Mongabay.co.id

Walhi Gugat Gubernur Sumatera Utara Terkait Izin Lingkungan PLTA Batang Toru

Inilah bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: SOCP

 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumut menggugat Gubernur Sumatera Utara ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan terkait pemberian izin lingkungan untuk PT. NSHE. Walhi menilai, pembukaan kawasan hutan Batang Toru untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang dikerjakan PT. NSHE, akan merusak habitat orangutan tapanuli (Pongo Tapanuliensis) dan mengancam lingkungan keseluruhan.

Menurut Walhi Sumut, meski kawasan hutan untuk PLTA berada di areal penggunaan lain (APL), namun lokasinya merupakan habitat satwa. Terlebih, berdampak pada keterancaman orangutan tapanuli yang jumlahnya hanya 800 individu, yang hanya ada di hutan Batang Toru, tempat proyek dijalankan.

Gugatan Walhi ini didukung sebanyak 36 pengacara yang resah terjadinya kerusakan lingkungan terhadap proyek tersebut.

“Ini gugatan lingkungan. Kami harap majelis hakim yang menangani ini adalah hakim bersertifikasi lingkungan,” jelas Joice Novelin Ranapida Hutagaol, Ketua PBHI Sumut, saat mendaftarkan gugatan ke PTUN Medan, bersama pengacara dari Bakumsu, LBH Medan, dan pengacara perorangan, Rabu (08/8/2018).

Baca: Bayi Kembar Orangutan Tapanuli Terpantau di Ekosistem Batang Toru

 

Bayi kembar orangutan tapanuli dengan induknya yang terpantau di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Foto: SOCP

 

Golfrid Siregar, Manager Kajian Hukum Walhi Sumut, menjelaskan objek yang digugat Walhi Sumut adalah SK Gubernur Nomor 660/50/DPMPPTSP/5/IV.1/I/2017 tertanggal 31 Januari 2017. Isinya pemberian izin lingkungan kepada PT. North Sumatera Hydro Energy (NSHE) untuk membangun PLTA Batang Toru yang memiliki kepadatan keanekragaman hayati di lokasi pengerjaan proyek. Atas dasar itu, gugatan dilakukan sekaligus meminta majelis hakim mencabut izin lingkungan tersebut.

“Kami gugat agar izin dibatalkan sehingga perusahaan menghentikan kegiatan membukan hutan yang bisa mengancam kehidupan orangutan tapanuli serta makhluk hidup lainnya,” terangnya.

Lokasi pembangunan PLTA juga merupakan area rawan gempa dan menjadi salah satu pusat gempa. Jika dilihat peta dan ditarik garis lurus dari kawasan Aek Latong, yang selalu diguncang gempa dan jalannya tidak pernah bagus, maka titik puncaknya berdasarkan penelitian ahli geologi ada di kawasan hutan Batang Toru.

“Bisa dibayangkan, air disedot dan ditempatkan dalam bendungan yang jika gempa akan hancur dan menghabiskan makhluk hidup yang ada di bawahnya,” jelas Golfrid.

Baca: PLTA Batang Toru, Malapetaka bagi Kera Terlangka di Dunia

 

Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru yang berada di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Foto: Maxime Aliaga/SOCP/Batangtoru.org

 

Dana Prima Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut menjelaskan, pembangunan PLTA Batang Toru oleh PT. NSHE terkesan dipaksakan. Sebenarnya, untuk siapa pembangunan ini? Berdasarkan data PLN Wilayah Sumbagut, Provinsi Sumut kelebihan listrik sebesar 15 persen. Jika alasannya provinsi ini membutuhkan listrik 35 ribu mega watt yang dicanangkangkan dalam proyek PLTA Batang Toru, bisa saja menggunakan sumber listrik yang sudah ada.

Contohnya, panas bumi di Sarullah masih bisa dinaikkan kapasitasnya menjadi 1.000 mega watt. Ada juga energi terbarukan dari udara seperti tenaga listrik kincir angin yang baru-baru ini diresmikan Presiden Jokowi. Itu tak pernah habis dan energi hijau ramah lingkungan. “Kenapa ini tidak disentuh Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara?,” terangnya.

Dana menyatakan, banyak persoalan yang dimunculkan PLTA yang diklaim hijau. Menurut dia, jika diklaim hijau karena memakai air tetapi merusak hutan, ini sama sekali bukan hijau tetapi merusak bentang alam. Silakan membangun, tetapi tidak di lokasi yang sekarang. “Jangan mengorbankan lingkungan, merusak habitat satwa, dan menyusahkan masyarakat karena proyek ini,” ucapnya.

Baca juga: Proyek PLTA di Hutan Batang Toru, Dibangun untuk Kepentingan Siapa?

 

 

 

Ragam hayati

Bentang Alam Batang Toru yang luasnya sekitar 150 ribu hektar, terletak di Kabupaten Tapanuli Uutara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Dari luas tersebut, hampir 142 ribu hektar merupakan hutan primer yang mendukung kehidupan 344 ribu petani di sekitarnya.

Ekosistem Batang Toru menjadi habitat banyak satwa liar dan tumbuhan. Ada harimau sumatera, beruang madu, tapir, kambing hutan, juga berbagai jenis burung. “Hutan Batang Toru menjadi   bagian penting keberlanjutan hidup kita semua,” jelas Dana.

PLTA Batang Toru yang digadang-gadang sebagai PLTA   terbesar di Pulau Sumatera dengan kapasitas 510 mega watt, pembangunannya   meliputi tiga kecamatan di Tapanuli Selatan, yaitu Sipirok, Marancar, dan   Batang Toru.   Sejak dicanangkan 2016,   proyek ini direncanakan selesai dan beroperasi lima tahun mendatang.

 

Jika pembukaan kawasan terjadi maka perambahan tak terelakkan. Sungai dan hutan ini akan hancur. Keanekaragaman hayati hutan Batang Toru terancam. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pembangunan infrastruktur proyek berupa jalan akses, sutet, dan terowongan bawah tanah sepanjang 13 km pada habitat orangutan tapanuli di pinggir sungai Batang Toru dinilai akan memberi dampak tidak baik.

Dana menjelaskan, penggalian terowongan akan menghasilkan jutaan meter kubik limbah tanah dan batuan. Jalan inspeksi untuk terowongan di sepanjang hutan primer dan saluran listrik tegangan tinggi bakal membelah hutan primer.

“Tidak saja pada keberlangsungan habitat orangutan, proyek PLTA juga berdampak pada pertanian masyarakat,” jelasnya.

 

 

Pembangunan bendungan akan mengganggu debit air sungai yang digunakan masyarakat untuk mengairi lahan pertanian produktif. Ada 1.200 hektar persawahan masyarakat. Belum lagi tidak adanya kejelasan ganti rugi lahan masyarakat oleh perusahaan yang saat ini masih belum selesai persoalannya.

“Banyaknya masalah dan ancaman yang kami sebutkan,   menghentikan proyek adalah pilihan tepat. Walhi Sumatera Utara menilai, mega proyek ini lebih banyak memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat ketimbang manfaat. Ini alasan kuat kami menggugat,” tandas Dana.

 

Menjaga kelestarian hutan Batang Toru berarti menyelamatkan kehidupan orangutan tapanuli, satwa liar yang ada dan lingkungan keseluruhan beserta sumber air yang ada. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version