar kawasan tempat dilaksanakannya DCF 2018 untuk mengambil sampah-sampah. Tidak hanya di jalanan, tetapi juga mengambil di tempat-tempat sampah yang telah disediakan oleh panitia,”ungkap Lutfi, salah seorang relawan.

Relawan ADB lainnya, Aris Tyan, menambahkan kalau jumlah relawan ada sekitar 175 orang. Tetapi itu yang terdaftar, Kemungkinan malah lebih dari itu. “Kami umumnya berasal dari para pecinta alam dan tidak hanya datang dari Banjarnegara atau Wonosobo saja, melainkan juga dari luar kota. Kami berkumpul di sini bertugas sebagai pengumpul sampah. Sebab, dengan jumlah pengunjung yang mencapai ratusan ribu orang, sampah harus diantisipasi,” katanya.

Aris yang berasal dari Wonosobo itu bersama teman-temannya terlihat mendorong bak sampah cukup besar berwarna kuning. “Kami mendapat tugas untuk membersihkan sampah di sekitar lokasi pagelaran musik. Sedangkan teman-teman lainnya menyebar ke sekitar kawasan Dieng tempat pagelaran DCF berlangsung. Relawan yang mempedulikan lingkungan ini sengaja datang, karena dalam pagelaran DCF sebesar ini pasti akan menghasilkan sampah cukup besar. Nantinya, sampah-sampah ini dipisahkan sebelum dibawa ke tempat pembuangan sampah,”ujarnya.

baca juga : Ketika Burung Hantu Layani Sesi Foto Siang Hari di Wisata Dieng

 

Sampah sisa 5.000-an lampion yang dilepaskan pada gelaran Dieng Culture Festival (DCF) 2018, Sabtu (4/8/2018) malam di kawasan dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat datang di Dieng juga mewanti-wanti supaya kawasan Dieng tetap dijaga kebersihannya. “Kami minta kepada para pengunjung untuk memperhatikan soal sampah. Jangan dibuang di sembarang tempat. Karena panitia telah menyediakannya. Saya juga mengapresiasi kepada para relawan dalam aksi bersih di Dieng. Sebab, dalam sapta pesona wisata, kebersihan menjadi salah satu unsurnya. Itulah mengapa semua harus peduli sampah untuk menjaga kebersihan,”kata Ganjar.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Dinparbud) Banjarnegara Dwi Suryanto mengungkapkan salah satu perbedaan pada gelaran DCF kali ini adalah adanya relawan bersih Dieng. “Tahun-tahun sebelumnya, sampah menjadi salah satu masalah pada waktu DCF berlangsung. Setelah diadakan evaluasi, maka tahun 2018 ada relawan bersih sampah di Dieng. Ada ratusan pemuda yang dengan sukarela memunguti sampah. Ini merupakan bentuk kepedulian para pemuda tersebut terhadap sampah pada saat pagelaran DCF. Mereka datang ke sini dengan sukarela,”kata Dwi.

Ia mengakui dengan jumlah pengunjung yang mencapai lebih dari 150 ribu orang, tentu sampah menjadi persoalan yang serius. Karena itulah dengan adanya ABD sejak awal pagelaran maka sedikit banyak sangat membantu. Mereka berkeliling memungut sampah dan nantinya diangkut dengan kendaraan menuju tempat pembuangan di sekitar kawasan Dieng.

menarik dibaca : Menangkap Air di Lereng Dieng

 

Para relawan Aksi Dieng Bersih (ADB) membersihkan sampah pasca gelaran Dieng Culture Festival (DCF) 2018, pada awal Agustus 2018 di kawasan dataran tinggi Dieng, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa Alif Fauzi mengatakan para relawan peduli lingkungan datang untuk menawarkan diri, sehingga kami menyambut baik. “Ini merupakan bagian kepedulian, dan biasanya mereka adalah relawan jika ada bencana dan lainnya. Kami sangat berterima kasih kepada para relawan karena nyata-nyata mampu berperan dalam mengumpulkan sampah. Tak hanya itu saja, sejak hari pertama DCF digelar, kami mengajak anak-anak sekolah untuk ikut serta dalam aksi Dieng bersih. Di sisi lain, untuk memunguti sampah lampion yang tersebar cukup jauh, kami meminta tolong kepada para petani untuk memungutinya guna dikumpulkan di tempat yang telah disediakan,”paparnya.

Alif mengatakan petani juga menyediakan dirinya, karena mereka mendapat dampak langsung dari acara DCF. “Bayangkan saja, dari 150 ribu pengunjung tentu mereka membutuhkan homestay atau sekadar tempat untuk tidur. Dan ini nyata, warga yang tidak memiliki kamar untuk disewakan, hanya menyewakan tikar saja laku. Jadi, dengan adanya DCF mereka juga mendapat dampak secara langsung, sehingga mau ikut serta dalam mempedulikan sampah dan lingkungan. Termasuk menyediakan kamar mandi untuk para pengunjung BAB, meski panitia juga menyediakan toilet portabel,”ujarnya.

Ia mengungkapkan sebetulnya pariwisata ini menjadi pintu masuk untuk menyelamatkan Dieng dari kerusakan lingkungan. Tahun 2000-an silam, kondisi lingkungan di Dieng parah dan produksi kentang menjadi turun. Waktu itu, masyarakat dan petani bingung, karena pendapatannya menurun, sementara lingkungan mengalami kerusakan. “Kemudian tahun 2006 ada inisiasi pembentukan Pokdarwis dengan menjual pariwisata. Pelan tetapi pasti, masyarakat tidak hanya menjadi petani, tetapi mereka mulai membuat homestay ketika wisatawan mulai meningkat jumlahnya. Hingga kemudian ada gelaran DCF yang pengunjung setiap tahunnya mencapai lebih dari 100 ribu,”katanya.

baca juga : Kemarau Datang, Air Telaga Jadi Andalan

 

Para relawan Aksi Dieng Bersih (ADB) berkeliling mengangkut sampah menggunakan mobil bak terbuka pasca gelaran Dieng Culture Festival (DCF) 2018, pada awal Agustus 2018 di kawasan dataran tinggi Dieng, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Alif menceritakan bahwa para petani besar kentang di Dieng kerap protes kepada Pokdarwis Dieng Pandawa, karena mereka kesulitan mencari tenaga kerja untuk membuka lahan di atas gunung. “Mereka protes, katanya begini, gara-gara wisata, kami susah untuk mencari tenaga kerja membuka lahan di atas. Bagi Pokdarwis, hal seperti ini justru menjadi positif. Karena di atas gunung akan kembali rimbun karena tidak ada yang menggarap lahan di atas. Warga kini banyak yang tertarik menggarap wisata, bahkan ada yang mengganti tanaman kentang menjadi carica karena permintaannya meningkat. Ini sesungguhnya khittah kami, tujuan kami sebagai Pokdarwis. Kami ingin mengembangkan wisata berkelanjutan, sehingga harus juga mempedulikan lingkungan. Bagaimana mungkin wisata di sini akan berkembang kalau lingkungannya semakin rusak,”ujar Alif.

Alif menyadari, tentu masih banyak kekurangan, namun langkah yang telah dirintis oleh Pokdarwis Dieng Pandawa harus terus dijaga yakni membangun wisata berkelanjutan. Salah satunya dengan paket wisata menanam areal di Dieng yang kritis. Sisi lainnya menjadikan pariwisata sebagai alternatif masyarakat dalam mencari rezeki selain menanam kentang.

 

Exit mobile version