Mongabay.co.id

Katak Bertanduk Lancip Ini Jenis Baru di Sumatera

 

Namanya katak-tanduk lancip atau Megophrys lancip. Sebagaimana namanya, jenis ini memang memiliki bentuk tidak lazim seperti penampakan katak umumnya. Pada moncongnya, ada tambahan kulit berbentuk tanduk.

Awalnya, jenis ini dianggap jenis yang sama dengan yang di Jawa. Namun penelitian terbaru menunjukkan keduanya merupakan spesies berbeda.

Misbahul Munir, penulis utama dalam riset berjudul “A New Megophrys Kuhl and Van Hasselt (Amphia: Megophryidae) from southwestern Sumatra, Indonesia” terbitan Jurnal Zootaxa (3 Juli 2018) mengatakan, awalnya katak genus Megohrys di Sumatera adalah M. nasuta, M. parallela, M. montana, dan M. aceras.

Berdasarkan penelitian ini, jenis-jenis tersebut sesungguhnya telah diletakkan sesuai namanya. Sebelumnya, katak-tanduk gunung atau Megophrys montana diketahui tersebar luas mulai dari Jawa, Sumatera, hingga peninsular, Malaysia.

Namun, setelah diteliti lebih lanjut ternyata populasinya di peninsular, Malaysia, merupakan Megophrys aceras. Untuk populasi di Sumatera bagian utara menjadi jenis berbeda yaitu Megophrys parallela. Sementara, populasi di Sumatera bagian selatan menjadi jenis baru yang dideskripsikan sebagai Megophrys lancip.

Perkembangan pengetahuan menggunakan analisis moluker dan morfologi menunjukkan, jenis Megophrys yang teridentifikasi M. montana di Sumatera ternyata sangat berbeda morfologinya dengan M. montana di Jawa.

“Cirinya, M. montana di Jawa memiliki bagian jaringan di kaki lebih berkembang (lebih lebar hingga ruas kaki ketiga), sedangkan di Sumatera lebih ramping. Dan karakter ini, stabil pada semua spesimen yang ditemukan di Sumatera,” terangnya, baru-baru ini.

Baca: Katak dan Kodok, Apa Bedanya?

 

Katak-tanduk lancip yang merupakan jenis baru di Sumatera. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Munir menambahkan, timnya juga melakukan analisis molekular menggunakan DNA mitokondria. Hasilnya membuktikan, populasi di Sumatera bagian selatan memang berbeda dengan populasi di Jawa, sebagaimana ditunjukan pada perbedaan karakter morfologinya.

Hal ini dapat dilihat pada rekonstruksi pohon phylogeny atau hubungan kekerabatan. Pohon ini menunjukan, ke dua spesies memiliki kekerabatan yang dekat. Alasan ini yang membuat M. montana dan M. lancip dianggap jenis yang sama sebelumnya. “Sekaligus menyimpulkan, M.montana tidak terdapat di Sumatera, hanya ada di Jawa,” lanjutnya.

Megophrys lancip memiliki ciri seluruh permukaan punggung kepala, tubuh, kaki depan, dan kaki belakang berwarna coklat muda dan bercak gelap. Pada permukaan punggung lengan bawah, tibia dan femur ada lipatan melintang coklat gelap. Seluruh permukaan bagian bawah tubuh coklat muda dengan tanda garis tebal gelap dan bercak gelap di tenggorokan, dada, dan perut.

Holotype atau specimen yang menjadi acuan penelitian merupakan koleksi dari Lampung pada 2013 oleh Eric Smith, Amir Hamidy, dan Elijah Wostl di ketinggian 1.010 m dpl. Koleksi selanjutnya merupakan koleksi lama yang sebelumnya teridentifikasi sebagai M. montana.

 

Spesimen katak tanduk yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense, LIPI yaitu M. lancip (a), M. parella (b), dan M. nasuta (c). Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Katak serasah

Ahli herpetologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy menjelaskan, jenis Megophrys merupakan salah satu jenis katak serasah yang hidup di naungan atau kanopi. Konversi habitat merupakan penyebab jenis ini akan hilang di alam.

“Mereka butuh kanopi, bila kanopi hilang jenis ini juga akan hilang. Ini adalah salah satu ancamannya, selain diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan. Bentuknya yang unik membuat harganya mahal. Seperti pada jenis Megophrys montana dijual sekitar 40 dollar atau Megophrys nasuta dijual dari 70 hingga 150 dollar AS,” jelasnya.

 

Holotif M. lancip. Sumber: Jurnal Zootaxa (3 Juli 2018)

 

Amir menambahkan, penggalian informasi jumlah di alam hingga data ekologi perlu dilakukan untuk manajemen pengelolaan. Apakah jenis ini bisa dijadikan flagship species dan segera dilindungi, tentunya perlu ada kajian mendalam. “Selain itu, pembukaan hutan harus dikurangi demi kehidupan berbagai jenis satwa dari ancaman kepunahan,” jelasnya.

Genus Megophrys pertama dideskripsikan oleh Kuhl dan van Hasselt sebagai jenis Megophrys montana yang ditemukan di Jawa. Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), LIPI, menyimpan lima spesimen dengan jenis yang sama, namun hasil koleksinya diperoleh dari Bengkulu, Lampung, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada ketinggian 620 m dpl, 550 m dpl, dan 526 m dpl (meter diatas permukaan laut).

 

Pohon kekerabatan M. lancip. Sumber: Jurnal Jurnal Zootaxa (3 Juli 2018)

 

Megophrys di daratan Sunda terbagi dalam tiga grup. Grup pertama terdiri dari subgenus Xenophrys dari Peninsula Thailand-Malaysia, grup kedua merupakan subgenus Megophrys dari Jawa dan Sumatera. Sementara, grup ketiga adalah subgenus Pelobatrachus yang khas Kalimantan.

Megophrys lancip masuk dalam grup kedua yang berkerabat dengan jenis Megophrys montana dan Megohrys parallela. Penemuan jenis ini meruntuhkan identifikasi spesimen sebelumnya yang dinamakan Megophrys montana di Sumatera oleh Kuhl dan van Hasselt.

 

Perbedaan morfologi antarkerabat genus Megophrys di Sumatera:

Jenis Panjang tubuh (mm) Panjang tibia (mm) Lebar kepala (mm) Panjang kepala hingga moncong (mm)
M. lancip 37.9-47.7 (jantan); 38.7-82.5 (betina) 0.38-0.42 (jantan); 0.35-0.40 (betina) 0.44-0.46 (jantan); 0.48-0.52 (betina) 0.42-0.43 (jantan); 0.44-0.45 (betina)
M. montana 39.1-54.4 (jantan); 46.2-100.3 (betina) 0.40-0.44 (jantan); 0.36-0.45 (betina) 0.43-0.48 (jantan); 0.45-0.51 (betina) 0.39-0.43 (jantan dan betina)
M. nasuta 69.3-97.5 (jantan); 45.9-134.6 (betina) 0.32-0.41 (jantan); 0.32-0.38 (betina) 0.44-0.55 (jantan); 0.45-0.53 (betina) 0.41-0.53 (jantan); 0.42-0.53 (betina)
M. parallela* 37.7-46.3 (jantan) 0.41-0.48 (jantan) 0.45-0.52 (jantan) 0.39-0.44 (jantan)
M.aceras 55.8-62.4 (jantan); 67.0-86.0 (betina) 0.42-0.46 (jantan) 0.37-0.40 (jantan) 0.34-0.37 (jantan)

* (ukuranpanjang tubuh dan panjang kepala hingga moncong tidak diukur hingga pada bagian tambahan pada moncong)/Jurnal Zootaxa (3 Juli 2018)

 

 

Exit mobile version