Mongabay.co.id

Cerita Orang Marena Berjuang Peroleh Hak Kelola Hutan

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Lahan bermukim dan berladang Orang Marena, minim. Ke hutan adat pun dilarang. Keterbatasan lahan hidup dan terancam bencana banjir, mendorong orang Marena menduduki kembali lahan-lahan mereka yang pernah diambil negara. Mereka juga berusaha mendapatkan akses kelola hutan.  Kini, mereka mendapatkan keduanya. Orang Marena sudah punya lahan pemukiman, dan bercocok tanam, hutan adat pun bisa mereka kelola. Dengan pengakuan dan pemberian hak kelola ini, konflik mereda, warga punya ruang hidup leluasa dan hutan tetap terjaga. 

 

***

Kabut tipis masih menyelimuti Desa Marena, saat kami tiba pagi itu. Desa di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah ini,  berada di sekitar Taman Nasional Lore Lindu, hutan dengan tutupan lebat jadi rumah bagi satwa dan tumbuhan termasuk sumber hidup manusia.

Hutan adat Marena,  sebagian masuk di dalam Taman Nasional Lore Lindu, dulunya Cagar Alam Lore Kalamanta. Medio 1996, cagar alam berubah status jadi Taman Nasional Lore Lindu,  hingga sekarang.

Kala itu, warga tak boleh masuk kawasan ini, apalagi mengambil hasil hutan. Padahal, dari dalam hutan itulah mata penghidupan warga Marena, selain bertani atau pekerjaan lain.

Larangan ini bikin orang Marena, makin sulit. Mereka biasa ambil hasil hutan, seperti rotan, pandan, bahan pangan dan lain-lain.

Negosiasi pernah dilakukan, ada pertemuan antara masyarakat dengan Balai Taman Nasional Lore Lindu,  untuk meminta akses masuk ke kawasan mengambil hasil hutan bukan kayu. Permintaan itu ditolak taman nasional.

Warga takut dan khawatir. Perasaan tak aman selalu menghantui kala mau masuk hutan adat mereka. Meskipun begitu, mereka tetap masuk hutan untuk memenuhi berbagai keperluan dari ambil rotan maupun sumber pangan dan obat-obatan.

 

Rotan dari hutan adat Marena. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena cerita, kalau warga ketahuan masuk hutan, misal, mengambil rotan, petugas langsung menyita. “Dicincang sudah itu rotan,”  katanya, mengingat masa-masa itu.

Puncak konflik dengan taman nasional sekaligus berbuah kesepakatan terjadi pada 2007. Kala itu, ada warga Marena masuk taman nasional, polisi hutan memberikan tembakan peringatan. Orang ini takut dan merasa terintimidasi, diapun lapor ke lembaga adat.

Akhirnya, Balai Taman Nasional Lore Lindu kena denda oleh Lembaga Adat Marena. Hasil negoisasi denda adat itu, lahirlah nota kesepakatan (memorandum of understanding/MoU) antara orang Marena dan balai.

Dalam kesepakatan tertanggal 15 Agustus 2007 ini menyebutkan, antara lain mengenai pengakuan Balai Taman Nasional Lore Lindu terhadap hak masyarakat adat Kulawi di Boya Marena. Masyarakat Adat Marena juga bertanggung jawab mengawasi, melindungi dan memelihara sumber daya alam di taman nasional. Lembaga adat Marena juga bisa menjatuhkan sanksi adat kepada pelanggarnya.

Sejak itu, warga Marena pun  bisa mengelola hasil hutan di taman nasional. “Kerjasama itu membuat lembaga adat punya hak di situ,” kata Gaspar.

 

Lahan pertanian warga Marena. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Penjaga hutan

Bisa memanfaatkan hutan adat tanpa rasa was-was makin menguatkan Orang Marena menjaga hutan karena memang sebagian hidup bergantung di sana. Mereka memegang teguh adat menjaga hutan secara turun menurun.

Kahua-hua, katogo-togo, Ka’ala-ala. Sembarang masuk, sembarang mengambil, sembarang menebang. Tanpa pamit, kena saksi adat,” kata Gaspar.

Mereka sangat sadar hutan harus terjaga. Yenni Lancia Buha, tokoh perempuan Marena, selaku Tina Ngata atau Ibu Desa mengatakan, orang Marena dari nenek moyang sadar kalau hutan itu penting bagi mereka hingga wajib dilindungi.

“Kami sebagai petani hidup dari situ,” katanya.

Dia bilang,  perempuan-perempuan Marena, memiliki keterkaitan erat dengan hutan. Mereka memanfaatkan hutan untuk berbagai keperluan hidup dari sumber pangan, obat-obatan maupun bahan kerajinan. “Segala macam ada di sana. Jadi tubuh kami hutan itu.”

Masyarakat adat Marena punya patroli hutan (tondo boya). Penangkapan dan hukum adat tegas dijalankan kepada pelanggar. Walapun kala itu, secara struktur, lembaga adat belum terbentuk tetapi aturan adat berjalan.

“Kalau ada laporan ada kayu tidak pakai batas (jangka waktu) kita. Saat laporan, saat itu kita tangkap kayu.”  “Kalau ada kayu,  kita tulis di situ “jangan berani angkat, lembaga adat yang tahan. Tolong orangnya menghadap,” kata Gaspar.

Dalam catatan LBH Bantaya, dari 2004 hingga sekarang sekitar 15 pelanggar kena sanksi adat. Warga ada yang tertangkap tangan atau terbukti merusak hutan baik penebangan liar mapun perburuan satwa dilindungi.

Orang Marena, bagian dari To Kulawi. Hintuwu dan kawatua, adalah pegangan orang Kulawi.  Hintuwu yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, sedang kawatua merupakan aturan manusia dengan alam.

 

Gaspar Lancia, Ketua Lembaga Adat Marena , di hutan adat Marena yang masuk kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Dari filosofi hintuwu, zonasi lahan dan hutan jadi bagian dari konservasi dalam konsep kearifan lokal Marena. Dalam tata ruang hutan, zonasi terbagi atas beberapa tingkatan sesuai pengetahuan dan pemanfaatan.

Pelaksanaannya bisa terlihat kala membuka lahan maupun hutan. Contoh, tanah dengan kemiringan 90 derajat tak boleh jadi kebun, kayu pun harus terjaga. Taolo, begitu sebutan untk kawasan seperti ini.

Orang Marena juga punya pembagian wilayah kelola (zonasi) adat. Hutan adat Marena terbagi berdasarkan fungsi. Ada daerah terlarang sepert Wana Ngkiki. Ia wilayah suci tempat persemayaman para leluhur, area tak boleh tersentuh manusia.

Ada wana. Ia hutan dengan tutupan rapat/belantara, wilayah ini sebagai sumber mata air jika dirusak akan mengakibatkan bencana. Masih ada beberapa lainnya dengan fungsi dan peruntukan yang berbeda.

Ada lagi pangale. Ia kawasan yang pernah jadi ladang tetapi ditinggalkan sementara agar tanah subur lagi. Ada oma, merupakan kawasan masyarakat bercocok tanam, dari padi, sayur mayur dan tanaman jangka pendek lain.

Pengelolaan hutan dengan adat Marena beserta sanksi bagi pelanggar itu dimaknai sebagai konservasi ala adat. Kemudian balingkae, merupakan bekas kebun berumur sekitar enam bulan sampai satu tahun.

“Biasa bisa kita ulangi menanam padi di situ, bercocok tanam, sayur-sayuranan dan lain-lain,  tanaman pangan umur pendek,” kata Gaspar.

Masyarakat Marena menerapkan sistem perladangan rotasi untuk menjaga kualitas tanah. Setelah diolah beberapa lama, tanah ditinggalkan sekitar tiga sampai enam tahun guna mengembalikan unsur hara.

Matrje Lenida, Direktur eksekutif Perkumpulan Bantaya mengatakan, perladangan rotasi ini sempat dipandang salah oleh pemerintah. Pemerintah menilai, lahan yang ditinggalkan masyarakat, merupakan lahan kritis jadi perlu rehabilitasi.

Selain pengaturan zonasi hutan dan pengelolaan, adat Marena juga ada istilah ombo (pelarangan) berlaku musiman seperti masa panen rotan. Tujuannya, menjaga rotan agar tak punah.

Menurut Gaspar, ombo rotan setiap lima tahun sekali. Dalam masa ombo, rotan tak boleh diambil. Dalam lima tahun, biasa rotan sudah mencapai ukuran siap panen, sekitar 30 meter. Kalau misal baru 10 meter, masih tergolong muda dan tidak cukup panen.  Pengecualian berlaku kalau untuk kepentingan tertentu seperti syukuran atau pesta pernikahan, dan tak diperjualbelikan.

 

 

Lahan kelola terbatas

Masalah di Marena, tak hanya soal terlarang masuk hutan adat yang ada di dalam taman nasional, lahan pemukiman dan bercocok tanam warga pun terbatas. Konflik pun terjadi antara warga dan perusahaan daerah serta pemerintah daerah Sulawesi Tengah.

Konflik serupa ini tak hanya terjadi di Marena tetapi di berbagai penjuru daerah di Indonesia. Ada konflik lahan maupun hutan antara warga dan pemerintah (negara) maupun antara warga dengan perusahaan.

Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2017 menyebutkan, ada 659 konflik agraria di berbagai wilayah dengan luasan 520.491,87 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sekitar 652.738 keluarga.

Perkebunan menempati posisi pertama, sebanyak 208 konflik agraria atau 32% pada 2017. Disusul properti 199 (30%), infrastruktur 94 (14%), sektor pertanian 78 (12%). Lalu, sektor kehutanan ada 30 kasus (5%), sektor pesisir dan kelautan 28 (4%), terakhir pertambangan 22 (3%).

Laporan yang masuk ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun menunjukkan tingginya konflik agraria di negeri ini. Data lembaga ini pada 2015, menyatakan, ada sekitar 6.000-7.000 kasus masuk ke Komnas HAM, 15-20% merupakan pengaduan konflik agraria, antara lain sengketa pertanahan, perebutan akses sumber daya alam di berbagai sektor, baik kehutanan maupun non-kehutanan, seperti perkotaan, pedesaan, bahkan pesisir.

Sengketa maupun konflik lahan terjadi dipicu ketimpangan penguasaan lahan antara masyarakat dan pemerintah/perusahaan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, per 2017 menyebutkan, di kawasan hutan, sektor swasta melalui perizinan menguasai 95,76%, kepentingan umum 0,10% dan masyarakat hanya 4,14%.

Sementara data Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) 2017, menyebutkan, perusahaan kehutanan, Perhutani dan hutan konservasi menguasai 71% lahan di Indonesia, perkebunan berskala besar 16%, konglomerat 7%, masyarakat kecil hanya 6%.

Pemberian hak kelola kepada masyarakat, termasuk hutan adat terbilang lamban. Sampai Maret 2018, data KLHK menyebutkan, realisasi reforma agraria dan perhutanan sosial baru 1,5 juta hektar, hutan adat cuma 24,378.84 hektar!

Sigi, Sulawesi Tengah, satu potret wilayah dengan ketimpangan kuasa lahan masyarakat. Data Gugus Tugas Reforma Agraria (RA) Sigi, tampak ketimpangan agraria terlihat dari dominasi penguasaan tanah dan sumberdaya hutan oleh negara.

Dari 519.600 hektar wilayah Sigi, lebih 74,91% atau 389.210 hektar kawasan hutan.  Di dalam dan sekitar kawasan hutan itu ada 143 desa dengan sebagian atau keseluruhan wilayah tumpang tindih dengan kawasan hutan, termasuklah wilayah adat Marena.

 

Milka Hamaela, warga Marena, sedang menjemur biji kakao. Dia merasa setelah ada rumah dan lahan berkebun sendiri, hidup lebih baik dari sebelumnya, walaupun masih banyak masalah, seperti kakao kena hama. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Belakangan, pemerintah nasional berkomitmen menjadikan hak kelola lahan/hutan oleh masyarakat jadi prioritas kerja, lewat reforma agraria dan perhutanan sosial. Setidaknya, sampai 2019, pemerintah menargetkan pemberian hak kelola hutan kepada masyarakat 12,7 juta hektar. Ada juga pencanangan distribusi lahan, sebagian dari kawasan hutan, sekitar 9 juta hektar.

Pemerintah Sigi, pun sigap menyambut. Bupati Sigi, Irwan Lawata sadar, kabupaten yang dia pimpin didominasi kawasan hutan negara hingga harus ada keberpihakan pemberian hak kelola lahan kepada warga. Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) pun dibentuk, berisi para pegiat agraria maupun organisasi masyarakat sipil. Eva Bande, tokoh perempuan pegiat agraria duduk sebagai ketua.

Irwan menolak Sigi jadi kabupaten konservasi. “Toro, Marena, tanah itu tidak boleh masuk rakyat jadi hutan konservasi,  hutan lindung.  Lalu rakyat kemana? Orang katakan saya akan merusak hutan. Saya katakan,  dengan reformas agraria bukan lawan konservasi,  tetapi itu menjunjung nilai-nilai konservasi hijau,” kata Irwan.

Pemerintah Sigi punya target mengentaskan kemiskinan sekitar seperempat dari 232.000 warga di Sigi. “Mustahil kalau warga tidak punya lahan dan hasil hutan tidak boleh dikelola,” katanya.

Dia percaya, hutan bisa terjaga seiring pemberian hak mengelola kepada masyarakat. Masyarakat terlibat dan jadi penjaga hutan itu sendiri karena dari sanalah mereka bergantung hidup.

GTRA langsung bekerja memetakan ruang-ruang hidup rakyat yang sebagian besar di kawasan hutan. Eva bilang, di dalam dan sekitar kawasan hutan ada 143 desa dengan sebagian atau keseluruhan wilayah tumpang tindih dengan kawasan hutan.

“Saling klaim antara negara dan rakyat. Jalan ini bagian dari memastikan klaim-klaim rakyat tadi yang sudah ada puluhan tahun, jauh sebelum ditetapkan jadi kawasan hutan,” kata Eva.

Dalam setahun, GTRA memetakan dalam dua tahap. Pertama, sepanjang 2017 selesai usulan obyek reforma agrarian pada 61 desa seluas 82.528,31 hektar. Usulan masuk ke pemerintah pusat tinggal menunggu penetapan. Kedua, awal Maret 2018 selesai terpetakan sekitar 78,011.85 hektar hingga total pemetaan partisipatif dua tahap dalam 14 bulan pada 98 desa seluas 163.544,17 hektar.

Marena, tak masuk bagian pengusulan ini karena sudah mendapatkan pengakuan lebih dulu walau belum tuntas, mereka berjuang sejak lama.

 

Vanili, salah satu komoditas pertanian yang ditanam di Marena. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Perjuangan Marena

Nenek moyang orang Marena dari masyarakat adat To Kulawi. Sekitar 1930-an, sub etnis Moma Kulawi membuka lahan penggembalaan kerbau. Mereka berdiam di sana, membawa keluarga, dan membangun kehidupan hingga ada pemukiman dan perladangan. Lahirlah Dusun Marena.

Marena,  dulu dusun kecil kelima yang bergabung di bawah Desa Bolapapu, masa itu masuk pemerintahan tingkat II Donggala.

Belum ada kampung baru, kala itu hanya kampung tua dengan 37 rumah dihuni sekitar 60 keluar. Satu rumah sederhana menampung tiga sampai empat keluarga. Pemukiman sempit. Lahan bercocok tanam juga terbatas. Bahkan, sebagian warga tak memiliki lahan berkebun atau bertani.

Tak ada sekolah, sarana kesehatan ataupun fasilitas lain. Kehidupan warga dalam keterbatasan. Dengan status dusun paling buntut dari Bolapapu, Marena kerap tak mendapat bagian bantuan pemerintah desa.

Alasan inilah akhirnya jadikan Marena memilih bergabung ke Desa Oo. Sayangnya, hal sama juga terjadi. Marena,  lagi-lagi jadi dusun terabaikan, mendapat bagian bantuan pemerintah.

“Kami tidak dapat bantuan, hanya kerja keras masyarakat mengatur bagaimana jadi dusun yang baik,” kata Papa Ros, panggilan Rintje Lantjia. Dia adalah, tokoh Marena, mantan Kepala Jaga Boya Marena pada 1970an.

Kesulitan ekonomi Marena makin melebar. Pertambahan jiwa tak seimbang dengan luas lahan olahan mereka.

Orang Marena,  kebanyakan sebagai petani-peladang. Lahan terbatas bikin mereka tak mampu memenuhi pangan sendiri. Sebagian besar memilih keluar dari dusun dan bekerja sebagai buruh upahan.

Kala musim penghujan, ancaman banjir selalu mengancam. Beberapa kali hantaman banjir bandang ada yang menghanyutkan rumah.

Milka Hamaela, warga Marena, pernah mengalami kala banjir bandang datang. Rumah dia dan keluarganya masih di kampung lama, di belakang ada sungai.  Kalau sudah hujan, mereka selalu was-was karena bisa saja tiba-tiba air bah datang menghantam.

Sebelumnya, luas keseluruhan lahan orang Marena 155 hektar, yang bisa terpakai 30 hektar saja meliputi pemukiman dan lahan cocok tanam. Dari luas itu, sekitar 125 hektar harus diserahkan warga kepada pemerintah melalui Dinas Kehutanan, dengan alasan masuk kawasan hutan negara.

Saat itu, sekitar tahun 1970, pemerintah ada agenda rehabilitasi lahan tidur untuk reboisasi dengan cara penguasaan sepihak lahan milik petani dan masyarakat Kulawi di bawah kepemimpinan Obserter Alex Siballa dari Dinas Kehutanan Tingkat I Sulawesi Tengah.

Pembebasan lahan itu lalu digunakan sebagai hak guna usaha perkebunan cengkih.

 

 

Data Lembaga Pecinta Alam (LPA) Awam Green, menyebutkan, klaim sepihak pemerintah ini diwarnai berbagai pelanggaran hukum. Sekitar 125 hektar lahan Marena lepas tanpa ada ganti rugi. Berbeda dengan Watuwali, di desa lain di Kulawi, sebagian pemilik lahan mendapat ganti rugi Rp2.500 per meter kubik.

Aksi mengeluarkan warga dari lahan hidup mereka yang dalam klaim negara sebagai kawasan hutan ini setelah terbit UU Pokok Kehutanan No. 5/1967. Dalam UU Kehutanan itu, disebutkan, kawasan hutan itu tidak boleh seseorang masuk, apalagi tinggal dalam tanpa izin dari pemerintah.

“Berdasarkan UU itu, banyak sekali desa-desa tua, kampung-kampung tua di Sulawesi Tengah jadi melanggar hukum, karena berada dalam kawasan hutan. Sejak itu, banyak desa-desa diminta dikosongkan,” kata Rahmat Saleh, biasa disapa Oyong, pegiat Awam Green.

Perampasan tanah milik petani juga dilakukan dengan intimidasi. Yang melawan mendapat stigma PKI, menentang pemerintahan sah dan penghambat pembangunan. Warga pun takut membangkang dan terpaksa melepaskan lahan.

Lahan yang diambil dari warga sekitar 125 hektar itu, 100 hektar ditanami 1.792 cengkih, 25 hektar diketahui jadi milik perorangan.

Saat penggarapan dan penanaman melibatkan orang Marena. Mereka jadi harian di perkebunan itu.

“Waktu itu tak ada kerjaan…kita terjun di situ digaji Rp50 per hari. Dari 1971, selama lima tahun sampai produksi,” kenang Papa Ros.

Lima tahun kemudian, pada 1976, cengkih masuk usia panen. Orang Marena yang bekerja di perkebunan tanpa alasan jelas, tidak lagi bisa bekerja. Pengelola perkebunan mendatangkan tenaga dari luar Sulawesi Tengah.

Keputusan ini kontan membuat warga kehilangan pencarian. Sebagian mereka kembali bertani. Sayangnya, lahan olahan sudah minim seiring penduduk bertambah. Hidup orang Marena, makin sulit.

Keputusan sepihak perusda memicu reaksi orang Marena. Setelah perdebatan panjang, pengelola perkebunan akhirnya sepakat memperkerjakan kembali orang Marena, meski hanya sebagian kecil.

Perusda sendiri ada melalui Sk Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Tengah No. 237/EK-012/XI/1980 tertanggal 25 November 1980 dengan nama Unit Perkebunan PD. Sulteng.

Setahun kemudian, tepatnya 10 April 1981, Dinas Kehutanan Sulteng menyerahkan hak guna usaha perkebunan cengkih dan kayu manis seluas 415 hektar di Donggala, Poso dan Banggai,  yang selama ini dikelola Dinas Kehutanan kepada Perusda Sulteng. Antara lain, sekitar 100 hektar di Marena.

Pada 1986,  perkebunan cengkih mulai tak produktif. Perlahan terabaikan. Setahun kemudian, pengawasan, perawatan dan pengelolaan mulai berhenti.

Perlahan, sebagian kecil orang Marena berkebun di lahan telantar ini. Mereka tanam palawija.

“Ada kegiatan penggarapan. Mulai parsial, sembunyi-sembunyi. Ada beberapa orang memberanikan diri waktu itu. Rasa takut lebih besar, karena melawan pemerintah. Jangan macam-macam,” kata Oyong.

Kondisi orang Marena tak membaik. Lahan terbatas, susah bercocok tanam. Papa Ros dan beberapa tokoh Marena lain, memberanikan diri bernegosiasi dengan PD Sulteng agar mendapatkan izin mengelola lahan bekas perkebunan cengkih perusda. Itu pada 1998, melalui surat Kepala Dusun OO tertanggal 28 September 1998.

 

Rintje Lantjia. Dia adalah, tokoh Marena, mantan Kepala Jaga Boya Marena pada 1970an. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pada 10 Oktober 1998, berdasarkan surat permohonan itu, PD Sulteng melakukan kunjungan ke Dusun Marena. Sekitar 42 hari kemudian, PD Sulteng menyetujui lahan bekas perkebunan diolah dan kerja sama dengan masyarakat. Pernyataan ini tertuang dalam surat tertanggal 5 Desember 1998.

Dalam surat itu. PD Sulteng meminta pengukuran untuk dibagikan ke masyarakat. Nama penggarap juga turut dilampirkan. Data ini akan dibuatkan perjanjian kerjasama pengolah lahan dengan PD. Sulteng.

Meski kerjasama pengolahan terjadi namun tidak berlangsung lama. Pada pertemuan masyarakat Ngata Sungku, Marena dan Ngata Oo di Kantor PD Sulteng 5 Juni 2001, terungkap perjanjian kerjasama yang dimaksud PD Sulteng.

Perjanjian ini dilakukan dengan ketentuan, lahan dimiliki masyarakat, diolah, dan bagi hasil. Masyarakat mendapat 2/3 bagian hasil olahan dan PD Sulteng 1/3. Bagian PD sulteng ini dianggap sebagai bantuan masyarakat mengangsur tunggakan PBB PD Sulteng.

Masyarakat menolak isi perjanjian itu.

“Kampung Marena masa lalu itu hanya di tepian jalan, belum lagi aliran sungai di belakang rumah itu, kan.  Itulah yang mendorong masyarakat Marena melalui Pak Nixen (Nixen A Lumba Kepala Desa Marena sekarang-red) itu yang melaporkan mereka ingin berjuang merebut kembali tanah itu,” kata Oyong.

Oyong, bercerita awal masuk Awam Green ke Marena. Saat itu,  tahun 1999.  Masyarakat mengutus Nixen muda untuk bertemu dengan LPA Awam Green.

Awam green pada awalnya kelompok muda pencinta alam. Mereka juga konsen dalam pendampingan masyarakat yang mengalami ketimpangan sosial.

Undangan Marena direspon Awam Green.  “Sangat memprihatinkan. Mereka tak punya lahan cukup untuk bertani. Secara sosial juga masyarakat di sana saya gambarkan sebagai masyarakat tidak bergembira karena terlalu banyak persoalan sosial dihadapi sehari-hari,” katanya.

Melihat kehidupan Marena, Awam Green tergerak membantu. Langkah utama mereka, mengumpulkan data dan fakta lapangan. Diskusi dan dan berbagi pengetahuan tiap malam hari.

“Kita waktu itu lebih seperti berjalan sambil membuat jalan. Kita tidak punya metode,  kita meraba-raba, insting anak-anak muda yang tidak senang dengan kejahatan dan penindasan lalu kita ke sana.”

Mereka lakukan  pendekatan pada tokoh-tokoh tua. Kemudian membuat pertemuan-pertemuan, membawa buku-buku, dan pelajari buku bersama. “Kemudian didiskusikan kembali dengan masyarakat,” kata Saiful, Ketua Awam Green,  kala itu.

 

Kampung baru hasil reclaiming Desa Marena. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Kelembagaan adat Marena turut berperan dalam proses ini.

Awam Green, katanya,  melihat kelembagaan adat sangat strategis dan penting dalam gerakan sosial dan perjuangan masyarakat mendapatkan hak lahan mereka.

Lembaga adat penting, kata Oyong, karena memiliki kemampuan dalam mengurus tanah dan sumber alam. Memiliki kesiapan sistem, organisasi dan pengetahuan bila otoritas ini mereka peroleh kembali.

Orang Marena, punya lembaga adat turun temurun.  Mereka punya tradisi, pengetahuan, cara kerja dan orang-orang yang punya kemampuan menjalankan urusan-urusan penguasaan lahan dan sumber daya alam lainnya.

Rezim Orde Baru tumbang. Pasca reformasi, 1999, fungsi kelembagaan adat Marena kembali setelah sekian lama terkebiri.

Bersama lembaga adat, gerakan pembebasan lahan diperkuat. Pengorganisasian,  pendataan penduduk dan lahan mulai mereka lakukan di tiga dusun:  Marena, Watutali dan Makuhi.

Dari proses pendataan itu, diketahui penguasaan lahan oleh negara melalui PD Sulteng cacat hukum. Selain itu, lahan seluas 125 hektar milik orang Marena sudah diprivatisasi beberapa oknum. Hal ini memicu gerakan aksi massa hingga ke DPRD.

Pemerintah Sulteng,  pada Oktober 2001 melalui surat No. 522/5513 menyampaikan soal penyelesaian masalah lahan PD Sulteng masih dalam proses.

Pada 31 Oktober 2001, berpusat di Watuwali, lebih 1.000 massa dari  tiga desa berkumpul. Mereka aksi pendudukan besar-besar untuk menguasai dan mengambil kembali lahan mereka dari negara.

“Momentumnya pada 2001 ketika pengorganisasian rakyat dilakukan,” kata Oyong.

Meski lahan PD Sulteng telah diduduki, masyarakat masih terus aksi menuntut kejelasan. Bagi mereka, pernyataan resmi pemberian hak pengelolaan lahan mutlak dari pemerintah.

Protes berlanjut. Dari PD Sulteng maupun Pemerintah Sulteng, juga kolar kalir datang tanya lahan.

“Dari Dinas Kehutanan,  paling banyak datang.  Satu kali mereka datang cari lahan 2,5 hektar. Saya bilang tidak ada lahan aset provinsi 2,5 hektar di sini, kecuali 25 hektar masih bagian proyek darat PD Sulteng,”  kata Papa Ros.

“Dorang (mereka) kase lihat itu surat yang baru keluar dari foto copy. Saya bilang saya tidak terima seperti ini. Ini baru kemarin dibuat. Jangan talalu kase bodoh kami.”

 

Kopi, salah satu tanaman di kebun orang Marena. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pemahaman hak dan hukum mereka dapatkan dari pendampingan Awam Green dan Hedar Lautjeng (almarhum), pegiat lingkungan Sulteng.

Berkali-kali orang Marena turun aksi meminta pengembalian lahan mereka walau di tengah keterbatasan. Dana untak sampai ke kota yang berjarak lebih 90 kilometer didapat dari sumbangan warga.

“Itu sampai 2006-2007, selama setahun jelas kita berapa kali turun, sekitar lima sampai enam kali. Sikap mereka (pemerintah daerah) menggantung, tidak jelas, nanti akan kami tinjau ulang,” kata Nixen A. Lumba, Kepala Desa Marena.

Selain aksi jalanan, langkah persuasif ke pemerintah melalui jalur-jalur negosiasi juga warga dan pendamping lakukan.

 

***

Pasca pendudukan, diaturlah strategi pemulihan lahan. Mereka adakan diskusi. Pengetahuan hukum kritis dipertajam hingga masyarakat mampu mempertahankan lahan yang sudah mereka ambil kembali dari negara.

Pada 2002,  LBH Bantaya ambil peran dalam pemenuhan pengetahuan hukum kritis. Bantaya juga aktif memediasi antara pemerintah dan masyarakat.

Sejak 2001, Awam Green membangun komunikasi dengan LBH Bantaya, terutama kepada Hedar Lautjeng kala itu Direktur Bantaya.

“Terkait pengorganisasian, bantuan dari teman-teman lebih dalam kajian masalah. Awam Green bergerak di organisasi dan teman-teman yang spesifikasinya bidang hukum, mereka yang melakukan pendidikan hukum kritis,” kata Oyong.

Syahrun, dari LBH Bantaya yang terlibat langsung dalam proses pendampingan mengatakan, strategi mereka atur. Pembangunan sarana pendidikan, tempat ibadah, kesehatan dan tempat pertemuan, adalah hal pertama dilakukan dalam lahan reclaim (memperoleh kembali).

Pembangunan sarana ini, katanya,  menegaskan pengelolaan wilayah ini sudah kembali ke masyarakat Marena. Kala itu, mereka belum resmi diakui pemerintah.

Ketika reclaim lahan, katanya, warga sengaja tak menebang cengkih. “Pertama, bisa dimanfaatkan hasilnya. Kedua, itu membuktikan sebagai tonggak pernah ada kesewenang-wenangan di tempat ini. Ketiga, mencegah masyarakat tidak masuk dalam pidana perusakan dan lain-lain,” kata Saiful, dari  Awam Green.

 

Kampung Marena, hasil pengambilalihan lahan berada di dataran lebih tinggi dari kampung lama. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Awam Green lakukan pemetaan lokasi dan lanjut diskusi mekanisme penditribusian.

Menurut Oyong, kegiatan paling penting dalam perjuangan hak atas lahan adalah pembagian. Itu kadang kerap menimbulkan persoalan.

“Apalagi kalau bicara tanah satu hamparan. Itu nilai strategis tanah tidak sama, ada tanah di pinggir jalan, ada tanah jauh. Bagaimana alokasi tanah ini, untuk siapa. Itu kan hal sangat rumit. Syarat pendekatan di situ, tentu sangat bisa menghancurkan kebersamaan di masyarakat,” katanya.

Sempat terjadi perdebatan tetapi akhirnya, ada persetujuan bersama soal mekanisme pembagian lahan.

Pemutihan kepemilikan atas tanah yang sudah turun temurun menjadikan pendistribusian ini berjalan mulus tanpa perpecahan. Setiap keluarga memperoleh keadilan berdasarkan kemampuan mengelola.

“Di tempat lain belum ada penguasaan existing ini. Kita pakai cabut lot, missal, semua tanah dimodifikasi kemudian cabut ambil. Sistemnya diacak,” tambah Saiful.

Lahan reklaim 100 hektar dibagi dalam dua kalisifikasi. Pertama, tanah-tanah untuk kepentingan umum, seperti fasilitas umum dan sosial, ruas jalan dan gorong-gorong, area pekuburan. Kedua, area pemukiman dan ladang warga. Aturan ini berdasarkan kesepakatan tata guna lahan dan sudah dibicarakan hukumnya.

Dari 100 hektar ini, wilayah pemukiman dan ladang warga mencapai 52 hektar. Jadi, 100 hektar itu jadi 82 kapling perpersil dengan  bagian lahan 0,5-0,75 hektar. Luasan itu, kata Nixen, sekitar 52 hektar. Yang lain, tak bisa diolah karena banyak kemiringan curam hingga jadi lahan kepemilikan bersama alias kolektif.

Reclaim selesai, distribusi juga sudah dilakukan. Mulailah warga membangun rumah sambil negosiasi terus jalan untuk mendapatkan pengakuan resmi lahan itu.

 

 

 

Pemekaran dan pengakuan

Seiring waktu, Marena yang telah mengalami perkembangan berhasil menapak hingga ke pemekaran dari dusun ke desa. Pada tahun 2012, melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sigi Nomor 28, Marena resmi menjadi desa.

Dua tahun berikutnya, Bupati Sigi, Aswadin Randalemba (almarhum) mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Sigi.

Angin segar pada dimanfaatkan lembaga Adat Marena mendorong pemerintahan Aswadin untuk mengakui wilayah adat Marena. Draf peraturan daerahh sudah dibuat. Sayangnya,  sebelum pengakuan itu ditandatangani, masa jabatan Aswadin berakhir.

“Pada 2012 sudah ada draf perda itu, 2014 kita mulai riset aksi, 2015 kita mendorong SK penetapan jadi karena perda bersifat umum. Kita dorong SK bupati masuk di SK penetapan terhadap masyarakat hukum adat Marena,”kata Matrje Lenida, Direktur eksekutif Perkumpulan Bantaya.

Proses itu agak tersendat karena mereka ikut aturan Menteri Dalam Negeri, soal membentuk komite masyarakat hukum adat. Komite tak berjalan aktif. Sampai masa Bupati Aswadin berakhir, SK belum tanda tangan.

LBH Bantaya terus mendampingi warga. Kelengkapan administrasi kelembagaan adat diperkuat. Mulai dari struktur kelembagaan, komposisi lembaga adat serta penetapan hukum adat dan dokumen kearifan pengelolaan sumber daya alam. Semua itu tertuang dalam Keputusan Kepala Desa Marena pada 1 Januari 2017.

Dalam peta partisipatif,  luas wilayah adat Marena 1.806, 5 hektar terdiri 1.441,5 hektar hutan adat dan 364, 98 hektar pemukiman. Dari luasan hutan adat itu, 685,5 hektar berada dalam taman nasional dan 756 di luar taman nasional.

Di level Pemerintah Sigi, organisasi masyarakat sipil ikut mengadvokasi soal ini. Akhirnya, pada 25 Januari 2017, Bupati Sigi pengganti Aswadin, Irwan Lapata,  menandatangani SK 189–014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kulawi di Marena.

Surat keputusan bupati itu mencakup wilayah adat Marena seluas 1.806,5 hektar, dengan luasan hutan adat 1.441,5 hektar. Setelah ada surat bupati itulah, Marena mendapatkan penetapan hutan adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada tahun sama. Meskipun begitu, KLHK baru mengeluarkan surat keputusan pencantuman dan penetapan hutan adat seluas 756 hektar, berada di alokasi penggunaan lain (APL) dan hutan produksi. Hutan adat dalam taman nasional, belum ada penetapan. Perjuangan belum selesai.

Gaspar bilang, mereka masih khawatir kalau hutan adat dalam taman nasional belum jadi hutan hak. Kekhawatiran Gaspar, taman nasional dimasuki berbagai kepentingan seperti tambang dan lain-lain, cukup beralasan.

Di bagian lain Lore Lindu, di Dongi-dongi, sudah ada tambang emas, berbagai kepentingan bermain di sana. Orang Marena tak mau hal macam ini sampai terjadi sekarang maupun masa mendatang.  Hal itulah, kata Gaspar, yang mendorong mereka memperjuangkan hutan hak kepada pemerintah.

“Nah kita menjaga begini, itu menurut bukti seperti di Dongi-dongi ada tambang, [terjadi] alih fungsi. Itu yang kita jaga,” katanya. Kalau sampai terjadi, tak hanya hutan hilang, bencana ekologi pun mengancam hidup mereka.

 

Kakao yahg busuk karena terserang penyakit di kebun Marena. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Marena Kini…

Rumah itu semi permanen, berbahan batako dan kayu berada di sudut kampung baru Desa Marena, Sigi, Sulawesi Tengah.

Terletak di batas lahan kebun warga dalam wilayah pengambilan lagi dari Perusahaan Daerah Sulteng. Rumah ini tak besar, mungkin tipe 45 dan sederhana, tetapi bagi pemiliknya mengandung makna dan punya cerita panjang sejarah perjuangan pengakuan hak lahan dan hutan di Marena.

Di atas lahan sekitar satu hektar, rumah ini di kelilingi berbagai tanaman pangan dari kakao, kopi, sampai vanili. Rumah berada di tengah pepohonan. Rimbun dan hijau.

Itulah rumah Papa Ros, pria 70 tahunan ini, meskipun sudah sakit-sakitan tetapi bahagia dan bersemangat kala menceritakan perjuangan mereka dulu.

Rumah dan berbagai tanaman pangan itu tak akan ada kalau orang Marena, tak mendapatkan kembali lahan mereka yang dulu diambil pemerintah.

Dia bersama keluarga, bisa merasakan punya lahan berkebun. Hasil kakao, kopi sampai vanili lumayan buat memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

Kini, vanili sedang naik daun. Vanili hidup merambat di antara pohon kakao atau kopi. Belakangan ini, warga Marena, termasuk dia mulai tanam vanili dan harga terbilang fantastis.  Satu kilogram vanili kering berharga Rp5 juta! Kadang pembeli membayar duit terlebih dahulu sebelum vanili panen. “Kalau basah Rp500 ribu per kilogram.” Saking mahalnya, warga Marena, termasuk Papa Ros, mesti rajin menjaga tanaman vanili karena banyak pencuri mengintai.

Desa Marena, yang berada di Kabupaten Sigi,  Sulawesi Tengah ini terbagi dua wilayah. Kampung tua dan kampung baru. Kampung tua berhadapan dengan jalan poros Palu–Kulawi. Bagian belakang rumah warga, ada yang memiliki ladang dan persawahan, bagian lain berbatasan langsung dengan Sungai Salo Pebatua-Sungai Mewe.  Kala musim penghujan, kampung tua jadi langganan banjir bandang.

Sekitar tujuh meter di dataran lebih tinggi, di seberang jalan poros berhadapan dengan kampung tua terletak kampung baru Marena. Di sinilah sebagian besar orang Marena menetap. Penduduk Marena kini Marena sekitar 400 jiwa.

Berbagai fasilitas desa mulai kantor, sekolah, tempat ibadah dan sarana lain ada di sini. Rumah-rumah warga dengan ukuran dan luasan sama berderet rapi. Tanaman hias, obat-obatan, sayuran dan pohon kakao, jambu, dan beragam pohon pelindung bisa ditemui di halaman mereka. Asri dan sejuk begitu terasa di desa perjuangan setelah puluhan tahun terabaikan.

“Kehidupan warga mulai meningkat sekarang,” kata Papa Ros, membandingkan dari sebelum ada lahan bercocok tanam dan hutan boleh dimasuki.

Mereka merasakan hidup lebih tenang dan aman karena sudah punya pemukiman dan lahan berkebun, serta bisa memanfaatkan hutan.

Milka Hamaela, perempuan Marena ini juga beranggapan sama. Dulu, tak ada rumah sendiri, kini ada. Kebun kakao pun punya walau hanya sekitar seperempat hektar.

Kebun seluas itu, sekali panen bisa dapat 30 kg lebih kakao kering. “Pas panen raya, satu kali petik saja bisa dapat tiga karung,” katanya seraya bilang per kilogram kakao kering Rp34.000-35.000. Petik kakao bisa tiap hari, dan dikumpulkan lalu kupas dan jempur sampai kering, sekitar dua minggu sekali jual ke pengumpul.

Marta, warga Marena yang lain juga menyatakan, kehidupan kini lumayan dibandingkan sebelumnya. Dulu, dia tinggal di kampung bawah, bersama suami numpang di rumah keluarga. Mereka tak punya rumah. Kini, Marta dan suami membangun rumah di lahan reclaim. Di kebun, mereka taman kopi dan kakao sejak 2015. Tanaman di kebun sudah mulai berbuah walau masih sedikit.

 

Hutan adat Marena, nan lebat tertutup kabut yang masuk Taman Nasional Lore Lindu. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Beragam tantangan

Milka, Marta, dan orang Marena yang lain,  sudah bisa merasakan punya kehidupan lebih baik, meskipun begitu, bukan berarti masalah dan tantangan sudah selesai.

Dari sektor ekonomi saja, produksi petani seperti kakao, kopi, vanili sampai lada maupun hasil hutan macam rotan di Marena, masih jual mentah ke pengumpul. Mereka tak punya posisi tawar karena harga pengumpul yang menentukan.

Nixen bilang, ke depan mereka akan mendorong sektor ekonomi warga seperti mendirikan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Bumdes sudah punya modal awal Rp50 juta dari dana desa meskipun belum berjalan.

Nixen bilang, agar tak bergantung pada lahan sebagai sumber ekonomi, mereka berencana mengembangkan ekowisata. Anyaman dan cinderamata, bisa jadi peluang.

Dulu, Marena, punya beragam kerajinan tangan, tetapi mulai hilang. Ferdy, Sekretaris Adat Marena bilang, lembaga adat berencana menghidupkan kembali kerajinan warga. Pandan, rotan, antara lain hasil hutan yang jadi bahan kerajinan tangan.

“Entah kita akan mengundang perajin dari daerah lain untuk berbagi di Marena. Atau mengirim orang-orang Marena untuk belajar,” katanya.

Belum lagi, dalam beberapa tahun belakangan ini, kakao mulai terserang hama, dari penggerek batang sampai mati pucuk. Kondisi ini, kata  Milka, berpengaruh terhadap hasil panen. “Kalau dulu sekali petik bisa tiga karung, sekarang satu, dua karung. Tak menentu, sudah jauh hasilnya.”

Eko Cahyono, pegiat agraria juga meneliti di Marena, melihat masyarakat Marena, berusaha merevitalisasi adat mereka. Adat induk Marena, di Kulawi. “Jika melihat tradisi adat di Marena adalah gambaran adat Kulawi. Salah satunya jadi ciri utama adat Kulawi di Marena, tata ruang adat di hutan.”

Beberapa kesenian Kulawi nyaris punah. Lembaga adat Marena,  ingin mengidentifikasi lagi, seperti Kesenian Rego. Rego ini merupakan seni suara tentang alam dan kehidupan.

Masalah lain, katanya, sisi adat dan budaya. Eko menilai, generasi muda Marena bisa dikatakan kurang memahami budaya mereka. Ferdy membenarkan ini. Untuk itulah, lembaga adat bertekad menggali kembali seni budaya Kulawi-Marena, dan mengajak generasi muda terlibat.

Kini, Orang Marena bisa menikmati buah perjuangan mereka mendapatkan hak kelola, meskipun begitu masih banyak tantangan menanti…

“[Sekarang]  aman sudah. Apalagi ada pengakuan dari bupati sampai menteri. Merasa aman sekali. Sebelum ada itu, tetap ada yang mengganggu…” kata Papa Ros.

 

***

 

Rumah pertemuan adat Marena. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

*Tulisan ini terbit dari hasil liputan bersama tim kolaborasi antara, Mongabay.co.id, Jaring.id, Jakartapost, CNN TV dan Baritagar yang terbit pada Hari Masyarakat  Adat Internasional. Koordinator liputan:  Sapariah Saturi

 

Selamat Hari Masyarakat  Internasional,  9 Agustus 2018!

 

Keterangan foto utama: Pepohonan di hutan adat Marena.Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version