Mongabay.co.id

Kenapa Perlu SDM Berkualitas untuk Tangani Masalah Sampah Plastik?

Penanganan sampah yang komprehensif, baik yang ada di daratan atau laut, berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia (SDM). Hal itu, menjadi kunci utama dari penanganan sampah yang saat ini sedang dilakukan oleh Indonesia. Tanpa SDM mumpuni, penanganan diyakini tidak akan berjalan dan bahkan bisa lebih buruk.

Penjelasan itu diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta beberapa waktu lalu. Menurut dia, dengan melaksanakan pengelolaan sampah yang bagus di darat dan laut, maka secara tidak langsung Indonesia sudah melahirkan SDM yang bagus dan berkualitas. Itu artinya, generasi mendatang juga sudah terjamin kualitas SDM untuk melanjutkan tugas itu.

“Kami melihat hal ini adalah hal yang sangat serius karena berkaitan dengan kualitas Sumber Daya Manusia. Bank Dunia punya program sangat bagus, Indonesia sudah menggelontorkan dana yang cukup banyak dan kita perlu peran Bank Dunia untuk mengawasi,” ujarnya.

Menyadari pentingnya SDM, Luhut mengaku, saat ini Pemerintah Indonesia fokus untuk menyiapkan generasi muda yang berkualitas untuk melaksanakan pengelolaan sampah, utamanya plastik. Penyiapan SDM, menjadi sangat penting karena produksi sampah di Indonesia dari waktu ke waktu terus meningkat volumenya.

Langkah tersebut, harus bisa diadaptasi oleh Pemerintah yang ada di Kabupaten dan Kota, sehingga tercipta penghargaan dan sekaligus pemberian sanksi dalam pengelolaan sampah.

baca :  Kapan Indonesia Terbebas dari Sampah?

 

Menko Maritim Luhut Pandjaitan (kiri) bersama Menteri PU PR Basuki Hadimoeljono (tengah) dan Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim (kanan) bersama pihak swasta, dan aktivis lingkungan hidup di Hutan Bakau KLHK, Suwung Kawuh, Denpasar, Bali, Jumat (6/7/2018). Foto : Maritim.go.id/Mongabay Indonesia

 

Di tempat sama, Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menangani berbagai masalah, terutama sampah dan stunting. Menurut dia, penanganan yang sudah dilakukan Indonesia berjalan sangat baik dan terintegrasi antara satu instansi dengan instansi yang lain.

Kim menjelaskan, keterlibatan Bank Dunia dalam penanganan masalah seperti sampah dan juga stunting, merupakan bagian dari program untuk mengurangi ketimpangan dan ketidaksetaraan di masyarakat. Program itu, berdampingan dengan program pengentasan kemiskinan yang sejak lama sudah dilaksanakan oleh Bank Dunia.

 

Komitmen

Tentang penanganan masalah sampah, Luhut sendiri sebelumnnya sudah menyatakan komitmen untuk melibatkan banyak pihak, termasuk masyarakat, swasta, dan aktivis lingkungan. Keterlibatan semua pihak itu, diharapkan bisa menjalankan target yang sudah ditetapkan Pemerintah Indonesia, yaitu mengurangi sampah hingga 70 persen pada 2025.

baca : Begini Tekad Indonesia Kurangi Sampah Plastik sampai 70%

Menurut Luhut, apa yang sedang dilaksanakan sekarang, diakuinya bukan hal mudah untuk dijalankan. Namun, dia menegaskan bahwa saat ini telah disusun beberapa strategi, termasuk mengalokasikan sumber sampah yang dekat dari laut, penegakan hukum, dan memperbanyak riset. Sementara, bersama Bank Dunia, pihaknya menciptakan sistem yang lebih baik untuk meningkatkan pemungutan sampah di kota-kota yang langsung berbatasan dengan laut.

“Dan Indonesia juga menyadari ini adalah masalah antarnegara, karenanya Indonesia berusaha melakukan kerja sama dengan negara lain,” jelasnya.

baca juga : Sejumlah Pihak Berkomitmen Mengurangi Sampah Plastik di Lautan. Seperti Apa?

 

Produksi sampah di Pekanbaru, Riau, per hari sekitar 700 ton. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Luhut mengungkapkan, mengingat seriusnya penanganan masalah sampah, perlu pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan juga didukung melalui regulasi yang kuat. Untuk itu, saat ini Pemerintah sedang mempersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penanganan sampah nasional.

“Jika sudah ada Perpres, kita akan ajukan anggaran untuk program ini dalam rancangan perubahan APBN 2018,” jelasnya.

baca :  Menanti Penguatan Aturan soal Sampah Plastik

Diketahui, Bank Dunia saat ini akan menjalankan proyek Dana Perwalian Kemaritiman Indonesia (Indonesia Oceans Multi Donor Trust Fund) yang memberikan dukungan strategis terhadap seluruh Agenda Kelautan Indonesia. Dukungan yang diberikan antara lain perbaikan terhadap perencanaan, koordinasi, kebijakan dan pendanaan strategi kelautan Indonesia.

Dana itu juga untuk mendukung upaya pengurangan limbah plastik yang diwujudkan dalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Sampah Plastik, dan mendukung ketahanan daerah pesisir dan sumber daya laut. Adapun, dana perwalian tersebut merupakan dana hibah dari Norwegia dan Denmark, masing-masing berjumlah USD1.4 juta dan USD875 ribu.

“Dana ini bertujuan menciptakan sinergi dengan program sejenis lainnya di bawah Bank Dunia dan mitra pembangunan lainnya, termasuk dalam meningkatkan pengelolaan sampah di berbagai kota di Indonesia,” jelas Luhut.

Di luar perwalian dana agenda kelautan, Luhut menyebutkan, Bank Dunia juga saat ini sedang melaksanakan Proyek Pengelolaan Sampah Padat Bank Dunia (National Municipal Solid Waste Management Project). Program tersebut untuk memberikan dukungan kepada Kementerian Perumahan Rakyat dan Pekerjaan Umum, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang saat ini melaksanakan program pengelolaan sampah senilai USD1.2 miliar yang sebagian besar akan didanai oleh pemerintah pusat dan daerah.

Dalam melaksanakan program tersebut, Luhut berharap ada investasi dari swasta yang bisa tertanam hingga senilai USD1,5 miliar selama enam tahun program dijalankan. Selama program, diharapkan sedikitnya 30 kota di Indonesia dapat mencapai sistem pemungutan, pengelolaan dan pembuangan sampah yang lebih baik, dan secara keseluruhan dapat mengurangi jumlah sampah yang mengalir ke laut, khususnya sampah plastik.

menarik dibaca :  Darurat: Penanganan Sampah Plastik di Laut

 

Seorang pemulung tengah mengangkut sisa-sisa sampah yang bisa dimanfaatkan di TPA Kaliori, Banyumas, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Mikroplastik

Tentang sampah plastik, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Reza Cordova belum lama ini menyatakan, akibat sampah plastik di laut, ancaman kerusakan ekosistem laut semakin nyata. Dia menyebut, saat ini diperkirakan mikroplastik yang ada di air laut Indonesia jumlahnya ada di kisaran 30 hingga 960 partikel/liter.

Menurut dia, keberadaan mikroplastik di dalam air laut Indonesia, jumlahnya sama dengan jumlah mikroplastik yang ditemukan di air laut Samudera Pasifik dan Laut Mediterania. Walaupun, jumlah tersebut, diketahui lebih rendah dibandingkan dengan mikroplastik yang ada di pesisir Cina, Pesisir California, serta Barat Laut Samudera Atlantik.

Meski demikian, Reza menyebut, walau jumlahnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang disebut di atas, keberadaan mikroplastik dengan jumlah sekarang di air laut Indonesia perlu mendapat kewaspadaan dari semua pihak. Mengingat, hingga saat ini masih ada dampak lain dari mikroplastik yang belum diketahui.

Reza menambahkan, penelitian sampah laut dan mikroplastik di Indonesia saat ini sudah menjadi salah satu isu yang penting. Hal itu, terutama merujuk pada area perairan yang sudah dilakukan monitoring dan menunjukkan jumlah banyak mikroplastik. Adapun, area yang dimaksud adalah di Indonesia Barat seperti Aceh, Kepulauan Riau, Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Kemudian, di area Indonesia Timur seperti Bali, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara, dan Maluku.

Reza menyebut keberadaan mikroplastik di laut Indonesia tak ubahnya seperti monster mini yang setiap saat merusak ekosistem di dalamnya. Keberadaan mikroplastik, harus segera ditangani untuk mencegah kerusakan yang lebih luas lagi di dalam laut. Salah satu cara yang bisa dilakukan, adalah dengan mengubah perilaku manusia yang menjadi konsumen utama mikroplastik.

baca :  Air Laut Indonesia Sudah Terpapar Mikroplastik dengan Jumlah Tinggi, Seperti Apa?

 

Lautan sampah plastik yang mengambang di Pulau Roatan, Karibia, Honduras. Foto : AFP/aawsat.com

 

Reza memaparkan, setiap tahunnya manusia menggunakan plastik hingga sebanyak 78 juta ton. Dari jumlah tersebut, hanya dua persen saja yang dilakukan daur ulang dan sebanyak 32 persen diketahui masuk ke dalam ekosistem darat yang kemudian masuk ke dalam laut. Sementara, sisanya diolah secara bervariasi untuk kebutuhan manusia lagi.

Dengan fakta tersebut, Reza mengungkapkan, ancaman kerusakan ekosistem di laut sudah semakin besar dan tak bisa dicegah lagi. Jika itu terjadi, maka biota laut akan menjadi korban pertama yang merasakan dampak buruknya. Hal itu terjadi, karena mikroplastik yang masuk ke dalam tubuh biota laut, akan merobek usus dan merusak pencernaan.

“Salah satu yang menjadi korban itu, adalah penyu. Jika mikroplastik masuk ke dalam tubuhnya, maka dia akan mati secara perlahan. Penyebabnya, karena jika nanoplastik masuk ke darah, maka itu akan merusak otak,” jelasnya.

Reza menyebut keberadaan mikro dan nanoplastik di dalam air laut menjadi sangat berbahaya bagi ekosistem, karena ukurannya yang sangat kecil dan bisa dengan mudah dimakan oleh biota laut dari yang berukuran sangat kecil hingga besar. Selain penyu yang berukuran besar, plankton juga bisa memakan mikroplastik.

“Padahal, plankton ini dimakan ikan kecil, dan ikan kecil dimakan oleh ikan besar. Nah, ikan besar ini dimakan oleh manusia. Jadi, manusia juga sangat rentan,” ucapnya.

Reza menjelaskan, saat mikroplastik masuk ke dalam tubuh manusia, maka bahan pencemar akan bekerja untuk mengusir plastik dan tubuh pada akhirnya akan menjadi penuh dengan polusi. Kemudian, jika mikroplastik dimakan oleh biota laut, maka berikutnya akan muncul tumor di tubuhnya. Walau tidak seberbahaya kanker, namun dia mengklaim, tumor tersebut bisa mengancam populasi mereka.

baca :  Menelisik Jejak Plastik di Samudera Kini

 

Sampah plastik dan mikroplastik di lautan membahayakan bagi penyu karena dianggap makanan. Banyak penyu dan biota laut yang mati karena memakan sampah di lautan. Foto : ecowatch

 

Diet Plastik

Terpisah, Direktur Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Tiza Mafira mengatakan, penangananan masalah sampah plastik di Indonesia tidak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Di antara itu, harus ada juga dorongan untuk membuat regulasi tentang pembatasan kantong plastik yang tujuannya untuk mengurangi sampah plastik.

“Regulasi itu melalui pajak dan pelarangan penggunaan,” tutur dia.

Di Indonesia, gerakan diet kantong plastik sudah dilaksanakan Kota Banjarmasin (Kalsel) dan Kota Balikpapan (Kaltim). Menurut Tiza, kedua kota tersebut adalah kota pesisir yang memiliki banyak sungai, sehingga berkontribusi mencegah sampah kantong plastik masuk ke laut. Sejak diterapkan pada 2016, penggunaan kantong plastik di Banjarmasin turun hingga 95 persen dan penjualan tas anyaman hasil kearifan lokal juga meningkat di saat bersamaan.

Setelah Banjarmasin dan Balikpapan, Tiza menyebut, kota lain yang menyusul untuk menerapkan kebijakan itu, adalah Kota Padang (Sumbar), Kota Cimahi (Jabar), dan Kota Malang (Jatim). Ketiganya saat ini sedang berproses untuk mengeluarkan peraturan tentang pembatasan kantong plastik.

Di sisi lain, pengakuan betapa sulitnya mengelola sampah dari tingkat bawah hingga atas, diakui oleh pendiri Avani Eco, Kevin Kumala. Menurut dia, untuk melaksanakan gerakan reduce¸reuse, and recycle (3R) di masyarakat, tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Tetapi, untuk bisa terlaksanakan gerakan 3R yang baik dan kontinu, perlu waktu yang lama agar hasilnya juga terlihat.

 

Exit mobile version