Sekelompok orang yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp Mabar) melakukan unjuk rasa menolak rencana pembangunan rest area wisata di Pulau Rinca dan Pulau Padar yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional (TN) Komodo di Kabupaten Manggara Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Demo Formapp Mabar pada Senin (6/8/2018) itu dilakukan di kantor DPRD Mabar, Pemkab Mabar dan Kantor Balai TN Komodo diikuti juga oleh berbagai kalangan seperti masyarakat yang tinggal di dalam TN Komodo, pemerhati sosial, tour guide, tour operator, pemilik kapal wisata, aktivis lingkungan hidup, gerakan masyarakat anti korupsi.
Ketua Formapp Mabar Rafael Todowela kepada Mongabay Indonesia menilai pembangunan rest area wisata merupakan bentuk komersialisasi kawasan TN Komodo yang menyalahi pasal 19, 21 dan 33 UU No.5/1990 tentang Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Menurutnya, perijinan yang dikeluarkan oleh badan penanaman modal merupakan bentuk konspirasi antara pengusaha dan penguasa. Sedangkan surat pengumuman dari Kepala Balai TN Komodo bertentangan dengan SK Badan Kordinasi Penanaman Modal.
“Bupati Mabar diduga kuat berkonspirasi dalam pemberian izin kopada investor PT. Segara komodo Lestari yang mengerjakan proyek di pulau Rinca dalam areal seluas 21,1 hektar. Alasan konservasi untuk melindungi komodo bukan melindungi investor,” sebutnya.
baca : Menyongsong Wisata. Berapa Daya Dukung Lingkungan Maksimal TN Komodo?
Oleh karena itu, Formapp Mabar meminta Bupati Mabar dan DPRD Mabar mencabut izin pembangunan tersebut. Kawasan TN Komodo, sendiri masuk wilayan kabupaten Mabar berdasar UU pemekaran kabupaten Mabar.
Rafael juga meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan aktivitas komersial di dalam kawasan konservasi TN Komodo.
“Pemerintah harus mencabut semua bentuk perijinan dan apapun namanya yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan tersebut. Pemda Mabar wajib menjaga keutuhan kawasan konservasi TN Komodo bersama pemerintah pusat, pelaku pariwisata serta masyarakai Mabar demi keberlanjutan pariwisata yang alami, ramah dan bebas dari eksploitasi dan komersialisasi,” tegasnya.
Ketua DPRD kabupaten Manggarai Barat Blasius Jeramun yang dihubungi Mongabay Indoensia, Senin (6/8) menegaskan, merujuk kepada Permenhut dan SK Menteri Kehutanan, kawasan TN Komodo dibagi dalam 9 zona termasuk zona inti dan zona pemanfaatan.
Menteri Kehutanan harus tinjau kembali sebab bukan tidak mungkin akan mengubah tatanan kehidupan Komodo. Masyarakat di dalam kawasan TN Komodo selama ini hanya jalan melewati zona yang dilarang dan menangkap ikan saja bisa dipenjara sementara investor bebas masuk dalam zona inti dan merusak lingkungan.
“DPRD minta agar Bupati mencabut rekomendasi yang telah diberikan kepada investor sebab selain melanggar aturan juga ada diskriminasi terhadap masyarakat yang telah lama tinggal di dalam kawasan TN Komodo,” tuturnya.
baca juga : Antara Konservasi dan Pengembangan Wisata di Komodo
Kalau peraturan memungkinkan adanya pembangunan rest area, tambah Blasius, kenapa pemerintah tidak melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada masyarakat agar masyarakat yang mampu bisa menawarkan untuk membangunnya, kenapa harus diberikan kepada investor dari Jakarta.
Kalau investor dari luar diperbolehkan berinvestasi tanyanya, kenapa masyarakat tidak diberikan peluang yang sama apalagi masyarakat lokal baik yang tinggal di dalam kawasan TN Komodo maupun di Manggarai Barat.
“DPRD Mabar berkomitmen untuk tetap meminta pemerintah agar mencabut ijin yang telah diberikan tersebut. Ini kan hanya memperhatikan kepentingan pemodal saja sementara kepentingan masyarakat diabaikan,” sesalnya.
Tergantung Pemerintah Pusat
Bupati Manggarai Barat Agustinus CH Dula membenarkan telah mengeluarkan rekomendasi kepada investor pada 2015 lalu dengan mempertimbangkan sisi ekonomi, sosial, budaya serta adanya manfaat dan keuntungan bagi masyarakat dan daerah.
Dia bakal mencabut rekomendasi tersebut bila masyarakat Mabar menolaknya. Dia menyayangkan masyarakat tidak memberikan masukan sebelum surat rekomendasi tesrebut dikeluarkannya.
“Saya dijelaskan bahwa pembangunan rest area itu akan menggunakan 80 persen tenaga kerja lokal dan masyarakat sekitar kawasan juga akan diperhatikan. Tapi semua kewenangan itu tentu ada pada Balai TN Komodo,” tuturnya.
Sedangkan Kepala Balai TN Komodo Budhy Kurniawan saat bertemu para pendemo menegaskan bahwa pembangunan akan dihentikan untuk sementara sejak Senin (6/8/2018) sambil menunggu kejelasan status proyek rest area tersebut dari pemerintah pusat. Dirinya mengaku tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan hal tersebut.
menarik dibaca : Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Ditetapkan Presiden, Apa yang Harus Dibenahi?
Butuh Habitat Luas
Komodo (Varanus komodoensis) merupakan salah satu spesies kadal yang tergolong langka dan merupakan satu-satunya binatang purba yang masih bertahan hingga saat ini dan tercatat sebagai salah satu keajaiban dunia.
Jumlah Populasi Komodo hingga tahun 2017 mencapai 3.012 ekor yang tersebar di pulau Komodo, Rinca, Padar dan beberapa pulau lain di sekitarnya selain Pulau Flores, NTT.
Yuvensius Stefanus Nonga dari WALHI NTT kepada Mongabay Indonesia, Selasa (7/8) menjelaskan, pulau-pulau ini telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.66/DepKeh/1965 tanggal 21 Oktober mengenai penunjukan Pulau komodo sebagai Suaka Margasatwa.
Juga tambah Yuvensius, ada SK Gubernur NTT No.32 tertanggal 24 Juni 1969 mengenai penunjukan Pulau Rinca sebagai Suaka Alam. Berdasarkan Peta Zonasi Taman Nasional Komodo terbitan 24 Februari 2015, dimana area pulau Rinca merupakan zona inti taman nasional yang mempunyai fungsi utama sebagai habitat perlindungan komodo.
“Zona inti ini memiliki luas 34.311 Ha dan merupakan zona yang mutlak dilindungi, didalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, dan Penelitian,” tegasnya.
Habitat perlindungan komodo terang Yuvensius, merupakan lingkungan tempat tumbuh dan berkembangnya komodo secara alami. Sebagai jenis hewan yang memiliki sifat soliter, komodo cenderung menjauhi keramaian serta membutuhkan ruang isolasi atau zona nyaman yang cukup.
Selain itu jelasnya, komodo juga memiliki sifat kanibal dimana induk komodo sering memangsa anaknya sendiri. “Secara alamiah setelah menetas anak-anak komodo akan memisahkan diri dari induknya dan mencari zona nyaman mereka masing-masing untuk bertumbuh dan berkembang,” bebernya.
Oleh karena itu sangat masuk akal ujar Yuvensius, jika Komodo membutuhkan wilayah yang cukup luas untuk tumbuh dan berkembang. Gangguan dalam bentuk apapun terhadap habitat komodo akan sangat mempengaruhi aktivitas dan perkembangan komodo.
baca juga : Komodo Ternyata Juga Hidup di Daratan Flores Bagian Barat
Rentan Punah
Berdasarkan data badan konservasi internasional IUCN, komodo tergolong dalam hewan yang rentan punah. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penurunan populasi komodo beber Yuvensius yakni berkembangnya tempat wisata. Ketenaran pulau Komodo di mata dunia menarik perhatian turis domestik dan asing untuk berkunjung ke tempat tersebut sehingga dibangun tempat-tempat wisata di pulau Komodo.
Pembangunan infrastruktur wisata itu tentu berpengaruh pada luasan habitat komodo dan mengancam populasi spesies tersebut.
“Dengan habitat yang semakin sempit, ruang untuk berkembang, dan bereproduksi menjadi semakin berkurang, akibatnya populasi komodo terancam; Berkurangnya makanan berupa kijang, ular, tikus, dan mamalia kecil lainnya merupakan salah satu faktor penurunan populasi spesies komodo,” ungkapnya.
Rencana pembangunan Rest Area di Pulau Rinca dan Pulau Padar, secara langsung tegas WALHI NTT, akan mengganggu dan merusak habitat alamiah komodo dan penyempitan wilayah habitatnya. Belum lagi dengan infrastruktur pendukung lainnya seperti akses menuju rest area.
Hal ini tandas Yuvensius, tentu akan memberikan dampak negatif bagi habitat dan kelangsungan hidup komodo. Sejarah mencatat, bahwa pada tahun 1980 Taman Nasional Komodo didirikan untuk melindungi Komodo dan Habitatnya.
“Rencana pengelolaan 300 Ha di Pulau padar dan 22,1 Ha di Pulau Rinca menjadi sangat tidak masuk akal karena bagaimana mungkin TNK dari kawasan konservasi kemudian akan berubah menjadi destinasi investasi oleh para pihak investor yang berkepentingan meraup keuntungan sebesar-besarnya,” kritik WALHI NTT.
baca : Kisah Si Naga Komodo
Belum Mendesak
Sedangkan Ketua DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) NTT Agustinus Bataona menolak dan meminta pembatalan pembangunan itu karena belum perlu dan tidak memiliki eco concept. Pembangunan itu malah menghilangkan karakteristik alamiah kawasan TN Komodo. Justru yang lebih dibutuhkan, menurutnya, adalah penambahan mooring buoys dan kapal patroli cepat untuk keamanan dan penegakan hukum di kawasan.
“Balai TNK juga perlu memikirkan pengembangan klinik-klinik penanganan korban yang digigit komodo dan ular berbisa di kawasan TNK. Ini jadi fokus utama bukan malah fokus pada pembangunan yang tidak perlu dilakukan,” ungkapnya.
Sedangkan Kris Da Somerpes, peneliti Sunspirit For Justice and Peace kepada Mongabay Indonesia, Senin (6/8) menegaskan, warga Manggarai Barat pada umumnya menolak proyek usaha jasa dan sarana wisata alam oleh PT. Segara Komodo Lestari (SKL) di Loh Buaya Pulau Rinca dan PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) di Pulau Padar dan Loh Liang Pulau Komodo.
Warga menolak, kata Kris, karena tidak mendatangkan manfaat kepada masyarakat lokal serta berdampak terhadap keberlanjutan konservasi. “Penguasaan pihak swasta atas titik-titik strategis dalam kawasan TNK tidak membawa manfaat apa-apa terhadap masyarakat dalam kawasan dan untuk Manggarai Barat secara umum,” tegasnya.
Pengalaman buruk, beber Kris, pernah terjadi pada 2003 sampai 2012 TN Komodo dikelola oleh PT. Putri Naga Komodo (PNK). Dengan mengantongi SK Kemenhut No. 195/Menhut–II/2004 tanggal 9 September 2003, PT PNK diberikan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) selama 30 tahun terhitung sejak 2004 sampai 2034.
PNK, ungkapnya, merupakan perusahaan kerjasama antara PT. Jayatsa Putrindo, (kepunyaan pengusaha Feisol Hasil yang juga pemilik Alam Kul-Kul) dengan The Nature Conservancy (TNC).
“Setelah 10 tahun beroperasi, perusahaan ini bubar tanpa ada pertanggungjawaban publik yang jelas. Yang muncul ke publik justru konflik antara perusahaan dan Departemen Keuangan terkait dana konservasi sejumlah Rp16 miliar,” paparnya.
Selain itu, pada Mei 2015, terang Kris, santer berita pengklaiman pulau Mawan yang masuk kawasan TNK oleh Alam KulKul.
Kehadiran pihak swasta dalam pengelolaan kawasan strategis TN Komodo menurut pegiat LSM di Manggarai Barat ini, akan menambah beban penderitaan bagi masyarakat dalam kawasan dan juga para pelaku usaha wisata lokal.
Selain PT. SKL, PT. KWE dan PT. PNK, terdapat 5 perusahaan yang diberikan IPPA oleh pemerintah, yaitu PT. Kirana Satya Abadi dengan tanggal pengajuan, 25 Juni 2012, PT. Perdana Surya Dinamika memasukan pengajuan tanggal 25 Juni 2012 bersamaan dengan PT. Sinar Cahaya Kemuliaan, Sedangkan PT. Segara Komodo Lestari bersama PT. Inti Selaras Abadi mengajukan permohonan tanggal 24 Oktober 2012 serta PT. Karang Permai Propertindo pada tahun 2013.
Tumpang Tindih Aturan
Kris Da Somerpes, menerangkan, realisasi proyek fisik seperti villa, homestay dan tempat publik fisik lainnya akan membawa dampak buruk pada keberlanjutan kealamiahan kawasan TN Komodo tersebut.
Pembangunan rest area itu dalam kawasan TN Komodo mengesankan Pemerintah Pusat melalui Balai TN Komodo dan Pemkab Manggarai Barat tidak berpihak pada masyarakat.
Dari hal itu, Kris Pemerintah membiarkan pihak swasta untuk mengelola tidak hanya kawasan strategis tetapi juga merebut ruang kepemilikan, akses, dan manfaat pembangunan pariwisata, sementara sisi lain, membatasi dan meminggirkan ruang hidup dan penghidupan warga setempat.