Mongabay.co.id

Harapan Baru dari Teluk Sapoong

Keindahan Teluk Sapoong. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Fajar baru saja menyingsing bibir pantai di Teluk Sapoong. Hamparan pasir putih menyempurnakan keindahan. Teluk ini terletak di Desa Pajanangger, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur atau sekitar empat jam dari Kota Keris Sumenep, dengan kapal cepat. Jika cuaca tak begitu baik, perjalanan jauh lebih panjang dengan kapal barang selama 10 jam.

Teluk Sapoong, berada di Kepulauan Kangean. Sebuah pulau yang menyimpan banyak pesona sekaligus keterbatasan. Mimip memperlambat laju kendaraan bermotornya.

Sakejjhe’ agghi napa,” (sebentar lagi -red),” katanya.

Suara pemuda 18 tahun ini terdengar lirih tersapu deburan ombak. Sebuah gerbang wisata Teluk Sapoong, terlihat tertata rapi terbuat dari kayu stigi.

Baihaki berjalan menuju dermaga di Teluk Sapoong. Setibanya di sana, beberapa motor berjejer. Baihaki, Endang dan beberapa teman lain sudah menanti di sana. Mereka sedang mempersiapkan sebuah Festival Pesisir Kangean di Teluk Sapoong. Festival ini baru pertama kali diadakan. Teluk Sapoong, punya kisah sendiri sebelum jadi tempat wisata.

Dulu, Teluk Sapoong dikenal sebagai tempat para remaja ngoplos obat batuk dengan minuman keras, perbuatan asusila dan tempat bersembunyinya para pencuri ternak.

Teluk Sapoong terletak di pinggir Desa Pajanangger. Lokasi ini memungkinkan jadi sarang para penyamun.

Mimip bercerita, sempat terjebak dalam kenakalan remaja menyalahgunakan oplosan obat batuk untuk mabuk. “Dulu sempat begitu, sekarang sudah tidak lagi. Karena penasaran dan ingin coba-coba,” katanya.

Sudah setahun ini dia tamat sekolah menengah atas. Mimip tak cukup uang untuk kuliah. Baginya, membangun ekowisata di Teluk Sapoong, adalah impian dan harapan setelah lepas dari jeratan oplosan miras dengan obat batuk.

Orangtua Baihaki bekerja keluar negeri, sebagai tenaga kerja Indonesia. Ada banyak warga memilih mengadu nasib di negeri jiran, hanya karena alasan keterbatasan ekonomi.

Suhrawi, Kades Pajanangger mengatakan, selama kurang dari enam bulan desa membangun Teluk Sapoong sebuah destinasi wisata. “Semua berawal dari kegelisahan saya dan warga yang melihat maraknya oplosan minuman memabukkan, mesum dan pintu masuk pencurian hewan. Saya bersama warga membersihkan Sapoong dan jadikan tempat wisata,” katanya.

Kelebun (kepala desa dalam bahasa lokal, Madura) di Pulau Kangean mengatakan, Sapoong jadi harapan baru mereka. “Selama ini,  banyak warga mencari nafkah di Malaysia. Saya mau masyarakat Pulau Kangean ini bisa mandiri dengan mengelola aset termasuk teluk ini,” katanya.

Di Desa Pajananger,  banyak masalah timbul karena banyak warga jadi TKI. Anak-anak kehilangan sosok orangtua ini, tumbuh dengan jiwa dahaga kasih sayang.

Makku Ading, mantan TKI menjadi pengelola wisata yang tergabung dalam Pordakwis. Makku bercerita sudah lelah berkerja di luar, selama 16 tahun berjibaku kerasnya hidup di luar. “Saya 16 tahun jadi TKI. Kembali ke sini, bersama membangun desa juga tertarik ide Pak Kelebun pengembangan ekowisata,” katanya.

 

Warga sedang memainkan alat musik tradisional. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Penerimaan dan pengakuan komunitas adat

Desa Pajangger, salah satu dari program peduli usungan Kemitraan. TKI malah menimbulkan berbagai masalah sosial seperti, pernikahan anak (dini), perceraian, hingga angka kenakalan anak.

Alexander Mering, Program Officer Program Peduli Kemitraan menyebutkan, banyak faktor membuat komunitas adat terekslusi. “Tak hanya karena faktor geografis, mereka tereksklusi  juga karena menjalankan hidup sesuai budaya warisan nenek moyang. Karena strata social yang berbeda, stigma primitif, pelaku kriminal, tak beragama, menjalankan klenik, bodoh, udik, jorok, pendatang, terbelakang, susah diatur, menolak pembangunan bahkan dianggap ‘hama’. [Stigma dan stereotif muncul itu] seperti pada warga Kasepuhan, Botti Cina Benteng, Suku Sawang, Topo Uma, Suku Anak Dalam, Mentawai dan lain-lain,” katanya.

Komunitas , kelompok perempuan, dan kelompok-kelompok yang mendapatkan penolakan di masyarakat perlu mendapat dorongan dalam mendapatkan tiga akses yakni, layanan dasar, kebijakan dan penerimaan sosial.

Mering bilang, inklusi sosial adalah proses membangun hubungan sosial dan menghormati individu serta komunitas.

“Jadi mereka yang marjinal dan mengalami prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, serta memiliki akses dan kontrol sama atas sumber daya,” katanya.

Pendekatan dilakukan dalam pendataan, kesadaran kritis, ruang dialog kelompok marjinal–pemerintah, dan koalisi untuk memperjuangkan model-model pembangunan mengedepankan inklusi sosial pada lokal maupun nasional.

Selain itu, katanya,  relasi sosial antarkelompok harus terjalin kuat hingga pemerintah harus mengupayajan perubahan kebijakan.

“Kebijakan yang mengakomodir hak-hak masyarakat yang terinklusi, misal, di beberapa komunitas tak mendapatkan identitas penduduk karena beberapa alasan seperti harus mengisi kolom agama.”

Soal kolom agama, sudah terakomodir setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi hingga masyarakat penganut kepercayaan atau agama-agama lokal bisa diakui atau mengosongkannya.

 

Ekowisata berkelanjutan

Pengembangan ekowisata tanpa diiringi peningkatan kapasitas dan kualitas manusia selaku pelaku, bisa menelurkan banyak risiko.

Mokh. Sobirin,  Direkur Desantara mengatakan, dampak-dampak sosial, ekonomi dan lingkungan ini jadi persoalan perlu dipertimbangakan dalam pengembangan wisata. Mereka akan mengedepankan konsep ekowisata.

“Apakah nanti masyarakat jadi penonton dengan kegiatan hanya menguntungkan segelintir orang, bagaimana pengelolaan hingga bisa menurunkan dampak negatif pariwisata itu?” katanya

Sobirin melihat, masyarakat Desa Pajanangger sudah mampu melihat dan berupaya mengambangkan potensi wisata. Dampak turunan seperti sampah bisa jadi persoalan umum ditemui di beberapa lokasi wisata.

“Saya pikir, kita bisa belajar bagaimana pengelolaan wisata berkelanjutan. Misal, masalah sampah, di Pulau Kanari Spanyol, mereka membatasi waktu kunjung dalam waktu satu minggu atau satu bulan. Ada waktu-waktu dilarang kunjungan hingga pengelola bisa membersihkan tempat.”

Dia yakin,  bahasan soal sampah dan dampak-dampak pariwisata lain bisa mereka diskusikan beramai-ramai dengan kelompok sadar wisata yang sudah terbentuk. Pemerintahan desa, katanya, juga bisa mempertegas dengan peraturan desa atau imbauan terkait usaha mengantisipasi persoalan lingkungan muncul.

 

***

Telapak kaki Mimip dan kawan-kawan tersapu pasir pantai nan bersih. Mereka berkeliling menjajakan gelang dan kalung terbuat dari kayu stigi.

Di ujung dermaga, sorak-sorai penonton terdengar menyemangati puluhan sampan gapil, sebuah perahu dayung berukuran kecil yang mengikuti lomba dalam Festival Pesisir Kangean.

Anyunan gelombang seperti denyut nadi kehidupan para nelayan di Pulau Kangean, yang terkadang tak bersahabat,  namun mereka tetaplah pejuang di laut…

 

Keterangan foto utama: Keindahan Teluk Sapoong. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

Sapi pulang ke kandang menyebrang tambak. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version