Mongabay.co.id

Ketika Upaya Penegakan Hukum di Tesso Nilo Hadapi Perlawanan

Dirjen Gakkum Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani saat memeriksa barang bukti tangkapan alat berat dari kawasan hutan konservasi di Riau, Jumat (3/2/17). Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mulai melakukan penegakan hukum bagi ‘penguasa’ lahan yang masuk kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Mereka melakukan perlawanan. Anehnya, pembela para pelaku malah orang dari KPH, unit pelaksana teknis Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau. Ada apakah?  

Usaha Sukhdev Singh, penguasa lahan seluas 141 hektar di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) pupus sudah di Pengadilan Negeri Pelalawan, Selasa (7/10/18). Permohonan praperadilan yang diajukannya ditolak hakim tunggal Ria Ayu Rosalin. Ini perlawanan kedua atas penegakan hukum yang kini gencar dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sukhdev memohon praperadilan karena tak senang atas penetapan sebagai tersangka kasus perusakan hutan di eks konsesi HPH Siak Raya Timber. Dia juga tak suka alat berat disita Balai Besar Penegakan hukum (Gakkum) Riau pada 8 April 2017.

Sukdhev ditetapkan sebagai tersangka pada 7 Juni 2018 oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPNS LHK) atau lebih dari setahun setelah Gakkum menyita alat berat di lahan miliknya 8 April 2017. Praperadilan diajukan pada 9 Juli 2018.

Dalam permohonan dia merasa penetapan status tersangka tidak berdasarkan alat bukti kuat. Penetapan tersangka juga tak didahului gelar perkara dan penyidik tidak berwenang. Selain itu, tanah itu merupakan obyek tanah obyek reformasi agraria (Tora),  bukan kawasan hutan.

Sukhdev juga menyebutkan,  kebun itu adalah tanah ulayat dan penyitaan alat berat tak menyertakan pengadilan.

Dalam sidang, kuasa hukum KLHK menghadirkan 35 bukti tertulis dan satu ahli dari BPKH Riau. Pengacara pemohon membawa 33 bukti tertulis, satu ahli (BPKH Riau), tiga saksi fakta dan dua ahli, termasuk pegawai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Sorek. KPH adalah satuan unit pelaksana tugas dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau.

“Praperadilan hanya memeriksa aspek formil atas proses penyidikan hingga melihat apa yang dilakukan penyidik telah berdasarkan bukti, telah terpenuhi alat bukti hingga terpenuhi penetapan tersangka. Penyitaan sudah sah karena sudah ada penetapan dari PN Pelalawan,” kata Muhnur Satyahaprabu, kuasa hukum KLHK kepada Mongabay.

Pendapat ahli pemohon dari KPH Sorek menyebut, kebun Sukhdev masuk dalam Tora juga terbantahkan. Berdasarkan peta indikatif Tora April 2018, kebun itu tidak masuk peta Tora. Soal tanah ulayat akan diuji dalam sidang pokok perkara.

Eduward Hutapea, Kepala Seksi II Sumatera Balai Penegakan Hukum KLHK mengapresiasi putusan hakim. Menurut dia, putusan itu menambah keyakinan, penegakan hukum melindungi Tesso Nilo akan berjalan baik.

“Dengan (putusan) praperadilan itu kita bisa mendapat apresiasi. Kita mendapat keyakinan proses (penegakan hukum) menguatkan kita,” katanya kepada Mongabay, Rabu (8/8/18).

Kini Sukhdev harus menghadapi sidang pokok perkara yang diajukan KLHK di PN Pelalawan. Muhnur,  kuasa hukum KLHK berharap sidang pokok perkara akan dimulai dalam dua pekan ke depan.

Dalam materi gugatan, KLHK menyebut Sukhdev diduga kuat merusak hutan dan ini melanggar UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

Sukhdev juga diduga tak memiliki surat izin lingkungan atas kebun sawit dan melanggar  UU Nomor 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.

Muhnur menyebut, yang dilakukan Sukhdev adalah kejahatan terorganisir. Dia merujuk pada motif pemanfaatan masyarakat dan status tanah ulayat sebagai tameng menutupi tindakan perusakan hutan oleh Sukhdev.

“Sukhdev berdalih bekerjasama dengan masyarakat. Mengaku kerjasama dengan koperasi punya masyarakat. Faktanya,  kegiatan (pembangunan kebun) jauh sebelum koperasi dibentuk. Koperasi sebagai tameng, koperasi yang berposisi sebagai boneka. KLHK mencium modus kejahatan terorganisir,” katanya.

Investigasi Jikalahari pada Juni 2017 menemukan, tandan buah segar (TBS) dari kebun Sukhdev dijual ke pabrik sawit,  PT Mitra Unggul Pusaka di Desa Segati. Pabrik ini anak perusahaan Asian Agri.

Perusahaan sawit besar Indonesia ini disebut oleh Eyes on the Forest sebagai satu dari empat perusahaan termasuk Wilmar-yang bertanggungjawab atas pengrusakan Tesso Nilo.

 

Sebuah truk melewati jalanan berlumpur mengangkut hasil panen dari kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

Mempertanyakan aksi KPH Sorek

KLHK punya tugas berat mewujudkan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo (RETN). Luas hutan Tesso Nilo awalnya 83.000 hektar, menurut Eyes on the Forest, tersisa 12.000 hektar. Yang lain, sekitar 70.000 hektar jadi kebun sawit ilegal. Padahal,  Tesso Nilo adalah habitat penting satwa terancam punah harimau dan gajah Sumatera.

Dalam skenario implementasi RETN, para perambah akan dikeluarkan dari TNTN. Mereka akan dipindahkan ke kawasan sekitar Tesso Nilo. Areal pengganti itu kini telah lama dirambah. Salah satu, dikuasai Sukhdev Singh.

“Revitalisasi ini direalisasikan dengan zero crime. Replacement butuh lahan baru. Di situlah (pemerintah) menertibkan lahan,” kata Muhnur.

Penertiban yang dimaksud Muhnur adalah melalui jalur hukum. Menyeret para pemilik kebun ilegal di kawasan hutan produksi konversi di eks konsesi HPH ke meja hijau. Saat ini,  setidaknya ada tiga kasus penegakan hukum fokus Direktorat Penegakan Hukum. Tiga kasus itu mendapat perlawanan dari pemilik kebun atau pemilik alat berat.

Kasus pertama, yakni penyitaan alat berat di kawasan hutan atas nama Arifin Sibarani pada Mei 2018. Arifin mengajukan permohonan praperadilan di PN Pelalawan Juli 2018. Berdasarkan lama Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Pelalawan, permohonan Arifin dikabulkan hakim hingga penyitaan alat berat itu tidak sah karena tak sesuai prosedur. Sidang putusan 17 Juli lalu.

Kasus kedua adalah Sukhdev Singh. Pada kasus ini hakim menolak permohonan Sukhdev. Kasus ketiga baru sidang praperadilan.

Ada yang menarik pada serangan balik para penguasa lahan seluas ratusan hektar di Tesso Nilo itu. Kasus pertama, Arifin Sibarani mengajukan staf KPH Sorek bernama Yowel Baransano sebagai saksi yang menguatkan argumentasi hukumnya.

Ternyata,  Yowel Baransano,  selaku Penelaah Data Pengukuran dan Pengajuan Hasil Hutan Kayu, KPH Sorek juga hadir sebagai saksi ahli Sukhdev. KPH sendiri merupakan unit pelaksana teknis Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau.

“Dinas LHK adalah bagian dari (tim) implementasi RETN. Ini yang jadi kami agak aneh. Harusnya mereka mendukung, kenyataan beda. Ini yang gak sinkron dengan pekerjaan dan lapangan,” kata Eduward.

Bahkan, dia memperoleh bukti bahwa ada surat dari Kepala UPT KPH Sorek yang menugaskan resmi Yowel sebagai ahli para tersangka. Surat itu ditandatangani oleh Kepala UPT KPH Sorek Herman pada 12 Juli 2018 untuk pemohon Sukhdev.

Kepala Dinas LHK Riau Ervin Rizaldi tidak memberikan komentar atas surat yang dinilai Eduward bertentangan dengan semangat penegakan hukum di Tesso Nilo. Karena  Dinas LHK Riau adalah perpanjangan dari KLHK di Jakarta. Pesan singkat yang dikirim Mongabay melalui aplikasi What’sApp Rabu (9/8/18) tidak ditanggapi Ervin. Begitu juga telepon pada Kamis (9/8/18) pagi juga tak diangkat.

 

Keterangan foto utama: Dirjen Gakkum Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani saat memeriksa barang bukti tangkapan alat berat dari kawasan hutan konservasi di Riau, Jumat (3/2/17). Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

Truk mengangkut hasil panen sawit di Tesso Nilo, Minggu 12 November 2017. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version